Andai PILPRES Dibuat Seperti Pemilihan Ketua Osis
Sudah hampir satu minggu pemilihan presiden dan wakil presiden berlalu. Kita patut bersyukur bahwa semuanya berjalan dengan aman dan lancar, meski di beberapa daerah ada indikasi kecurangan. Tidak apa-apa, toh ada BAWASLU yang akan menghakimi benar dan tidaknya tingkah dari “oknum” terkait.
Kini Barisan Anak Cancar Raya (BARCA), eh itu mah klub sepak bola di Manggarai, maksudnya barisan kaum cebong dan kampret tengah saling klaim kemenangan. Bahkan salah satu kubu sudah tiga kali mendeklarasikan kemenangan di hadapan publik. Mereka mengklaim kemenangan berdasarkan hasil perhitungan cepat tim internal yang entah metodologinya seperti apa. Pada saat bersamaan, timnya meragukan kredibilitas semua lembaga survey, Seperti ; Charta Politika, Poltracking Indonesia, Cyrus Network, Voxpol Center, LSI, Litbang Kompas dan CSIS.
Publik kian bingung bahkan makin pening dengan klaim dari masing-masing kubu. Di sisi lain putusan KPU masih terbilang lama, KPU baru akan mengumumkan pemenang pilpres pada 22 Mei 2019 mendatang.
Buntut klaim dari masing-masing kubu berakibat pada pertengkaran di media sosial. Perang kata-kata, berita bohong, dan saling mencaci-maki di media sosial menjadi medan tempur paling panas antara kedua kubu. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kerja buzzer politik yang dibayar oleh masing-masing tim kampanye.
Melihat citra demokrasi kian bergerak mundur, yang salah satunya ada indikasi potensi mengabaikan ilmu pengetahuan dengan tidak mengakui kesahihan quik count, maka tabeite.com mencoba untuk merekomendasikan kita sekalian agar menyesuaikan penentuan pemenang Pilpres seperti pemilihan Ketua Osis di jenjang pendidikan SMP dan SMA.
Format penentuan pemenang rasa-rasanya tidak akan menguras banyak energi dari para penyelenggara. KPU dijamin akan luput dari tuduhan yang tendensius. Om dan tanta komisioner KPU kan pernah menjadi siswa SMP dan SMA kan ? Syukur kepada Tuhan jikalau di antara om dan tanta komisioner KPU ada yang pernah menjadi Ketua Osis atau minimal pengurus OSIS lah.
Langkah ini diambil supaya kita tidak pusing tujuh keliling memikirkan mantan pemenang pilpres. Karena itu, ada baiknya kita sesuaikan saja pola pemilihan Ketua Osis dengan konteks pilpres 2019, anggap saja kita lagi memberikan contoh pendidikan demokrasi untuk anak-anak SMP dan SMA ihwal pemilihan ketos yang baik dan benar.Keren kan?
Pola penentuannya tetap berdasarkan perolehan suara terbanyak. Pasangan yang berhasil meraih suara terbanyak akan menjadi presiden dan wakil presiden. Sementara untuk pasangan yang perolehan suaranya di nomor kedua untuk calon presiden yang maju terus tapi gagal terus menjabat sebagai sekretaris negara I sedangkan wakil presiden yang begitu dekat dengan emak–emakkita langsung mandatkan ia sebagai sekretaris negara II . Masalah selesai.
Penerapan sistem pemilihan Ketua Osis dalam pilpres 2019 bakalan membawa sejarah baru untuk demokrasi bangsa ini. Apalagi dalam sejarah pemilihan Ketua Osis dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote jarang terjadinya kegaduhan berkepanjangan. Biasanya usai pemilihan Ketos, semua calon akan tetap akur seperti biasanya. Para pendukung pun hanyut dalam kegembiraan berjemaah. Apa kita salah jika menerapkan system pemilihan Ketua Osis dalam menentukan jawara pilpres kali ini? Semoga saja tidak.
Saya yakin dan percaya apabila kita memakai pola pemilihan Ketua Osis untuk penentuan pemenang pilpres, dijamin potensi kegaduhannya dapat berkurang. Cebong dan kampret pun akan lekas berdamai satu sama lain. Ejekan yang berseliweran di media sosial setidaknya hilang dengan sendirinya. Negeri ini dijamin makin gemah ripah lo jinawi. Tidak ada keributan sama sekali. Semua menang, semua tenang. Cebong dan kampret pun pada tenang. Smile…

Penullis : Erik Jumpar |Guru di Mentawai |