Beri Solusi Ketimbang Mencela
Aksi coret baju seragam yang dilakukan oleh sebagian siswa/i SMA/SMK pasca pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) 2019, telah menjadi perbincangan hangat publik. Terutama para warganet. Narasi-narasi pro maupun kontra terus mewarnai dunia maya. Di sana warganet masing-masing menabiskan diri sebagai pribadi yang maha benar dan maha kuasa. Yang pro membangun narasi, bahwa aksi coret itu adalah hak otonom dan sejauh sikap itu tidak mengganggu ketenteraman publik, maka ekspresi kebahagiaan itu adalah wajar. Sedangkan yang kontra lebih banyak membangun narasi-narasi yang amat destruktif. Mulai dari mengata-ngatai siswa/i terkait sebagai generasi yang tak punya etika dan moral hingga menyalahi pihak lembaga pendidikan dan juga orang tua sebagai agen sosialisasi yang gagal total.
Selain itu, terlepas dari komentar pro kontra dari para warganet, hemat saya, aksi coret seragam sekolah, juga mau mencerminkan bahwa rasa simpati dan empati terhadap sesama yang membutuhkan sudah hilang dalam orientasi hidup kaum muda. Tak heran jika ekspresi tak berbobot itu dipilih sebagai opsi yang paling digemari oleh para generasi ketimbang opsi-opsi lain yang lebih bijak. Dan ketika euforia murahan itu sudah menguasai hati dan pikiran para generasi, maka nilai-nilai yang sudah diajarkan dalam lingkup keluarga dan pendidikan menjadi tak berfaedah. Tak heran, jika secara umum komentar para warganet lebih banyak berisi hujatan.
Hak Otonom?
Secara otonom, manusia dapat dipahami sebagai makhluk yang mampu berpijak dalam kediriannya sebagai seorang yang bisa berpikir, berkreasi, berinovasi, dan menentukan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Oleh karena itu, pemahaman tentang manusia yang otonom dari para warganet yang pro menjadi amat keliru. Sebab aksi coret baju bukanlah sebuah hak otonom yang mencerminkan cara pikir dan tindak yang kreatif, inovatif dan berguna bagi lingkungan dan kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya aksi itu adalah pencerminan ketidaklulusan sikap dan karakter para siswa/i terkait.
Di sisi lain, komentar pro dari para warganet di atas, jika dikorelasikan lagi dengan pemahaman manusia sebagai makhluk sosial, sikap mencoret pakaian seragam itu tak bisa dibenarkan pula. Sebab tak ada manusia yang hidup dalam kesendirian serta keterasingan dari sesama dan lingkungannya, lalu bebas berbuat hal apa saja. Nah, itu berarti aksi coret tidak bisa dipahami hanya sebatas hak pribadi atau pun mengganggu ketenteraman umum atau tidak. Namun lebih daripada itu, bahwa kita sedang berbicara tentang penghayatan nilai-nilai universal. Berbicara pendidikan tak bisa diukur hanya pada kelulusan nilai di atas kertas, tapi juga harus dibarengi dengan kelulusan sikap dan karakter.
Karenanya, sekali lagi ditegaskan bahwa, aksi coret baju seragam bukanlah penglegitimasian terhadap hak otonom seorang individu untuk bebas berekspresi secara salah. Sebab sikap individu yang lebih mementingkan kepentingan diri adalah contoh sikap destruktif yang melecehkan martabat diri, keluarga, lembaga pendidikan, lingkungan sosial serta nilai-nilai universal. Sebaliknya, dan ini yang diharapkan bahwa setiap ekspresi sikap individu harus bermuara pada usaha untuk semakin mempertinggi martabat diri, sesama serta lingkunganya.
Bangun Solusi Konkret
Hemat saya, realitas persoalan seputar aksi coret seragam pasca-pengumuman hasil UN bukan saja terjadi di tahun 2019 ini, melainkan sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaannya, mengapa sikap ini terus terjadi? Ya, karena manusia pada umumnya lebih suka menjalani hidupnya dalam dunia maya. Setiap persoalan pribadi atau kelompok tidak diselesaikan secara bijak dalam dunia nyata tetapi lebih suka mengeksposnya pada dunia maya. Setiap keberhasilan tidak diekspresikan secara benar dan disyukuri dalam dunia nyata melainkan lebih senang diekspresikan dalam dunia maya. Akhirnya, manusia seakan-akan telah kehilangan jati dirinya dalam dunia nyata.
Padahal sebaliknya, dunia maya bukanlah wadah atau tempat yang tepat bagi manusia yang bermoral dalam mengekspresikan setiap momen hidup. Fakta membuktikan bahwa sebaik apa pun ekspresi dan komentar yang kita unggah pada sosial media, di hadapan warganet kita selalu disalahkan. Berbagai hujatan datang silih berganti. Warganet menampilkan diri sebagai pribadi-pribadi yang paling benar. Mereka juga (warganet) selalu menjadi hakim serta pengadilan tertinggi untuk memenjarakan sesama yang melakukan kekeliruan. Entah kecil atau besar, mereka tak peduli. Maka tak heran persoalan besar atau kecil, jika sudah beralih ke dalam dunia maya semuanya menjadi rumit, besar dan tak pernah ada ujungnya.
Akhirnya dunia maya seolah-olah selalu menampilkan situasi perang setiap saat. Warganet berlomba-lomba untuk saling menjebloskan sesamanya ke penjara, lewat berbagai label buruk yang menjadikan sesamanya kian terpuruk. Walau pun begitu, kebanyakan orang masih lebih suka hidup dan berelasi dalam dunia maya ketimbang dunia nyata. Sungguh sebuah ironi, bukan?
Jika demikian, maka kita tak perlu heran jika aksi coret seragam sekolah pasca pengumuman hasil UN setiap tahun begitu adanya. Kita pun perlu berbangga, bahwa di tengah keironian yang dilakukan oleh para generasi muda kita ini, masih juga bermunculan lembaga pendidikan yang justru menghidupi berbagai kebiasaan baik yang kemudian menjadi culture sekolah terkait. Setidaknya ada 6 sekolah menengah di Provinsi NTT yang kiranya patut dicontohi oleh sekolah-sekolah lainnya. Di antaranya, SMAK Syuradikara Ende, SMAK Giovanni Kupang dan SMAN I Kupang Timur yang menerima amplop kelulusan dengan mengenakan pakaian adat daerah, SMAK Frateran Ndao Ende dan SMAK Bhaktiyarsa Maumere menerima amplop kelulusan dengan dengan acara wisuda, sedangkan SMAK Regina Pacis Bajawa menerima amplop kelulusan dengan memakai pakaian gereja, sebab penerimaan amplop didahului oleh perayaan Ekaristi Kudus.
Melalui beberapa sekolah yang disebut oleh penulis di atas, maka diharapkan agar sekolah-sekolah lain, terkhusus sekolah-sekolah yang muridnya masih membudayakan sikap mencoret baju seragam untuk segera mengintrospeksi diri sembari belajar dari keteladanan ke-enam sekolah terkait. Bahwa memaknai ke-socius-an diri terhadap realitas buruk tak bisa hanya dengan nasihat atau khotbah melalui dunia maya tapi butuh ikhtiar konkret dalam dunia nyata agar segera belajar dan berbenah diri.
Semisal ketika melihat atau membaca seputar aksi coret baju seragam sekolah oleh siswa/i teretentu, sebagai warganet yang sosialis segera mencari tahu asal sekolahnya dan memberikan masukan. Dan pada akhirnya berbagai masukan itu dapat dijadikan dasar pijak bagi sekolah terkait dalam melahirkan kebijakan baru, terutama kebijakan preventif dalam mencegah kebiasaan coret baju seragam di kalangan para siswa. Jika demikian maka, jadilah individu dan juga warganet yang beretika, peka, simpati dan empati terhadap realitas buram yang menimpa sesama lewat aksi-aksi nyata.
Dengan begitu, kita semua berharap, agar tahun-tahun berikutnya akan semakin banyak warganet yang berhati sosialis serta lembaga pendidikan yang mengikuti jejak baik yang sudah diretas oleh ke-enam sekolah di atas. Sehingga, harapan untuk tak terjadi lagi aksi coret baju seragam, juga tak ada lagi warganet-warganet baru yang maha kuasa dan maha benar itu menjadi nyata. Darinya, lahirlah semakin banyak orang yang peduli terhadap dunia pendidikan anak lewat usaha dan aksi nyata ketimbang berkhotbah atau menghujat lewat dunia maya yang minim aksi.
Oleh karena itu, jika pemaknaan hidup hanya diisi dengan sikap-sikap destruktif dan khotbah-khotbah indah tanpa aksi, yakinlah suatu saat nilai-nilai universal akan mati. Sebab seribu kata mutiara akan dikalahkan oleh satu aksi nyata. Berhentilah menjadi manusia yang hanya suka mencela dan berkotbah ketimbang memberikan solusi nyata dan minim keteladanan hidup. Pahamilah bahwa tanggung jawab mendidik generasi juga menjaga serta menmyebarkan nilai-nilai universal bukan saja terletak pada satu pihak melainkan menjadi tanggung jawab bersama hingga keabadian.
Penulis : Bonefasius Zanda|Guru SMA Regina Pacis Bajawa|Meka Tabeite|