Cita-citaku Kandas di Atas Kapal

Loading


Bunyi bel kapal sandar terdengar di kompleks pelabuhan Labuan Bajo. Aku yang hendak pergi mengejar cita-cita di tanah rantau pun bergegas, segala keperluan dan barang bawaan dibereskan. Perasaan sedih terperangkap di kepalaku air mata tak lagi bisa dibendung. Ayah, ibu, adik dan keluarga ikut mengantarku di pelabuhan. Kapal telah sandar ayah dengan tubuhnya yang bungkuk, hiruk -pikuk mengantar barang-barang bawaanku ke kapal tanpa menghiraukan penumpang yang keluar masuk. Sedangkan ibu sibuk membekaliku dengan kata-kata motivasi dengan cirinya yang khas tak sadar air matanya jatuh.  Rasa sedih kian terasa karena sebentar lagi sang putri kesayangan di tinggal pergi.

Bagi keluarga kami kuliah di luar daerah merupakan pengalaman pertama. Naik kapal laut adalah pengalaman pertama dalam hidupku. Segala bentuk dan suasana dalam kapal telah di ceritakan oleh kakakku yang sudah duluan mengenyam pendidikan tinggi di fakultas ekonomi di salah satu universitas di Surabaya, setidaknya aku bisa membayangkan suasana di kapal.

Ase kalau sudah dekat pelabuhan jangan lupa kontak kaka ya, biar kita jemput” bunyi pesan melalui WhatsApp yang dikirim kakak saya dari Surabaya.

Setelah semua barang-barang bawaan saya sudah antar di kapal akun pun pamit, air mata mengalir jatuh tak beraturan. Kesan dan pesan yang disampaikan ibu membuat suasana menjadi lebih sedih. Aku pun berjalan menuju pintu masuk, di tangga kapal aku selalu menoleh melihat ayah, ibu dan adik-adiku yang setia mengantarku di pelabuhan sesekali aku mengusap air mata.

Sesampai di dek kapal aku langsung mencari tempat tidur dengan membawa tentengan saya, sedangkan beras diamankan oleh petugas kapal. Setelah mendapat tempat tidur aku pun lari menuju dek luar dan sandar di geladak kapal sambil melambaikan tangan kapada ayah, ibu dan adik-adik yang masih bertahan di pelabuhan. Aku mengingat tentang kebersamaan kami selama hidup bersama sambil mengusap air mata yang mengalir tanpa henti.

Kapal lepas jangkar bel klakson tanda star perjalan sudah dibunyikan. Aku melihat ibu  menangis dan berteriak enu hati-hati di jalan. Aku tak lagi bisa menahan rasa rinduku pada keluarga. Perlahan jarak pandang mulai jauh, aku melihat mereka pulang dengan mobil yang sudah kami rental.

Setelah jarak sudah jauh aku pun kembali ke tempat tidur. Sesampai di tempat tidur aku dijemput dengan senyuman dari seorang perempuan manis yang menjadi sahabat perjalanku menuju Surabaya.

Hai kak namaku Ceci, oh ia enu, aku Lilis. Setelah perkenalan kamipun bercerita dan berbagi banyak pengalaman dan ternyata Lilis adalah Mahasiswi Senior di Surabaya yang baru saja pulang penelitian di kampungnya.

Setelah bercakap lama sambil menunggu makan siang saya di ajak oleh kak Lilis untuk minum kopi di kafe sambil menikmati pemandangan di lautan yang sesekali terdapat pulau-pulau kecil.

Lagi asyik minum kopi, tiba- tiba ada tiga laki-laki tampan mengahampiri kami dan membawa minuman sambil menawarkan untuk duduk bersama, Kami tak menolak tawaran mereka karena memang tempat umum dan terbuka bagi siapapun yang menumpang kapal. Kamipun berkenalan juga membagi cerita tak lupa bertukaran nomor telepon. Laki-laki yang duduk dekat saya yang bernama Yano sesekali melirik saya dengan tatapan tajam dan penuh makna.

Satu jam berselang kami pamit dari kafe. Saya pikir pertemuan kami dengan ketiga laki-laki itu sudah berakhir di meja kafe ternyata mereka menyusul dan selalu memperhatikan kami.

Diberitahukan kepada seluruh penumpang bahwa sekarang saatnya makan siang dan ambil nasi di ruang makan dengan membawa tiket masing-masing. pesan dari petugas yang kami dengarkan melalui speaker toa. Saya dan kak Lilis Pun bergegas menuju ruang yang dimaksud. Di tempat antrian menuju ruang makan lagi kami bertemu dengan ketiga laki-laki yang sempat bersama di kafe. Disela-sela antrian Yano yang tepat di belakang saya berbisik kepada saya dengan nada ajakan “Ceci sebentar setelah ambil nasi ikut saya ya” bisiknya sambil menggaruk kepala dan berharap supaya saya mau. Saya tak menghiraukan bisikannya karena memang gilirannya untuk terima jatah nasi.

Selesai terima nasi saya dan Lilis hendak kembali ke tempat tidur tiba-tiba dengan gerak yang cepat Yano mendekati kami, hei kamu kemana ayo ikut saya makan di dek luar kapal. Kami pun berbalik dan saya langsung melirik Kak Lilis sambil menunjukan bahasa tubuh untuk mempertimbangkan ajakan dari Yano. Rupanya Kak Lilis mau.

Menikmati makan di kapal ditemani orang baru kenal memang asyik, gumamku dalam hati. Percikan ombak mengiringi lompatan ikan di pinggir kapal yang membuat sensasi perjalanan kami menyenangkan. Yano yang duduk dekat kak Lilis berbisik dan menyampaikan bahwa dirinya jatuh cinta pada saya. Tak lama berselang kalimat yang sama disampaikan Lilis lewat papan ketik handphonenya. Saya sedikit malu dan muka saya langsung merah karena baru kali ini aku di tembak oleh seorang mahasiswa yang juga akan menjadi senior saya di kampus tujuan saya di Surabaya.

Hei jangan melamun kata kak Lilis kepada saya. Bagaimana kau terima tidak tawaran tembak dari Yano? Mungkin kalau kenal dengan Yano urusan pendaftaran saya di kampus cepat selesai apalagi dia kan kuliah di kampus yang saya tuju, lagi-lagi saya melamun. Halo Ceci kamu melamun lagi ya? Oh tidak kak, bilang ke Yano saya mau jadi pacarnya. Tanpa pikir panjang Lilis langsung mengetik jawaban dari Ceci dan sampaikan ke Yano yang lagi asyik mendengarkan musik. membaca jawaban itu Yano langsung lompat dan berteriak “Yeh akhirnya” teriaknya mengundang simpati orang-orang yang lagi asyik menikmati sensasi alam di tengah lautan.

Ganteng juga ya orangnya, melamun saya di tempat tidur. Kak Lilis di samping saya lagi menikamati musik sambil membaca cerpen. Sementara itu Yano kembali muncul dibayanganku. Wajahnya yang manis dan senyumnya menyejukkan, walau kami hanya berkenalan di atas kapal tapi rasanya kami dekat sekali.

Malam pun tiba, Yano kembali muncul dan mengajak kami untuk bersantai di kafe. Saya memukul kepala dengan tanganku, apakah saya sedang bermimpi? Kok tiba-tiba ada Yano.  hei kamu kenapa? sapa Yano sembari menitipkan senyumanya yang manis. Oh Tuhan padahal ini benar-benar nyata, gumamku.

Yano dua temanmu mana? mereka di bioskop ada film baru yang malam ini ditayangkan di layar lebar Indonesia. Kamu tidak ikut? tidak saya mau ajak kamu ke kafe. Tanpa pikir panjang dan tidak mempertimbangkan dengan kak Lilis, saya langsung mengiakan tawaran dari Yano.

Tunggu ya kami siap-siap dulu. Oke Ceci jangan lama-lama ya saya tunggu di tangga dekat kafe. Yano tak mesti lama menunggu kami pun datang menghampiri Yano.

Sampai di kafe kami sempat membuat kenangan dengan beberapa potret foto sebagai awal dari sebuah kisah.  Kenikmatan kopi malam ini sungguh luar biasa ditambah sensasi alam yang berbinar dihiasi gemerlap bintang-bintang. Waktu terus berlalu kami masih berlayar di lautan lepas. Kopi telah menemani sejuta cerita kami dalam balutan asmara.

Sepertinya malam sudah larut, sekarang sudah menunjukkan pukul 23:00. Sesekali Lilis angkat bicara yang menjadi nyamuk diantara dua sejoli yang sedang bercumbu dalam ikatan cinta.  Oh ia kak ayo kita balik ke tempat tidur sekarang, Yano yang dengan nada lugunya mencegah kepergian kami. Kak Lis mengertilah biarkan Ceci disini bersama saya, biar saya antar kakak ke tempat tidur. Kalau aku sih tergantung Cecinya sahu, sahut kak Lilis Dengan polos saya mengangguk untuk menjawab percakapan keduanya.

Setelah Yano mengantar kak Lilis, Dia mengajak saya turun dek dua dan menepi di dek luar kapal. Akhirnya aku terjebak dengan kata “mengerti” yang diucapkan Yano pada saat di Kafe. Jarum jam menunjukan pukul 01:30 dini hari kamipun masih di dek luar kapal sesekali Yano mengajak saya berdiri dan bersandar digeladak kapal sambil memeluk. Sinar bintang terus berbinar dikegelapan malam. Yano kembali mengajakku duduk dan berbisik aku sayang kamu. Akupun terbuai dengan kata-katanya, pesan dan kesan dari orang tua tak sedikit melintasi pikiranku. Aku hanya terlena dengan rayuan maut Yano yang selalu merambah telingaku. Sepertinya kak Lilis sudah tertidur, lagi-lagi aku melihat jarum jam dan sekarang menunjukan pukul 03:00 dini hari kami pun masih belum tidur. Kafe sudah tutup dan penumpang kapal sudah pada tidur, yang belum tidur pasti kapten kapal dan beberapa anak buah kapal yang selalu siaga dalam menjaga keselamatan kapal. Saya mencoba mengajak Yano untuk tidur tapi Yano tidak mau dan terus memaksa saya untuk tetap ditempat itu. kedinginan menyelimuti kami laut sedang membangun gelombang dan Yano sedang membangun hasratnya. Aku tidak tau apa yang ada dalam pikiran Yano, dia mengajak saya untuk bersetubuh sambil tanganya merabah setengah tubuhku. Aku beberapa kali menolaknya dan memukul tubuhnya tapi Yano terus membuatku tak aman dan aku terus terbuai dalam pelukan manjanya.  Batinku tak tenang Yano mengajakku ke lorong dekat geladak kapal  yang tempatnya sangat sepi, sesampainya ditempat itu Yano membuka bajuku dan merabah tubuhku dengan tanganya lagi-lagi ia berbisik ke telingaku dengan kata I Love You Cec. Suara itu membuatku terus terbuai, akhirnya keperawananku direnggut dalam hitungan detik, Kesucianku pun dinodai oleh kata mengerti.  Kenikmatan itu sudah berlalu aku kembali memukul Yano sambil menangis. Dalam kedaan yang masih telanjang Yano kembali memelukku dan kembali berbisik jangan menangis pakailah bajumu.

Kenikmatan sesaat musnah harapanku untuk kuliah kini pupus, aku selalu dihantui perasaan takut, sampai pagipun aku tidak bisa tidur aku terus menangis memikirkan apa yang kami buat semalam. Ayah, ibu maafkan aku. Mendengar kata-kata itu Lilis bangun dan bertanya, kamu kenapa dik? Tanya Lilis. Aku hanya diam dan dalam hati berkata “aku terjebak dengan kata mengerti”. Kamu kenapa ko matamu bengkak? Lagi-lagi Lilis kembali bertanya. Akupun tidak menjawabnya.

Pada akhirnya Lilis tau karena di celana yang saya pakai ada bercak darah. Lilispun memeluk saya dan minta maaf karena tidak bisa menjadi teman yang baik untuk saya. Kak ite tidak perlu minta maaf ini salah saya sendiri.

Aku pengen balik ke Manggarai, saya tidak tau apa tujuan saya ke Surabaya. Aku mengingat ayah dan ibuku yang telah berjuang dan berkorban demi saya, kataku sambil mengusap air mata. Janji kepada orang tua kini telah ingkari, penyesalan selalu datang terlambat.

Enu kamu sudah dimana? Bunyi pesan masuk yang dikirim oleh ibu saya. Aku tak membalasnya, lagi-lagi aku menangis. Tuhan mengapa nasibku begini.

Pelabuhan sudah dekat bel klakson kapal mau sandar sudah dibunyikan. Ase sudah dimana? Pesan whatShap dari kakak. Aku hanya membalas dengan emotikon manangis, Kakakku kaget dan bertanya kamu kenapa? Tidak kak nanti setelah saya turun baru saya ceritakan ke ite. Oh ia sudah ase.

Kapal telah sandar orang-orang bergegas keluar masuk kapal. Aku masih dalam keadaan bingung. Beruntung saja Yano datang membantuku untuk kemas-kemas segala barang bawaanku.

“Kaemomang terima kasih telah menemani saya dalam perjalanan ini.” Ucap saya sambil memeluk Kak Lilis. “Iya ase terima kasih juga, jangan lupa hubungi saya kalau sudah sampai ke kos kakakmu, kita sama-sama anak rantau. Kasih tau dengan Yano supaya dia bertanggungjawab atas perbuatannya.” “Ia kak sekali lagi terima kasih. Cita-citaku kandas di atas kapal, aku tidak tau lagi apa yang saya buat di Surabaya.” “Jangan lupa kontak kakak ya, kalau saya bisa pasti saya bantu.” “Terima kasih kak.”

Setelah ayah, ibu dan kakak saya yang menunggu kedatanganku  di Surabaya tahu tentang nasib saya. Mereka pun terima dengan keadaanku dengan hati lapang. Mau tidak mau kami dua Yano harus jadi pasangan suami istri karena nasi telah menjadi bubur.

Dari tujuan awal kuliah akhirnya menjadi seorang pelayan toko setelah anak pertama kami lahir juga menjadi istri dan ibu dari anak kami, sementara itu Yano tetap lanjut kuliah sesuai dengan perjanjian dengan pihak keluarga.

NB : enu sebutan perempuan dalam bahasa Manggarai, ase yang artinya Adik, kae momang  yang artinya kakak sayang dan kata ite  merupakan kata sapaan/sopan kepada  orang yang lebih tua.

Tokoh saya/Ceci dalam cerpen ini bukan penulis. Cerpen ini lahir dari kisah teman perempuan saya yang bertemu di kapal saat saya berlayar ke Surabaya dengan sebuah kapal juga hasil imajinasi penulis.

Surabaya, Juli 2019

Penulis: Juito Ndasung|Meka Tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *