Gara-Gara Belis: Susahnya Perempuan Berpendidikan Tinggi Mendapat Suami

Loading


Jangan tertipu dengan judul tulisan ini e. Saya membuat tulisan bukan untuk menolak belis, apalagi berjuang agar belis ditiadakan. O no, no, no. Belis adalah warisan budaya tanah Manggarai. Membenci belis atau mengharapkan agar belis dihapus, mirip dengan pepatah kacang lupa kulit. Karena begini, saya lahir ke dunia ini karena belis. Ya betul, Bapak dan Mama saya dipersatukan oleh belis. Belis dulu, baru jadi. So, saya berhasil “dicetak” karena disponsori oleh belis. Hehehe

Berbicara tentang Bapak dan mama, saya teringat dengan pernyataannya mama saya. Mama saya bilang begini “ Enu, perempuan kalo sekolah terlalu tinggi susah dapat suami”. What? Apa-apaan ini? Memori otak saya juga mulai menelusuri kisah lama, seingat saya dulu kalimat ini pernah saya dengar dari cerita teman saya. Teman saya juga mendengar kalimat ini dari mamanya.

Ada apa dengan Mama saya dan  Mama teman saya?

Saya yang sedang jomlo ini semakin gelisah galau dan merana gaes…

Bayangkan saja, justru ijazah yang mengangkat derajat perempuan Manggarai pula yang membuat kami tidak laku. Saya sebut saja tidak laku, kan susah dapat suami mengarah ke arti tidak laku to. Hehehe.

Dengan keadaan sok berat dan hati masih diterpa badai saya bertanya kepada mama saya alasan beliau menyatakan hal tersebut. Ternyata alasannya yang paling mendasar adalah ketakutan laki-laki. Wow! ada apa dengan nana-nana ganteng nan perkasanya kami. Plis deh… laki-laki Manggarai mental sopi itu saya pikir cuma guyonan belaka. Sekarang saya jadi berpikir itu real. Hehehe.

Kegalauan saya semakin bertambah saat memori otak sialan saya juga kembali menghadirkan pengalaman pribadi saya. Begini, saya pernah ingin memperkenalkan teman laki-laki dengan teman perempuan saya. Cieh, sok jadi mak comblang, padahal diri sendiri masih luang. Ups. Akhirnya, saya gagal jadi mak comblang, kerena teman laki-laki saya itu memilih mundur hanya karena teman perempuan saya sedang menempuh pendidikan pascasarjana, sedangkan dia lulusan S1. Hei! Whats wrong gaess…

Apa karena tarif belis atau karena takut dia lebih sukses dari nana? Hm, apa salahnya menjadi laki-laki gentle dulu. Jangan kalah sebelum belis diputuskan. Belum tentu juga kalau lulus dia dapat pekerjaan. Andaikan saja dia lebih sukses dari Ko nanti, sebenarnya itu adalah sebuah keberuntungan untuk Ko. Misalkan Ko belis dia mahal-mahal (Jangan sok! Bayar belis juga bukan pake Ko punya uang semua to, paling Ko hanya nyumbang ¼ bagian saja, bahkan kurang). Beruntungnya begini, pertama Ko dapat istri, Ko laku e. Kedua, Ko punya uang yang belis dia cepat kembali. Karena Ko punya istri punya penghasilan sendiri, dia tidak minta beli bedak dan gincu di Ko, terus bisa bantu ekonomi keluarga. Pokoknya jadi lebih hemat. Ketiga, apa Ko tidak mau Ko punya anak lahir dari rahim wanita berpendidikan dan sukses? Saya jamin Ko punya anak juga pasti cerdas dan sukses seperti mamanya. Dalam hal ini, kebiasaan orang Manggarai kalau anaknya sukses nama Bapaknya yang disebut pertama. Ko yang bangga to? Apalagi kalau Ko wariskan Ko punya nama sebagai nama belakangnya Ko punya anak. Uiss… kuat nana gah!

Jadi, kalau Ko jatuh cinta dengan enu Manggarai jangan biarkan tarif belis sebagai penghalangnya. “Enu, kerja di mana?”, “Enu, lulusan apa?” Jangan biarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penghalang. Jika dia punya pendidikan di atas Ko, dan selama si enu tidak mempermasalahkannya gas saja! Jangan dulu pikir belis. Belis bukan Ko sendiri yang tanggung atau mungkin saja nanti Ko dapat diskon, ups.  Lalu tentang gaya hidup, jangan Ko pikir perempuan sukses atau berpendidikan tinggi minta baju yang mahal, gincu mahal, bedak mahal, beha mahal, dan semuanya yang mahal. Eitss.. jangan Ko salah menilai dulu. Semahal-mahalnya selera perempuan tetap diskon yang dilirik terlebih dahulu. Iya kan girls? Apalagi dia seorang perempuan sukses, banyak uang bermewah-mewah pake uangnya sendiri, Ko tidak rugi. Nah, Ko ambil sudah istri yang karirnya tidak bagus juga tidak berpendidikan, apa Ko tidak stres?

Perlu juga jadi laki-laki matre. Ko sudah belis dia, jangan bikin tambah ribet lagi dengan membiayai dia mulai dari pembalut hingga pensil alis. Ko harus mendapat keuntungan dari dia jika Ko merasa belis itu berat. Ko curi dia punya uang (curi tipis-tipis, uang bedak dan gincunya untuk Ko, karena dia beli pake uang sendiri), Ko curi dia punya kecerdasan untuk diwariskan ke anak cucu kalian. Mantap kan laki-laki matre? Itu normal kok.

Kalian cinta Manggarai kan nana? Kalau cinta Manggarai jangan jadikan alasan pendidikan jika Ko mau mundur dari kisah cinta yang belum sempat dimulai, hikz, hikz, hikz. Bagaimana kalau ketakutan perempuan Manggarai malah membuat semangat meraih mimpi para Perempuan Manggarai menurun. Jadikan alasan tidak cinta. Itu lebih baik, tidak berdampak pada apapun. Tidak sampai membuat kami bunuh diri. Daripada dengan alasan pendidikan? Kalau perempuan yang malas tau macam saya sih selow, Ko tidak mau dengan saya karena saya karena alasan pendidikan? Persetan dengan Ko! Saya juga tidak mau dengan laki-laki yang kalah sebelum tongka berbicara. Hahaha.. Sorry gaes. Saya agak sensitif.

Tetapi, mungkin saja ada sebagian perempuan (saya berharap tidak ada)  yang tidak mau hidup sendiri. Lalu dia memutuskan untuk membatasi pendidikan demi menyesuaikan diri dengan pendidikan sang pujaan hati.

Apa yang salah dengan perbedaan gelar? Memangnya kenapa kalau pendidikan istri lebih tinggi atau istri lebih sukses? Toh tidak akan mengubah status. Istri ya istri, suami ya suami. Istri dengan pendidikan tinggi dan sukses itu bonus terindah dalam rumah tangga kalian. Iya kah istri? Iya suami. Hehehe.

Penulis: Im Kartini|Tua Panga|

1 thought on “Gara-Gara Belis: Susahnya Perempuan Berpendidikan Tinggi Mendapat Suami

Tinggalkan Balasan ke Kristo Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *