Kampung Lalang, Tanah Mama Bernasib Malang

Orang sering berujar bahwa pada tanah mana tembuni dikuburkan maka sudah seharusnya engkau tak boleh melupakannya begitu saja. Yang boleh dilupakan cukup mantan. Mau bentuknya seperti apa, keadaannya bagaimana, jalannya mulus atau bebatuan, orang-orang di dalamnya suka minum tuak, tetap itu engko pu kampung kelahiran. Begitu juga dengan status sosial yang sudah kamu peroleh, entah bupati, camat, provokator, intelektual hipokrit, ataupun penyanyi kamar mandi sekalipun tetap engkau akan pulang ke tanah kelahiranmu. Pulang ke tanah mama.
Tanah kelahiran saya di Lalang, bukan alang-alang yang dapat dianyam untuk dijadikan atap rumah dari orang Manggarai itu. Kampung Lalang terletak di desa Lalang kecamatan Rana Mese. Ibu saya lahir dan besar di sini. Ayah saya setelah lulus SPG St. Aloysius Ruteng ditempatkan di sini untuk mengabdi di SDK Lalang. Lalang juga menjadi tempat bersemai benih-benih cinta dari ayah dan ibu saya. Eitssss, romantis bukan?
Letak kampung Lalang tepat di bawah kaki pegunungan Poco Ri’i. Kampungnya sejuk. Pepohonan tumbuh dengan hijau. Kabut akan mengguyur saat sore tiba. Udaranya begitu dingin. Hanya sopi dan kopi yang dapat membunuh rasa dingin di Lalang.
Orang-orang di dalamnya ramah-ramah, mereka jarang marah-marah. Saking ramahnya mereka akan suguhkan tamu dengan minuman terkeren yang terdapat di sana, apalagi kalau bukan kopi plus sopi. Apabila kamu memiliki garis keturunan Kuleng, Nta’ur seperti saya, maka banyak-banyak bersyukur saat datang ke sini. Sopi dan moke putih begitu berlimpah untuk engkau nikmati. Tinggal pilih sa kaka, nyopi apa ngopi? Eh….
Lalang memiliki pesona alam yang tidak kalah besar dengan tempat lain di Manggarai Timur. Potensi ekonomi di dalamnya cukup menjanjikan. Dengan kondisi kampung yang terletak di kaki gunung membentuk tekstur tanah subur adanya. Tanaman perkebunan warga pun dapat tumbuh dengan baik. Kasarnya penduduk di sini tidak terlalu sukar untuk bertahan hidup. Asal punya kemauan untuk menabur maka siap-siap untuk menuai. Kopi, kakao, dan kemiri jadi sandaran ekonomi warga. Jangan ditanya pula mengenai buah-buahan. Di sini stok buah-buahan melimpah, ada advokat, pisang juga jeruk menghasilkan buah yang berlimpah.
Banyak orang-orang hebat pula yang lahir dan besar di sini. Mereka telah berkarya di mana-mana. Meski tertinggal dalam pembangunan, namun mereka tidak menyerah dengan keadaan. Saya pikir itu kabar baiknya ketika kepikiran untuk menarasikan tentang kampung Lalang.
Kendati demikian, rentetan eksotisme kampung Lalang justru berbanding terbalik dengan akses masuknya. Infrastruktur menuju kampung Lalang sejak zaman antah berantah hingga kini di era reformasi begitu sukar untuk dijajali. Jalan masuknya buruk pakai setengah mati. Sungguh teramat susah untuk dilalui.
Mengawali perjalanan dari kampung Golo Mongkok, pintu masuk menuju desa Satar Lahing dan desa Lalang disambut dengan tantangan yang tak mudah. Lewati Sungai Wae Musur yang sanggar saat banjir itu, engkau akan berjibaku dengan menyeberangi aliran sungai yang cukup deras.
Di awal tahun 2000-an, demi masuk dan keluar kampung Lalang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Pilihan ini diambil karena tak ada lagi pilihan lain. Dari Wae Musur kita akan memasuki tanjakan yang amat berat menuju kampung Lepeng. Peluh akan bercucuran melewati tanjakan ini. Ngos-ngosan. Tubuh yang berkeringat bersanding dengan rasa dahaga rasa-rasanya seperti seorang pemuda yang melakukan pedekate dengan seorang gadis begitu lama tetapi saat mau jadian ditikung oleh sahabat sendiri. Kekuatan cinta akan luluh lantak saat hubungan kalian sedang pedekate lalu tiba-tiba ditantang oleh calon inang dan amang untuk mendaki tanjakan ini sembari membawa beras seberat 30 kg menuju kampung Lepeng. Saya yakin engko angkat tangan, kaka. Hadeh.
Tiba di kampung Lepeng, perjalanan belum apa-apa. Jaraknya masih sekitar 5 km. Dari sini kita akan melewati jalan yang cukup datar. Perjalanan akan menyusuri ladang warga, sesekali dalam perjalanan akan bertegur sapa dengan para petani yang sedang mengolah ladangnya.
Apabila sedang tidak membawa barang bawaan yang berat, jarak tempuh ke kampung Lalang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Namun hal itu tidak berarti jika kita membawa beban yang cukup banyak, bisa saja molor hingga 4 jam.
Tiba di pelataran kampung sebelum memasuki kampung Uwu, pepohonan kemiri milik warga tumbuh dengan subur. Potensi perekonomian yang menjanjikan tampak terlihat. Dari sini kita memasuki kampung Uwu, salah satu anak kampung dari desa Lalang. Rumah-rumah warga berjejer sepanjang jalan. Rata-rata rumah warga sudah permanen, sebagian lagi masih mempertahankan bangunan lama. Rumah panggung.
Bergeser ke atas dari kampung Uwu, kita akan memasuki kampung Bea Kawu. Di sini fasilitas publik dibangun terpusat, ada sekolah dasar, Gereja Katolik dan Puskesmas.
Orang tua saya dulu tinggal di rumah dinas milik sekolah. Rumahnya berlantai tanah, berdinding papan dan ukurannya tidak terlalu besar. Saya lahir di situ. Rumahnya sekarang sudah dibongkar. Termakan usia. Saya lahir tanpa bantuan dokter tentunya. Bisa ditebak, saya lahir dibantu oleh mama-mama tua di kampung yang sudah lihai membantu, aman dan lancarnya persalinan.
Sementara itu kampung Lalang sendiri, adalah induk kampung dari beberapa anak kampung yang telah berkembang di desa Lalang. Di sini ada rumah gendang berdiri. Di tengah kampung berdiri kokoh compang. Compang adalah tempat khusus untuk persembahan yang terletak di tengah kampung, tersusun dari batu pilihan dan di tengahnya disediakan batu ceper (watu lempe).
Sekarang desa Lalang perlahan-lahan berkembang. Puskesmas baru berdiri kokoh. Pasar rakyat juga telah tersedia. Jembatan Wae Musur yang akan menghubungkan Golo Mongkok dengan desa Lalang sudah rampung dibangun. Jika dulu hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki, sekarang bisa dilewati dengan kendaraan roda dua dan empat. Akan tetapi tetap tidak mudah untuk melewatinya, pengendara disarankan ekstra hati-hati. Kondisi jalannya masih bebatuan. Belum diaspal sama sekali.
Kepala kampung yang lama maupun yang baru sering bertandang ke sana, namun setelah pulang ke sana janji tinggal janji. Foto-foto caleg juga tertempel di mana-mana. Di pohon-pohon, di rumah-rumah warga, di tikungan masuk kampung bahkan di puskesmas sekalipun foto caleg berjubel dengan seyum yang meruntai indah. Entah setelah itu mereka berbuat atau tidak, itu tidak penting sama sekali.
Akhirnya kampung Lalang tetap nyaman untuk didatangi pada suatu waktu nanti. Tanah mama yang telah lama bernasib malang itu akan selalu membuat saya rindu dengan berbagai cerita dan cinta di dalamnya. Bukan cerita tentang caleg-caleg yang mahapeduli itu, tetapi tentang cinta yang selalu hadir pada setiap sudutnya.

Penulis : Erik Jumpar|Tuapanga|
Mari kita kembali ke lalang tuk menemukan kembali jejak2 kaki kita semasa kecil dulu.
Ahhhh aku rindu. Kesibukan kadang membuatku lupa akan tanah kelahiranku.