Sero Kedea dan Inu Kopi: Ramah Tamah Simbolik Ala Masyarakat Ratelalu

Loading



Sero kedea dan inu kopi semenjak lama telah menjadi rangkaian kata-kata  ramah-tamah dalam relasi antarmasyarakat di Ratelalu, Manggarai Timur. Sero kedea secara harafiah berarti goreng jagung dan inu kopi berarti minum kopi. Kalimat yang dirangkai dengan menggunakan nama hasil panen masyarakat setempat ini sebenarnya bermakna undangan untuk mampir ke rumah.

Sero kedea di nggita a (kita goreng jagung dulu)” adalah kalimat lengkap undangan si tuan rumah kepada tamu untuk makan dan minum di rumahnya.  Bukan perkara tentang jagung yang digoreng atau sama-sama menggoreng jagung di rumah, kalimat ini hanya mau mengajak tamu untuk mampir dan pada akhirnya akan ada acara makan bersama.

Inu kopi di nggita a (kita minum kopi dulu)” adalah cara untuk menawarkan tamu untuk berhenti sejenak dari pekerjaan atau perjalanan, mampir ke rumah si pengundang. Di sana mereka akan menikmati kopi, baik kopi pahit maupun kopi manis bahkan bisa jadi air putih saja tergantung dari permintaan si tamu.

Basa-basi dalam ramah-tamah hampir ditemukan di semua budaya orang Indonesia, namun basa basi masyarakat Ratelalu memiliki gaya simbolisme yang unik. Di daerah lain (setahu saya) lazimnya tuan rumah langsung mengatakan “gak minum dulu?” atau “gak makan dulu?”. Orang Ratelalu mesti memperpanjang undangannya dengan menambahkan kedea (jagung) dan kopi.

Kedea dan kopi sebenarnya tidak asal diletakkan atau sekadar disampaikan dalam ungkapan keramahan masyarakat setempat. Kedea dan kopi selain sebagai bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat setempat, juga merupakan simbol keikhlasan dari tuan rumah untuk berbagi. Hal ini selaras dengan sifat masyarakat Ratelalu yang selalu ramah terhadap tamu meski tinggal berlama-lama di rumah mereka.

Selain itu, kedea dan kopi menjadi simbol bagaimana mereka melewati hidup. Masyarakat Ratelalu menggantungkan hidupnya pada hasil kebun mereka yang datangnya pada musim-musim tertentu. Mereka menanam padi dan jagung bergantung pada alam terutama saat musim hujan. Demikian juga kopi, karena bukan tanaman produksi mereka bergantung pada alam memberi mereka buah pada musim-musim tertentu.

Ketika saatnya hendak dipanen, mereka memanen hasil ladang dan kebun mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan sehari-hari yang dimaksud bukan saja untuk dinikmati bersama keluarga tetapi juga bersama tetangga, sahabat kenalan dan siapa saja yang mampir menjadi tamu. Jika alam memberi lebih barulah sebagian hasil tersebut dijual ke pasar-pasar terdekat.

Demikianlah kata kedea dan kopi tersebut hadir dalam kata ajakan ramah tamah. Tidak sekadar kata memang, kedea dan kopi mewakili keadaan ekonomi mereka. Kedea dan kopi menunjukkan keadaan sejahtera mereka. Melalui kedea dan kopi mereka mau mengatakan keluarga saya aman-aman saja dan dapat dibilang sejahtera.

Lebih jauh kedea dan kopi menjadi representasi disposisi batin dan kesediaan mereka untuk bersyukur. Rasa syukur itu teraktualisasi lewat tindakan mengundang orang lain. Bukan sekadar undangan tentunya. Undangan itu diikuti oleh perayaan sederhana menikmati kedea dan kopi.

Jangan Anda pikir bahwa yang akan disantap dan diminum adalah kedea dan kopi dalam arti harafiah. Meski sebagian keluarga ada yang masih mempraktikkan secara harafiah namun undangan menikmati kedea dan kopi  melampaui apa yang dikatakan. Kedea mewakili makan berat bisa berupa nasi dengan lauk ayam panggang, babi panggang, dan lainnya. Sedangkan kopi bisa saja susu, teh manis, kopi, bahkan minuman alkohol yang dalam dialek setempat disebut moke, BM alias Bakar Menyala. Biasanya minuman ini dilabeli kelas minuman Nomor 1.

Pesan penting dari undangan menikmati kedea dan kopi terletak pada ketulusan undangan, dan tanggapan atasnya serta kebersamaan menikmati apa yang nanti dihidangkan tuan rumah. Di sana akan ada cerita entah berupa kenangan atau membahas hal lain terutama tentang situasi hidup keluarga mereka sehari-hari.

Unik memang. Orang Ratelalu akan merasa nyaman dengan tamu. Kehadiran tamu menandakan betapa bahagianya hidup mereka. Jika tamu betah di rumah mereka hal itu akan memberi makna dan arti yang luar biasa terhadap kelanjutan pencarian nafkah mereka ke depannya. Jangan heran jika tamu ditahan-tahan untuk tinggal bahkan disediakan kamar tidur khusus untuk tamu, dengan kain songke Manggarai yang tentu masih baru.

Jika tamu itu anak kuliah atau anak sekolah sudah pasti ketika ia pulang akan diberi oleh-oleh berupa salam tempel. Tak usah melihat berapa nilainya. Itu sebagai tanda kedekatan mereka dan menjadi tanda ikatan kekeluargaan mereka dengan si tamu. Dan cerita tentang si tamu tak akan lekang oleh waktu, terkenang dalam cerita si tuan rumah kemana pun ia pergi.

Jika tamu orang dewasa, biasanya para penjual lipa songke, mas jawa atau terkadang para pekerja borongan serta tamu lainnya akan disuguhkan makanan yang enak-enak. Mereka rela rumah mereka dijadikan ‘semacam’ beskem atau asrama bagi para tamu terutama para tukang borongan dari daerah lain yang pada musim-musim tertentu mengerjakan proyek pemerintah: perbaik jalan raya.

Ketika mereka pulang akan ada sedikit acara makan-makan, biasanya tapa wawi atau tapa kao yang disuguhi dengan minuman Bakar Menyala. Kenangan dan cerita tentang tamu-tamu tersebut menjadi kesan indah dan tak terlupakan. Namun, relasi itu kemudian akan berlanjut entah kapan dan dimana. Biasanya perjumpaan dengan si tamu akan terjadi tanpa diduga, bisa saja di suatu tempat dan di suatu waktu tiada yang tahu tapi akan terjadi.

Zaman memang sudah berganti. Ratelalu bergerak maju seperti kebanyakan daerah lain di Indonesia. Meski terkesan lamban namun bentuk ramah-tamah dan kata-kata sopan santun perlahan tergerus status alay bahkan lebay media sosial.

Kedea dan kopi secara instan hadir dalam bentuk lain seperti sasetan dan kalengan. Meski itu juga menunjukkan bentuk lain dari sejahtera namun cita rasa alaminya tentu berbeda. Dan tulisan ini hanya mewakili rindu kampung halaman dan kangen akan kepolosan orang-orang kampung halamanku di waktu dulu.

Apakah Ratelalu dulu tetaplah Ratelalu sekarang dan orang-orangnya? Belum tentu. Salam ke Ratelalu, salam kedea, kopi, BM, serta Nomor satu pada orang-orang yang tiba-tiba mampir dalam kehangatan ingatanku hingga memberiku inspirasi untuk menulis tentang ini.

Penulis: Dendi Sujono|Meka Tabeite|

2 thoughts on “Sero Kedea dan Inu Kopi: Ramah Tamah Simbolik Ala Masyarakat Ratelalu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *