Toto Kopi Tuk dan Starbucks di Labuan Bajo

Loading


Selain komodo dan gugusan pulau serta ikon-ikon destinasi wisata alam lainnya di Labuan Bajo, ada lagi yang bikin heboh. Usai wisata halal, terbitlah Starbucks. Kata Bapak Bupati Dula kepada salah satu media daring lokal di Flores; “Starbucks sebagai ikon wisata baru di Labuan Bajo”. Ikon yang Kraeng Bupati maksudkan di sini yaitu objek atau lambang wisata baru. Ehmm, emang gitu ya, Pak?

Yang menjadi pertanyaan saya, ketika Bapak Bupati mengeluarkan pernyataan seperti yang saya kutip di atas, apa yang menjadikan Starbucks itu sebagai ikon wisata baru di Labuan Bajo? Apa? Apakah karena mereka mempunyai gelas kaca yang belum ada di kedai-kedai kecil milik pengusaha lokal, dan cangkir yang unik? Atau karena cita rasa kopinya beda dengan ketika dituangkan pada gelas ‘hadiah’ dari perusahaan sabun cuci itu?

Di Flores, sebagian besar orang Manggarai menggunakan piring dan gelas ‘hadiah’, yang kalau ende-ende beli sabun cuci ada bonus gelas atau piringnya sebagai hadiah. Sehingga karena beda dari jenis gelasnya itu yang membuat Starbucks sebagai ikon wisata baru di Labuan Bajo? Itu? Atau karena namanya yang terdengar mendunia dan elit? Begitu? Atau juga karena tata ruangnya yang keren dan kekinian? Nah, kalau begitu mengapa pihak pemerintah tidak mendorong masyarakat lokal jauh-jauh hari sebelumnya untuk bersaing di pasaran sebelum mengizinkan pengusaha-pengusaha besar pendatang itu masuk ke wilayah yang penghasilan komoditinya lumayan mendunia juga, Pak?

Sebagai masyarakat dunia kita semua tentu paham jika invasi pasar global tak terelakkan. Alih-alih menyiapkan masyarakat daerah bersaing, Pemda malah bersikap ramah terhadap investor besar yang notabene sebagai pendatang. Ohmaigat! What the hell is going on, Sir?

Petani kopi dan warung kopi milik masyarakat bawah dibiarkan berjuang sendirian sementara pemerintah berkoar dan memuja merk kopi internasional. Petani dan pengusaha kopi lokal dibunuh perlahan oleh kebijakan tanpa keberpihakan, ironis. Setidaknya, pihak pemerintah mengajak masyarakat untuk bekerja sama agar mempertahankan kreativitas budaya lokal, termasuk meracik kopi agar bisa dijadikan ikon wisata oleh para wisatawan yang berkunjung. Mengapa malah sebaliknya? Mengapa orang luar yang membuka ikon wisata (yang sebenarnya bukan ikon wisata sungguhan) itu di daerah pariwisata yang unik di mata dunia seperti Labuan Bajo? Ah, banyak sekali pertanyaan yang sebetulnya harus saya tulis di sini. Namun pertanyaan-pertanyaan itu, bagi saya ada di dalam isi kepala masyarakat kelas menengah Manggarai yang ingin memperjuangkan budayanya namun tidak didukung oleh para petinggi di daerahnya sendiri. Miris! Selebihnya, persoalan bukan hanya sebatas pertanyaan tetapi sebagai sebuah upaya menggunakan daya pikir untuk mencari jalan keluar dan seni menemukan jawaban. Aiseh!

Menurut informasi yang dihimpun oleh Pos Kupang, Kopi Manggarai menyabet penghargaan kategori Bronze Gourmet dalam ajang Agency for the Valorization of the Agricultural Products (AVPA) Gourmet Product di Paris, Prancis pada 23 Oktober 2018. Sebenarnya ini adalah peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan daya kreativitas petani dan pegiat kopi di Manggarai agar bisa mempertahankan prestasinya di mata dunia. Ah, sudahlah! Bukan (hanya keresahan) itu alasan saya untuk menulis ini. Tetapi saya lebih fokus ke masyarakat Manggarai yang unik dan keren bukan main.

Menolak investor-investor bertaraf internasional masuk ke Labuan Bajo mungkin terlalu naif. Akan tetapi, Pemda perlu membangun masyarakatnya dengan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas kelasnya di mata dunia. Kita bisa saja berkolaborasi dengan pengusaha luar, tetapi Pemda jauh-jauh hari sebelumnya perlu menanam pengetahuan dan mental yang konsisten untuk masyarakat mampu bersaing dengan para investor asing itu. Cara Kraeng Bupati Manggarai Barat menerima Starbucks mungkin bisa dibilang terkesan buru-buru. Langkah awalnya adalah persiapkan masyarakatnya untuk siap bersaing agar tidak menjadi kian ketinggalan.

Sebagai masukan; segeralah sibuk membuat pusat-pusat pelatihan hingga ke level desa. Manfaatkan semua potensi. Ajari masyarakat memanfaatkan semua lahan agar berdaya guna. Buatlah agar orang meninggalkan Starbucks dan memilih kafe-kafe atau kedai-kedai kopi lokal yg menarik, enak, dan seterusnya.

Bukankah Pemda ini juga hadir dengan kegiatannya dibiayai oleh pajak masyarakat daerah? Bukankah Pemda yang berotonomi mengatur arah pembangunan yang tepat dan berdaya guna bagi masyarakat? Bukankah Pemda berkewajiban melakukan inventarisasi aset (potensi daerah) untuk mengakomodir kebutuhan pasar? Sebagai tempat pariwisata yang mengandalkan kekayaan alam, wisata ekologi dapat menjadi solusi.

Wisata ekologi diyakini banyak pihak sejauh ini dianggap paling tepat. Mengapa? Karena Flores pulau yang sangat kecil. Dengan karakter masyarakat yang sepanjang hidupnya berkolaborasi dengan alam, masyarakat bertani. Di sisi lain, Pemda Mabar juga sebetulnya perlu menerapkan Laudato Si yang dikemukakan oleh Paus Fransiskus. On the care for our common home — Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama. Dengan tujuan untuk mengatur pembangunan agar lebih terarah, dan tidak melampaui keadaan alam dan situasi serta kondisi masyarakat setempat. Sehingga tidak dianggap sebagai pembangunan yang konsumerisme dan tak terkendali.

Pemerintah didorong untuk menentukan fondasi wisata  yang tepat dan terarah agar semua pelaku wisata bergerak simultan bergerak ke arah yang sama. Karakter wisata haruslah menjadi ikon utama wisata itu sendiri. Misalkan, ya, wisata ekologis itu tadi. Dengan komodo menjadi aktor utamanya.

Namun apalah daya kami ‘orang kecil’ ini? Silakan saja Pemerintah Daerah mengizinkan perusahaan Starbucks buka di Labuan Bajo, tetapi remaja-remaja Manggarai tetap setia dengan Kopi Tuk yang ampasnya tertampung di pantat gelas supaya sehabis kopinya diminum, ampasnya dijadikan sebagai sarana lamaran. Eh, maksud saya ramalan. Kebiasaan warga Manggarai ini disebut Toto Kopi. Sebab kalau di kedai-kedai kopi seperti Starbucks, ampasnya dibuang sebelum kopinya dituangkan ke cangkir peminum. Kalau di cangkir masih ada sisa ampasnya, bukan minum kopi dari list menu yang ada di Starbucks namanya, kan?

Di hadapan Toto Kopi, selain ramalan asmara dan kejadian-kejadian yang seolah menarik bahkan bikin mati penasaran pemilik ampas kopi yang diramal, puisi dan sajak-sajak menjadi kaku. Eh, maksudnya apa ini?

Pada akhir tulisan ini, sebagai salah satu warga, anak muda Manggarai paling ganteng yang pernah lalu-lalang di Labuan Bajo, saya menyaksikan bahwa ada yang unik dari Labuan Bajo. Sebagaimana Labuan Bajo merupakan tempat pariwisata yang sudah populer di mata dunia, sayangnya, warga Labuan Bajo krisis air minum-mandi-cuci, sedangkan hotel-hotel berbintang memiliki kolam renang yang aduhai. Itu persis kisah saya ketika pergi ke tempat pesta dengan keluarga besar dari kekasih saya, tapi kekasih saya sedang terbaring lemah di kamarnya lantas sakit gigi. Konyol bukan main. Listrik apa kabar? Terima kasih untuk listrik di Labuan Bajo. Manggarai, umumnya. Sebab ini menjadi bahan perbincangan saat bertukar pesan dengan pacar.

“Nana, tadi saya banting tulang di depan kamar mandi, pas saya mau masuk kamar mandi, listrik padam. Saya injak salah pipa.”

“Aduh…!!! Terus yang tadi saya panggil di jalan pikul makanan babi itu siapa, Enu? Soalnya di sana tadi gelap pas listrik padam juga.”

“Iya, Nana. Jadwal listrik padam di kami punya jalur ini malam e.”

Panjang sudah perbincangan yang pongah pada malam yang malang itu. Tapi tidak apa-apa, Pak. Saat rembulan tak menampakkan sinarnya, saat bintang tak memperlihatkan cantiknya, saat listrik tidak nyala di rumah-rumah warga, pada saat itu saya meyakini kekasih sebagai satu-satunya pusat dari segala terang. Sambil iri menatap ke pelataran hotel-hotel berbintang dengan lampu yang tak henti menertawakan kami (warga lokal yang ekonomi lemah lembut ini) saling mencintai di pinggir jalan dan gang-gang yang gelap. Lalu bagaimana dengan sampah? Ehmm, bicara sampah di Manggarai mengingatkan saya pada mantan kekasih saya yang dulu sekali. Bibir merah, bedak tebal, parfum wangi, namun setiap kali berkencan, dia selalu lupa sikat gigi dan baunya ehmm minta ampun. Bikin saya bernapas tidak lega saat mendekati bibir merahnya. Sedih!

Ooiya. Sekadar info. Di Manggarai Timur sudah diresmikan jalan raya lalu lintas propinsi jalur Bealaing – Mukun – Elar oleh Wakil Gubernur NTT pada 9 Mey 2019. Lah, apa hubungannya? Aneh-aneh saja saya ini. Eh, tapi di sana bakalan keren. Kopi Tuk masih setia menemani perbincangan kami yang konyol dan menarik.

Mari minum kopi, Bapa.

Bapa beli di Starbucks, kami minum kopi milik kami sendiri, tumbuk sendiri, sangrai sendiri. Sebab kami mencintai hasil karya kami sebelum jatuh cinta pada yang lain. Huufft..!!!

Ttd:

Roeng Koe.

(Masyarakat Kecil)

Nb:

Kopi Tuk: Biji kopi yang ditumbuk usai disangrai.

Toto Kopi: Ampas kopi yang yang menempel di pinggiran gelas, biasa dijadikan media untuk ramal-ramalan oleh masyarakat Manggarai.

Penulis: Itok Aman|Tua Panga|

1 thought on “Toto Kopi Tuk dan Starbucks di Labuan Bajo

  1. Mantap komandan.
    Masyarakat belum disiapkan utk bersaing, tetapi pemerintah sudah menyiapkan Medan untuk bersaing. Ibaratnya tentara d suruh utk perang tanpa d bekali dgn latihan dan perlengkapan yg mumpuni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *