2020, Tucholsky dan Pertanyaan untuk Tuhan

0

“Meskipun 2020 habis dengan agak “mengecewakan”, saya masih ingin mengulangi sebuah pertayaan, pertanyaan Tucholsky untuk agama dan Tuhan-nya.”

Tuhan-kah yang membiarkan anak pengungsi ini menderita? (Sumber gambar: Google)

Loading


Frumens Arwan | Redaksi

Hari-hari saya di tahun 2020 kebanyakan berlalu dengan begitu sunyi dan mencekam. Bukan lantaran saya tak mampu memetik makna darinya, melainkan terutama karena baru pertama kali dalam hidup saya melihat kematian yang datang kepada seorang pasien sekarat di rumah sakit sama mungkinnya bagi saya yang masih kuat mengayuh sepeda dari Pondok Bambu, Jakarta Timur ke Rawasari, Jakarta Pusat. [Itu jauh!] Kematian seolah begitu dekat dengan siapa pun. Maka kata kawan saya, “Jika ada yang harus saya hapus dari keseluruhan hidup saya, itu adalah 2020.”

Kawan saya ini tidak sepenuhnya salah sebab perasaan yang sama saya rasakan betul. Jauh dari orang lain rasanya jauh lebih aman ketimbang berada di tengah keramaian. Saya yang hobinya lejong sekarang kebanyakan menghabiskan waktu di kamar kos. Sekarang, di 2020, “Orang lain adalah neraka bagi saya” sebagaimana dikatakan Sartre sungguhlah benar. Segala peristiwa yang terjadi di tahun 2020 itu―kematian, virus yang menakutkan, ketakutan dan kecemasan―kebanyakan mau tidak mau harus dibingkai dalam satu kata: penderitaan.

Namun, saya tak ingin menghapus 2020 dari kehidupan saya, persis karena gelapnya yang lebih banyak dari gemerlapnya. Bagi saya, meskipun 2020 habis dengan agak “mengecewakan”, saya masih ingin mengulangi sebuah pertanyaan, pertanyaan Tucholsky untuk agama dan Tuhan-nya.

Kurt Tucholsky (1890-1935) adalah seorang wartawan dan novelis asal Berlin, Jerman pada Perang Dunia I. Dia seorang pengagum Yesus dari Nazareth. Baginya, Yesus adalah “Sang Revolusioner Agung”, meskipun kenyataannya pada masa itu Gereja bersikap kontra-revolusi. Karenanya, sang pengagum Yesus dari Nazareth itu harus berdiri melawan otoritas Gereja. Ia mengkritik Gereja lewat tulisan-tulisannya yang tajam sebagaimana ia juga mengkritik militer dan pengadilan.

Akibat dari pendiriannya itu, ia harus merasakan banyak ketidakadilan ketika pada tahun 1933 pemerintah Nazi Jerman mencabut kewarganegaraannya dan buku-bukunya dibakar. Kekalahan Jerman pada perang dunia pertama, disusul dua perkawinannya yang berantakan dan sakit paru-paru yang dideritanya membuatnya bunuh diri pada tahun 1935.

Tucholsky adalah seorang ateis. Dan saya mengakui kejujurannya di hadapan Tuhan. Baginya tidak ada Tuhan yang membiarkan manusia menderita atau pun membunuh satu sama lain. Tidak ada Tuhan yang mengagas peperangan dan kekerasan. Ia yakin bahwa Tuhan yang disembah orang Jerman ketika memerangi orang Prancis dan Tuhan yang dipuja orang Prancis ketika memerangi Jerman tidak pantas untuk disembah.

Tucholsky sendiri yang adalah seorang pejuang perdamaian dan anti-perang dengan tajam mengkritik Gereja pada masa itu. Para pendeta medan perang menurutnya diperbudak oleh sebuah “kesalahen misterius”, yang setelah membolak-balikan Kitab Suci lantas mengeluarkan kalimat: “Kamu harus membunuh!” Baginya Tuhan yang dipercayai Gereja yang dalam nama-Nya perang dikobarkan harus dilawan sebagaimana juga militer dan pengadilan.

Sebagaimana Ayub dalam Kitab Suci, kita perlu bertanya  dan menggugat Tuhan justru karena mengeluh adalah bagian dari iman. Sebagaimana Tucholsky, kita menggugat Tuhan karena kita percaya bahwa Dia-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas segala peristiwa di muka bumi ini. Maka, sesekali dalam doa-doa sunyi kita, kita perlu menggugat-Nya.

Akan tetapi, pertanyaan untuk Tuhan saya simpan dahulu, barangkali karena jawaban-Nya selalu berakhir dengan sunyi dan tak pernah sama untuk setiap orang. Maka yang lebih penting bagi saya adalah pertanyaan untuk mereka yang mendaku beriman kepada-Nya, yang tidak lain tidak bukan adalah agama.

Meski tak serupa apa yang disaksikan Tucholsky pada masa Perang Dunia I, hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana Tuhan dipakai untuk membenarkan sikap bandel kaum beragama yang sebenarnya keras kepala. Agama memang kebanyakan berisi orang-orang yang keras kepala, yang memandang keyakinan individu mereka jauh lebih penting di atas aturan-aturan praktis. Mereka bilang “suara azan” bisa mematikan virus. Atau kekuatan doa jauh lebih dahsyat dari kemampuan virus menyebar. Berkumpul dilarang, kecuali katanya berkumpul di gereja, masjid dan tempat-tempat ibadah lain karena di situ virus tak menyebar. Hanya saja mereka tidak tahu kalau ternyata 80 % penyebaran Covid-19 di Korea Selatan itu berasal dari seorang ibu yang masih bandel pergi ke Gereja untuk beribadah ketika pemerintah Korea Selatan sudah memerintahkan untuk melakukan karantina.

Berbagai ormas dan pergerakan melakukan kekerasan dan pengerusakan fasilitas-fasilitas publik atas nama agama, mempersekusi dan membunuh pun atas nama agama. Agama yang konon identik dengan kekerasan dan amarah bertanggung jawab atas banyak sekali kekerasan di Indonesia, sebut saja Front Pembela Islam (FPI) yang baru saja dibubarkan pemerintah itu.

Selain itu, sains yang paling tidak telah teruji kebenarannya dan sangat membantu kita di masa-masa krisis akibat pandemi  justru hanya dipakai untuk membenarkan keyakinan agama kita. Setiap penemuan sains dicari kebenarannya dalam Kitab Suci, dogma dan doktrin agama. Padahal ajaran agama yang hari ini benar menurut sains bisa jadi suatu waktu dibuktikan salah oleh sains yang sama.

Meskipun 2020 habis dan tinggal kenangan, saya dan Anda semua masih punya pertanyaan untuk agama pun untuk Tuhan yang diyakininya. Kita tak dapat mengelak dari kenyataan bahwa 2020 sungguh berjalan dan lalu berakhir dengan banyak penderitaan, mulai dari kematian, ketakutan, keterbatasan ruang gerak dan sebagainya. Justru di situlah kita perlu mempertanyakan situasi kita. Pertama, kepada Tuhan asal kita dan tempat doa-doa kita dialamatkan. Meskipun selalu berakhir sunyi, mengeluh dan berteriak kepada-Nya adalah bagian dari iman. Kedua, kita perlu melihat ke dalam diri kita sebagai pemeluk agama. Keyakinan individu selalu harus ditempatkan pada tempatnya yang sesuai dan jangan menjatuhkan kita ke dalam jurang kebodohan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *