Album-album Lawas Timor: Melestarikan Dua Bahasa
Bruno Rey Pantola|Redaksi
Sudah hampir dua bulan saya terkurung di kamar guna menaati himbauan #dirumahsaja. Selama itu pula, selain membaca dan menulis di saat yang tenang dan sunyi, saya juga menyempatkan diri untuk dengar musik pada saat yang benar-benar sunyi. Maksud saya, ketika semua orang diam, saya full bas di kamar. Itu sudah kebiasaan buruk saya. Maafkanlah.
Bagi saya, kegiatan mendengar musik bukan saja untuk menghibur diri. Lalu apa? Berkabung? Tentu saja. Tergantung genre musik apa yang dapat kita nikmati. Tetapi saya lebih sering memutar lagu-lagu Timor. Saya paling suka musik Timor. Nadanya boleh berirama dansa, tapi liriknya sungguh menyayat hati. Untung bukan lagu seriosa. Jadi, kadang saya dansa sendirian di kamar sambil menghayati lirik-liriknya. Coba Anda bayangkan, lompat-lompat, maju-mundur sambil berusaha memaknai sebuah lagu. Agak bagaimana, begitu.
Oleh karena itu, selain menghibur diri dengan musik, saya mengajak Anda sekalian untuk sedikit menepi dari huru-hara hidup kita, lalu menikmati musik. Oke?
Musik adalah alunan perasuk jiwa paling populer di antara berbagai bentuk seni yang lain. Karena itu, bicara tentang dunia musik, tidak pernah lepas dari kesenian. Seni adalah proses membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusan, keindahan, fungsi, pembentukan makna dari bentuknya, dan sebagainya). Seni meliputi banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan, atau keperigelan teknik pembuatnya untuk dihargai keindahannya atau kekuatan emosinya. Demikian pengartian seni dari Wikipedia. Sedangkan Bapatua Aristoteles menyebut musik sebagai sesuatu yang mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi kreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Kita bisa membayangkan musik begitu mendapat posisi yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Musik telah banyak meluluhkan atau sebaliknya menggairahkan seseorang.
Musik tanpa lirik adalah instrumen kosong, pun sebaliknya, lirik tanpa musik hanya susunan nada pada lirik yang kering. Oleh karena itu, musik dan lirik adalah satu komponen penting yang kemudian menghasilkan apa yang kita sebut sebagai lagu. Keterikatan ini menciptakan ritme bunyi dan ungkapan di dalam sebuah dinamika bunyi yang kemudian akan menjadi sebuah lagu yang indah dan merdu.
Sebuah lagu tidak diciptakan begitu saja. Selain sebagai ekspresi seni, terdapat unsur-unsur penting yang terkandung di dalamnya. Sebut saja ekspresi kekalahan seseorang, kemenangan, cinta, budaya, kritik, dan masih banyak unsur yang mewakili perasaan seorang pencipta lagu. Semua itu diramu dan disalurkan lewat bahasa.
Untuk itu, mari kita kembali bernostalgia dengan lagu-lagu lawas, khususnya lagu-lagu daerah kita masing-masing. Selain mengenang lagu-lagunya, kita dapat menghidupkan kembali ingatan pada para pengarang lagu dan vokalis yang begitu berjasa mengungkapkan berbagai jenis kebiasaan dan tradisi budaya kita dalam bentuk alunan lagu yang merdu.
Karena bicara tentang pemaknaan sebuah lagu, maka kita juga akan dihadapkan dengan bahasa. Seseorang akan memaknai sebuah lagu ketika ia benar-benar menguasai bahasa yang digunakan dalam lagu itu. Contoh saja, akan sedikit aneh jika orang yang sama sekali tidak paham bahasa Latin mendengar lagu dalam bahasa tersebut lalu menangis tersedu-sedu. Maksud saya, untuk memaknai sebuah lagu, kita tidak hanya mendengar alunan musiknya, tetapi akan lebih tepat kita memaknai setiap untaian kalimat yang disandingkan dengan musik tersebut.
Di pulau Timor, terdapat dua bahasa “besar” yang digunakan masyarakat Timor Timur dan Timor Barat: Bahasa Tetun dan Bahasa Dawan. Bahasa Tetun digunakan di Timor Timur, yang juga adalah bahasa nasional Timor Leste saat ini, sedangkan bahasa Dawan digunakan di daerah Timor Barat khususnya Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Kupang. Bila Anda berkunjung ke Timor atau mendapatkan pasangan hati dari pulau Timor, maka sebaiknya pelajari lebih dahulu kedua bahasa tersebut, sebab kedua bahasa ini menjadi alat komunikasi pada umumnya di pulau Timor.
Dahulu, sebelum Timor Leste menyatakan referendum dan menjadi Negara sendiri, kedua bahasa ini kerap digunakan untuk segala proses transaksi, baik tertulis maupun lisan. Pemisahan negara juga berpengaruh pada mental orang berbahasa. Bahasa Tetun hanya digunakan Orang Timor Timur sebagai bahasa nasional negaranya, pun sebaliknya bahasa Dawan digunakan hanya sebagai bahasa lokal masyarakat Timor Barat, saat ini. Kedua bahasa ini memiliki basisnya masing-masing di kedua daerah tersebut. Tentang sejarahnya, saya belum cukup kuat untuk medeskripsikannya di sini. Initinya, pada masa sebelumnya, aris-artis lokal Timor memulai kariernya dengan menciptakan lagu-lagu dalam bentuk album. Setiap album berisi kurang lebih sepuluh lagu dalam bahasa kedua daerah tersebut. Misalnya vokalis dari Timor Timur tidak hanya mengarang lagu dalam bahasa Tetun tetapi juga menciptakan berbagai lagu dalam bahasa Dawan. Begitupun sebaliknya vokalis-vokalis dari Timor Barat berkarya. Sehingga masyarakat Timor menikmati lagu-lagu dari segi seninya sekaligus berusaha memahami kedua bahasa ini. Saya kira ini adalah sebuah capaian luar biasa yang dilakukan oleh para pencipta lagu dan vokalis Timor. Karya-karya mereka seakan telah melampaui kemajuan yang masih tertatih terkait bahasa, pada waktu itu, di mana bahasa lokal yang digunakan oleh seorang anak sekolahan, bagi masyarakat umum, akan dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan dicap tidak memiliki pandangan tentang kemajuan, atau dianggap sebagai suatu langkah mundur. Padahal, bahasa adalah salah satu warisan leluhur yang perlu dilestarikan sebagai bentuk kita berbudaya. Walaupun pada akhirnya setiap orang bertanggung jawab atas cara yang berbeda-beda. Ada yang cuma berbahasa lisan, ada yang menulis, dan ada pula yang yang menyanyi.
Sekitar tahun 90-an hingga 2000-an (bahkan hingga kini), lagu-lagu karya putra-putri daerah ini eksis di kalangan masyarakat Timor (kecuali pecandu tik-tok). Tanpa disadari, karya-karya mereka ini tidak semata-mata hanya karya bagi kepentingan musik atau produser, melainkan mengekspresikan semacam sebuah “kepentingan” yang jika sedikit jeli kita pikirkan, punya begitu banyak pengaruh besar pada peradaban dan kelestarian bahasa di Timor.
Dalam sebuah artikel berbahasa Dawan dengan titel Sit Ok-oke nek Uab Meto Namliab Molok (2008) sastrawan Timor Yohanes Manhitu menulis seperti ini: dalam pekerjaan melestarikan bahasa lokal seperti bahasa Dawan dan bahasa-bahasa yang lain, saya berpikir bahwa berbagai jenis lagu yang berbahasa lokal dapat berkontribusi dalam pelestarian sebuah keutuhan bahasa. Sebab, dalam sebuah lagu yang merdu, sebuah bahasa dapat hidup dan tumbuh di sebuah daerah tertentu karena masyarakat adalah penikmat musik yang dapat ikut menyanyikan lagu-lagu tersebut. Jadi, demikian lagu begitu penting keberadaannya dalam masyarakat dan bahasa setempat. Selain menghibur, dapat mungkin menjadi alat untuk mempertahankan sebuah bahasa serta ada begitu banyak pemaknaan yang dapat dicicipi dari sebuah lagu—lagu daerah.
Dari Timor Timur sampai Timor Barat, terdapat beberapa pencipta lagu dan vokalis legendaris yang sampai kini masih eksis di dunia tarik suara. Ada Maun Toni Parera, Maun Abito Gama, Maun Jino da Costa dan beberapa vokalis lainnya yang berasal dari Timor Timur (Timor Leste). Album-album pop daerah mereka sudah tersiar ke mana-mana, khususnya sangat popular di seluruh kawasan pulau Timor. Ada pula Sius Otu, Laurenzo Amaunut, Edi Tahoni, Vester Esa, Jery BTN, Inacio Soares, dan Joni Lopes. Mereka ini berasal dari Timor Barat yang menciptakan album-album lagu dalam bahasa Tetun dan Dawan.
Toni Pareira dan Abito Gama pernah tampil di Indosiar pada 2019 lalu dalam acara Golden Memories mewakili negara Timor Leste. Ini menandakan dunia permusikan di Timor banyak dinikmati dan diminati tidak hanya di kalangan Timor tetapi melampaui batas kawasan Timor. Inacio Soares dan Jhoni Lopes pernah bersama dalam satu group musik bernama Nakroma yang juga menciptakan album Nakroma. Di dalamnya terdapat lagu-lagu berbahasa Tetun dan Dawan. Sedangkan Jery BTN pernah menciptakan album tunggalnya yang juga terdapat lagu-lagu dari dua bahasa besar di Timor ini. Begitupun Vester Esa dan lain-lain.
Capaian-capaian para legendaris musik di atas menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Timor. Mereka telah menggoreskan karya-karya mereka bagi generasi muda saat ini. Selain itu, mereka berhasil menyatukan kedua bahasa lokal Timor dalam bentuk karya seni yang kian populer di kalangan penikmat musik khususnya masyarakat Timor.
Pengaruh besar lagu-lagu mereka dalam pelestarian bahasa Tetun dan Dawan di Timor patut diapresiasi. Namun pemerintah, masyarakat, dan budayawan-budayawan Timor masih belum sadar akan hal ini. Banyak generasi yang justru mulai melupakan bahasa lokalnya sendiri lantas meninggalkan Timor dan menetap di daerah-daerah lain di Indonesia. Begitupun lagu-lagu itu di-cover dan dinyanyikan ulang dengan warna musik yang bukan lagi sebagai kekhasan musik orang Timor, apalagi bahasanya kerap tidak sesuai dengan lagu-lagu tersebut. Ini menandakan bahasa Timor dan Dawan tidak begitu dikuasai oleh generasi saat ini—asal comot.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin berterima kasih kepada para pengarang lagu dan vokalis yang saya sebut di atas. Semoga karya mereka terus mewarnai dunia permusikan di Timor sebagai upaya pelestarian bahasa dan budaya. Saya juga ingin merekomendasikan sebuah lagu bagi Anda sekalian, khususnya yang berasal dari daerah TTS (Soe). Lagu ciptaan Sius Otu berjudul Kuan Soe Leko Nes.
Salam.