Anak Kos Bercerita Tentang Kopi

Loading


Apek Afres|Redaksi

Kehidupan sebagai anak kos di tengah pandemi COVID-19 itu cukup merepotkan. Mau jalan-jalan, berkeliling kota juga tidak bisa. Terpaksa stay at home lebih nyaman dan peduli lingkungan. Keperluan kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran, mesti disiapkan sejak awal. Itu langkah solutif yang saya jalani sekarang ini.

Situasi seperti sekarang luar biasa menyiksa dan luar biasa rumit diatasi. Keharusan untuk tetap stay home atau stay kos bagi kami yang merantau mencari pendidikan cukup membosankan. Mau bagaimana lagi, keselamatan setiap individu selalu diperhitungkan. Sebagai anak kos, saya harus menghilangkan rasa bosan ini. Rasa bosan dengan pasangan cukup mudah diselesaikan, namun rasa kesendirian sebagai anak kos yang tidak bisa ke mana-mana sepertinya cukup sulit.

Saya berusaha menyediakan semua kebutuhan yang menyenangkan sebagai anak kos. Lumayan menghilangkan rasa bosan. Air galon mesti selalu penuh, rokok satu-dua batang sehari setidaknya diperjuangkan supaya selalu ada, dan yang penting adalah kopi untuk terus menginsipirasi termasuk untuk buat tulisan ini.

Waktu liburan bulan Februari kemarin saya menyempatkan diri untuk pulang kampung. Melepas rasa kangen, itu kata mereka. Persiapan untuk memenuhi kehidupan anak kos ke depannya saya siapkan sebelum balik ke Jogja. Yang utama adalah kopi. Bukan kopi buatan perusahan tapi kopi natural yang diolah serba alami sebelum menjadi bubuk kopi. Ditumbuk, sangrai, hingga menghasilkan bubuk kopi yang aromanya, sssssssspppp, sedap.

Saya siapkan tiga stoples besar, yang lainnya dibungkus plastik. Lumayan bisa dihabiskan selama dua bulan. Perkiraan saya seperti itu, waktu itu. Jika tidak, di luar jangkauan sudah.

Seperti biasa, setiap bangun pagi sebelum pergi kuliah dan setelah mandi sore saya selalu menyeduh kopi. Takaran dan cita rasanya harus pas. Mesti ada aroma khas setelah air panas dan bubuk kopi berkolaborasi. Di tambah gula secukupnya, ah, selera dan sensasinya melambung tinggi. Saatnya hidup penuh inspirasi.

Satu bulan lebih saya melakukan kebiasaan seperti biasa. Minum kopi setelah bangun pagi dan sesudah mandi sore. Cukup menyenangkan bagi saya sebagai anak kos, juga tidak ribet-ribet amat, tinggal diatur saja takaran dan cita rasanya. Seiring waktu berjalan, isu COVID-19 merebak di mana-mana. Isunya sedikit asing dan perlu dipertanyakan waktu awal-awal viral. Sekarang faktanya berkata lain. COVID-19 kian merajalela, dan di bumi Indonesia tercinta ini ia terus menghantui. Jalan keluarnya seperti yang instruksi pemerintah, harus lockdown. Kami anak kos juga tidak terkecualikan. Harus stay kos.

Satu minggu setelah lockdown yang mengharuskan kami untuk stay kos, persediaan kopi saya habis. Yang menemani setelah bangun pagi sudah hilang. Kuliah online terasa garing. Penghangat setelah mandi sore juga kian sirna. Kebosanan mulai memuncak. Alasannya karena bingung mau berbuat apa. Tugas kuliah juga menumpuk. Dalam kondisi seperti ini, sebagai anak kos saya menghalalkan segala cara untuk melenyapkan rasa bosan ini.

Selama beberapa hari setelah kehabisan stok, saya masih tahan untuk tidak minum kopi. Lama-lama rasa jenuh mulai muncul. Saya harus mencari pengganti kopi, motivasi dari dalam yang cukup kuat. Beli kopi saset juga dipikir-pikir. Jujur, saya tidak suka sama sekali beli kopi saset yang ada di warung-warung. Di Jogja teman-teman kos saya sering beli di burjo, bisa langsung dibungkus juga. Rasa enaknya apa coba? Digunting, tuang, dan diaduk, selesai. Sensasi cita rasanya di mana? Takarannya yang sudah dirancang oleh pabrik tentu mempermudah pembeli, tetapi tidak untuk penikmat kopi. Tidak diperlukan kepiawaian khusus untuk menghasilkan kopi nikmat siap seduh. Yang kontra dengan saya terserah. Saya tidak memaksa. Saya sedang curhat saja, heheh.

Saya bukan kelompok snobsis kopi yang gemar berbicara kopi. Tentang single origin kopi seperti apa, tentang temperatur air yang sesuai, atau tentang kadar air yang terkandung dalam kopi, dan lain-lain. Saya hanya anak kos biasa, tapi suka sekali minum kopi. Ada suasana khusus yang tidak dihasilkan dari meminum minuman lain, termasuk kopi bermerek yang sering saya lihat di samping jalan itu. Sensasinya berbeda. Digunting, tuang, aduk; sonde enak, Kaka! Itu sistem kerja kopi bermerek itu. Kopi yang diolah secara alami sensasinya berbeda. Kenangan dan aroma selalu sejalan; menginspirasi dan memantik daya kreatif.

Ketika saya di rumah, kopi buatan ibu itu romantis sekali. Suasananya akan dikenang dan akan menjadi cerita yang indah ketika saya yang ngekos di tanah orang ini rindu untuk pulang kampung. Yang susahnya juga ketika kopi yang ia sediakan untuk anaknya di tanah rantau sudah habis. Rindu rumah su, rindu kopi buatan mama su.

Ketika stok kopi alami habis, apa saya harus menggantikannya dengan kopi bermerek? 

Ttttttt, ada panggilan masuk. “bro, saya ada kiriman dari orangtua nih, jika mau ambil kopi silakan datang”, telepon seorang teman yang kosnya agak berdekatan dengan kos saya.

Otw”

1 thought on “Anak Kos Bercerita Tentang Kopi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *