Anak Rona dan Berkat yang Melimpah

0

Loading



Arfey Silfester|Kontributor

Tahun 2016 saya berkunjung ke kampung Pau, kampungnya anak rona (kampung asal ibu saya). Kunjungan itu tidak lain untuk memohon doa dan berkat mereka untuk melanjutkan studi di STFK Ledalero.

Dalam budaya orang Manggarai, memohon berkat dari anak rona (saudara ibu) berarti menjunjung tinggi nilai budaya serta martabat para leluhur anak rona sebagai penyalur berkat dari Mori jari agu Dedek (Tuhan Pencipta alam semesta).

Adapun berbagai berkat yang dipercayai itu seperti, ta’i cala wa’i, borek cala bocel, yang berarti berkat yang bersifat memohon keturunan. Tetapi kedatangan saya ke keluarga anak rona saat itu tidak dalam rangka mencari cucu untuk ibu dan bapak saya.

Berkat yang saya dan keluarga harapkan kala itu adalah; lalong bakok dugu lakon, lalong rombeng dugu kolen, yang berarti sukses dalam menjalankan studi atau pendidikan, dan juga berkat uwa haeng wulang, langkas haeng ntala yang berarti tumbuh dan berkembang menjadi lebih dewasa.

Upacara meminta berkat itu dinamakan teing hang. Teing hang secara harafiah berarti memberi makan. Teing hang bersifat supra natural karena para leluhur diyakini hadir bersama dalam upacara itu dan dipersilahkan makan.


Pada saat upacara berlangsung saya memperhatikan mulut tongka (juru bicara) mengucapkan torok dengan sangat cepat. Torok yang diucapkannya seperti sudah luar kepala, sangat susah bagi anak seusia saya untuk menangkap semua yang keluar dari mulutnya.

Go’et (peribahasa) yang sempat saya petik dari kecepatan mulutnya hanya lalong bakok dugu lakon, lalong rombeng koe dugu kolen, wancing koes ngalis, we’ang koes gerak. Go’et itu merupakan ungkapan visi orang Manggarai yang menjadi bagian dari tradisi lisan.

Namun kemudian saya mencoba memaknai go’et tersebut dari perspektif pribadi sebagai keluhuran niat yang dilambangkan dengan lalong bakok (ayam putih) dan juga keluhuran harapan yang dilambangkan oleh lalong rombeng koe dugu kolen (ayam yang warnanya menjadi variatif).

Di antara niat dan harapan luhur itu terimplisit doa yang terungkap dalam kalimat wancing koes ngalis, we’ang koes gerak, yang mengandung arti harapan, semoga perjalanan (studi saya) mulus dipenuhi damai dan suka cita.


Selain itu, makna lain dari lalong bakok adalah kerendahan hati untuk bersedia diwarnai (mau memperoleh ilmu pengetahuan) untuk menjadi lalong rombeng du kolen. Lalong rombeng merupakan hasil dari sebuah proses, sehingga ketika kembali ke kampung halaman, saya membawa banyak pengetahuan dan pengalaman.

Sekiranya kalimat itu menjadi inti dari upacara memohon berkat (teing hang) dari anak rona. Para leluhur dari anak rona diyakini penyalur berkat yang akan wa’eng gerak, wancings ngalis.


Di akhir ritual itu, tongka menyuruh saya untuk memakan sesajen yang diberikan kepada para leluhur. Tongka mengatakan, hang lite situ wa ge nana, agu inung wae hitu wa. Ai hitu hang reci dise nene agu wae reci dise kudu molor sekolah dite. Artinya saya yang harus memakan sesajen tersebut sebab itu merupakan makanan sisa dari kakek dan nenek saya.

Tanpa berpikir panjang saya pun melahapnya. Wangi ayam panggang yang mejadi sesajen tersebut mengudang nafsu makan. Ya, sudah pasti enaklah.

Akan tetapi, menurut himbauan dari kraeng tongka, sebelum memakan makanan tersebut, saya mesti menyertakan harapan dan doa agar mereka memperoleh kehidupan kekal di surga. Doa itu sekaligus ucapan terima kasih atas segala kelimpahan berkat dan kebaikan mereka melalui anak rona.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *