Anggapan Sesat Orang Manggarai Terhadap Romo dan Pater

foto hasil editan sendiri ketika benih iman mulai dipanen
Frumens Arwan |Redaksi
Kata “Romo” dan kata “Pater” tentunya begitu familiar di telinga setiap penganut Katolik Manggarai. Meskipun terdengar berbeda, kedua kata itu sama-sama berarti “Bapak” dan sama-sama merujuk kepada imam atau pastor dalam Gereja Katolik. Hanya saja yang pertama diambil dari bahasa Jawa, sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin.
Akan tetapi, kok aneh ketika dua orang Pastor Katolik, misalnya, sama-sama bertamu ke rumah kita, yang satu dipanggil “Romo”, yang lain dipanggil “Pater”. Hmm, pembedaan semacam ini adalah khas orang Manggarai. Di Manggarai, nama “Romo” seringkali disematkan kepada imam-imam diosesan atau imam lokal, sementara nama “Pater” disematkan kepada imam-imam yang berasal dari tarekat atau ordo tertentu, seperti OFM, SVD, MSF, CICM, dan sebagainya. Di tempat lain, misalnya di Jawa, keduanya dicampuradukan begitu saja, terserah mana yang enak di lidah. Sementara di Eropa, semua pastor dipanggil dengan sebutan “Father”.
Bagi saya, pembedaan nama semacam ini bukanlah soal apa-apa. Toh kita bisa menyebut sesuatu atau seseorang yang sama dengan nama yang berbeda. Pemberian nama adalah soal kuasa si pemberi nama kepada sesuatu yang diberi nama olehnya. Jadi bisa seenak jidat seorang saja. Selain itu, ini juga soal kebiasaan budaya tertentu.
Akan tetapi, sebagaimana di Manggarai, telah ada generalisasi atau penyamarataan yang sesat di dalamnya. Dan ini menjadi sebuah masalah. Akibat penyamarataan semacam ini, baik imam-imam yang disebut “Romo” maupun yang disebut “Pater” memiliki anak buahnya sendiri-sendiri. Umat terbagi ke dalam dua kelompok, yakni penyuka “Pater” dan penyuka “Romo” dan ini hanya menyangkut selera seseorang. Ah, iman kadang-kadang memang soal selera yah.
Para pengikut “Romo” atau yang mengidolakan “Romo” cenderung menganggap yang diidolakannya itu lebih superior atau lebih baik dari yang “Pater”: lebih setia, lebih jujur, lebih tegas, lebih ganteng dan lebih kekinian. Di sisi lain, yang mengidolakan “Pater” cenderung menganggap pujaannya itu jauh lebih baik daripada yang “Romo”: lebih sederhana, lebih jujur, lebih mengumat, lebih bagus kotbahnya, dan lebih keren jubahnya.
Aih, betapa jahatnya generalisasi yang sesat itu. Umat dengan iman yang satu, dengan Gereja yang satu, bisa terpecah-belah hanya karena soal selera. Bahkan lebih buruk―ingat, lebih buruk―dari bapak-bapak yang terbagi menjadi kubu penyuka Barcelona dan kubu penyuka Real Madrid. Atau ibu-ibu yang terbelah menjadi kubu penyuka film azab Indosiar dan penyuka sinetron SCTV.
Generalisasi ini menjadi sedemikian parah ketika para pengidola yang satu menolak pemimpin agama yang lain; pengikut “Romo” menolak “Pater” dan begitu pun sebaliknya para pengikut “Pater” menolak “Romo”. Penolakan ini bukan penolakan biasa. Yang ditolak itu hal-hal rohaniah. Ditolak doanya, sakramennya, kotbahnya, berkatnya, dan sebagainya. Bahkan saya pernah mendengar ada umat yang bilang begini, “Ah, menyesal saya dulu karena pernikahan saya diberkati sama Romo yang itu.” Atau, “Anak kamu kok dibaptis oleh Pater yang itu yah?” Astaga. Ini rahmat Tuhan loh. Bukan soal paslon bupati A dan paslon bupati B.
Ada sesuatu yang tidak beres di sini, sesuatu yang bisa merusak iman umat Manggarai dari dalam. Oleh karena itu, mendesak bagi saya dan kita semua untuk menyingkirkan penyamarataan sesat semacam ini dari kehidupan menggereja kita.
Pertama, rahmat Tuhan jauh melampaui keadaan diri imamnya. Seorang imam bisa jadi buruk di mata kita, tetapi keburukan itu tidak serta-merta menjadikan rahmat Tuhan yang dibawanya juga buruk. Kita boleh saja tidak menyukai pribadi seorang imam, dengan alasan khusus tentunya, tetapi itu tidak boleh membuat kita menolak rahmat Tuhan. Katakanlah, genitnya pastor tidak sama dengan berkat dari tangannya. Genit itu sifat pribadinya, tetapi berkat itu datangnya dari Tuhan. Tuhan sendiri kok yang menyempurnakan imamnya itu.
Kedua, saya hanya ingin mengatakan bahwa anggapan semacam itu hanya merupakan sebuah bentuk generalisasi. Dan generalisasi adalah sebuah bentuk kesesatan berpikir. Kita mendapati si A dari suku X mencuri, tetapi tidak bisa mengatakan bahwa semua orang di suku X adalah pencuri. Dengan kata lain, suatu kejadian yang khusus tidak bisa dipakai untuk menarik sebuah kesimpulan yang umum.
Begitu pula dalam kasus di atas. Kita barangkali mengidolakan tokoh yang satu, katakanlah pemimpin agama yang satu dan tidak menyukai yang lain. Ketidaksukaan itu barangkali lahir dari sebuah pengalaman yang buruk yang kita alami dengan tokoh tertentu. Akan tetapi, pengalaman itu adalah unik, yang hanya kita sendiri yang mengalaminya. Tetapi kan itu satu pengalaman pribadi Anda. Nah, dari pengalaman yang unik itu kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa semua pemimpin agama dari golongan itu buruk. Itulah generalisasi yang salah.
Nah, pemahaman yang baiknya adalah bahwa entah dia itu romo atau pater, semuanya adalah pewarta Kabar Gembira Allah, yang mengalirkan berkat Allah kepada kita. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk. Yang pernah melakukan kesalahan tidak selamanya akan menjadi buruk. Dengan demikian, jika kita bisa berpikir dan bertindak dewasa, kita pun bisa beriman secara dewasa. Berhentilah melakukan penyamarataan yang sesat. Semoga?
Menarik! Menurut saya, munculnya pemahaman yang ambigu di kalangan umat juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan umat tentang perbedaan istilah yang digunakan. Hal ini berakibat pada kesalahpahaman umat ttg istilah tsb. Karena itu, sejogjanya imam sbg agen pastoral mesti sllu mmberikan pemahaman kpd umat ttg hal2 praktis spt ini. Misalnya, setiap x mengadakan perayaan ekaristi, katekese umat dan kegiatan2 lainnya. Saya turut memberikan apresiasi kepada penulis yang telah berkontribusi thdp Gereja.
Jika kenyataanya begitu,bgamana romo atau pater memperlakukan umat yang terdiri dari dua kubu bgtu?sehingga warta gembira yang ia bawa masih tetap sampai ke semua orang(termasuk yang pemahamanya kurang benar)