Aparat Desa yang Mencuri

1

Bukan foto aparat yang dimaksud.

Loading


Itok Aman | Redaksi

Dalam sebuah kesempatan minum kopi seperti hari-hari lainnya seorang aparat desa datang menghampiri saya. Saya meminta bantuan Maria untuk membikin satu gelas kopi untuknya.

Dia datang dengan raut wajah yang tak biasa. Seperti ada yang tak beres. Segumpal emosi terlihat di bola matanya, juga bibirnya yang pecah-pecah karena terik siang itu.

Sambil mengumpan pertanyaan ringan, saya menyodorkan rokok untuknya, rokok yang saya beli hasil merayu Maria untuk memberikan saya uang. Rokok batangan tak apa. Asal ada. Ehmm. Sebab Maria teliti untuk pengeluaran dan pemasukan, untuk sial-sial dan rezeki. Ia menghitungnya dengan baik. Semacam ada kalkulator khusus seperti chip yang tertanam di otak perempuan ini.

“Seperti apa kriteria untuk terima dana covid ini?”

Saya tidak mengharapkan untuk terima dana itu. Saya hanya berharap dia memberi informasi sesuai pertanyaan saya saat itu.

“Yang sudah berkeluarga.”

“Pekerjaan?”

“Petani.”

“Tapi maaf, logika saya seperti ini, Pak….”

Saya belum selesai menyanggah, dia sudah duluan memotong pembicaraan saya.

“Justru saya paling tidak suka mendengar orang yang -melaju mese-.”

“Lah, kan Bapak pihak desa. Setidaknya perlu diskusi agar masyarakat yang tidak paham macam saya tentang dana dan anggaran di desa itu bisa paham, supaya juga tidak ada kecurigaan masyarakat terhadap pihak desa.”

“Curiga macam apa?”

“Begini, kalau ada transparansi pengelolaan anggaran dan segala macam yang berkaitan dengan pembangunan desa, pasti tidak akan menimbulkan kecurigaan masyarakat akan adanya penyelewengan di dalam sistem desa. Apalagi kalian pihak desa ini, saya lihat hanya mengundang orang-orang yang sama, yang itu-itu saja kalau ada musrembangdes, sehingga tak salah, pola pikir dan outputnya itu-itu saja dari orang yang itu-itu saja. Cobalah sesekali undang masyarakat lain, yang belum pernah diberi kesempatan selama ini, undang anak muda agar desa bisa lebih kreatif.”

“Yang begini nih yang saya tidak suka. Omong terlalu banyak. Anak kecil macam kamu saja bisa omong begitu, apalagi orang tua seperti saya. Saya lebih tahu dan berpengalaman dari kamu.”

“Baik, kalau Bapak merasa lebih berpengalaman, kapan ada kesempatan untuk kita diskusi virtual, lewat live stream Youtube dan medsos saya, google meet, atau zoom meet. Bapak pilih aplikasi media yang mana?”

“Apa lagi itu diskusi virtual? Google meet itu apa? Yang macam mana lagi zoom meet? Macam Facebook kah, Nana?”

“Nah, ini. Barang itu saja Bapak tidak tahu,  tapi Bapak bilang lebih tahu dan berpengalaman. Zaman sudah beda, Bapa. Butuh transparansi di sini.”

“Maaf e. Masih jam kantor. Sebentar saya ketemu Nana lagi.”

Dia pergi, tak sempat mencicipi kopi buatan Maria. Dia hanya mengambil sebatang rokok saya, tentu dengan segala tak sadar diri, korek api milik saya dibawanya serta dengan penuh percaya diri. Terpaksa, saya bakar rokok pakai api dari tungku, sungguh mengganggu Maria yang sedang khusyuk memasak siang itu.

Sebetulnya saya hanya ingin ngobrol lepas, bagaimana dia menanggapi logika saya, jika dana bantuan covid hanya diberikan kepada para petani yang sudah berkeluarga, bagaimana dengan pasien covid yang bukan dari kalangan petani? Semoga saja, pada kesempatan lain dia datang lagi bukan untuk diskusi tapi untuk kembalikan korek api saya.

Dia pulang dengan raut wajah yang tak biasa. Seperti ada yang tak beres. Segumpal emosi terlihat di bola matanya, juga bibirnya yang pecah-pecah karena terik siang itu. Dosa saya saat itu, tak bisa mengubah suasana hatinya. Sepertinya, saya telah memecahkan balon hijau yang kedua lantas hatinya makin kacau.

Hati saya pun ikut kacau, dia juga memecahkan balon hijau, membawa korek api milik saya tanpa beban. Aparat desa itu mencuri korek api saya. Kita pun seperti itu, sering mencuri tanpa sengaja. Apalagi yang namanya korek api, bukan?

Nb:

melazu mese = omong besar –

Salam melazu mese!

1 thought on “Aparat Desa yang Mencuri

  1. Mohon kesabaran-Nya dan pelan-pelan menggiring mereka ke arah yang lebih baik; tapi saya salut redaksinya, tetap semangat TABE ITE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *