Armin Bell; Mantan Penyiar, Blogger, ASN, PIMRED atau Penulis?

Loading


Popind Davianus|Tuagolo

Kali ini saya akan membawa pembaca ke Ruteng untuk bertemu dan berkenalan dengan Armin Bell. Dalam masa pandemi covid-19 ini, “temu” tidak harus dalam jarak sepersekian senti atau Anda harus memaksa saya untuk menyambangi rumahnya. “Temu” dalam konteks pandemi bisa melalui dunia digital atau dunia jurnalisme menyebutnya daring (dalam jaringan) atau online.


Sebagai sebuah media kecil yang sedang merangkak dan memikul harapan untuk menjadi media besar, mungkin tidak terlalu lebay jika sesekali kami menganugerahkan diri kami dengan sebutan jurnalis. Setiap anggota Tabeite bekerja mencari, mengumpulkan, menyusun dan mengelola informasi untuk kebutuhan pembaca.

Nah, hal ini yang paling mendasar dari sebuah profesi yang disebut jurnalis, dan bukankah dengan melakukan hal mendasar itu maka kami layak disebut jurnalis?


Lalu penjelasan saya ini, apa kaitannya dengan Armin Bell? Apakah sebuah kode bahwa Armin Bell adalah seorang jurnalis atau mungkin mantan jurnalis?

Bukan.


Saya harus jujur bahwa berdirinya Tabeite tidak luput dari diskusi bersama Armin Bell. Awal saya mengenal Armin Bell dari radio. Bapak saya yang saat itu menjadi kepala desa memengaruhi otak saya untuk setiap hari mendengar radiogram termasuk mendengar Lumen FM, radio tempat Armin Bell melakukan siaran.


Armin Bell adalah salah seorang penyiar dengan suara yang khas. Entah ada masalah apa dengan pendengaran saya, pokoknya, saya kesusahan membedakan suara dari penyiar laki-laki A dan penyiar laki-laki B, setiap mendengar radio. Tetapi ada pengecualian untuk suara dari Armin Bell dan Errol Jonathans. Penasaran dengan Errol Jonathans? Cari saja di Google! Intinya, suara mereka berbeda dari suara penyiar laki-laki kebanyakan. Entahlah, mungkin ada teori pernafasan tertentu yang menjadi rujukan mereka.

Ternyata ada rentetan cerita panjang kenapa Armin Bell menjadi seorang penyiar radio. Berawal dari mengambil jurusan komunikasi sewaktu kuliah di Universitas Merdeka, Malang. Saat memasuki semester lima Armin Bell magang di sebuah radio swasta, MAS FM, Malang.


Entah dibenarkan kalau saya mengatakan ini “kebetulan” atau tidak, saat Armin Bell magang, MAS FM juga membuka penerimaan penyiar dan reporter baru pada tahun 2002. Armin Bell pun iseng-iseng ikut tes dan hasilnya, ia diterima. Ini mah kebetulan saja ah. Seorang mahasiswa Manggarai Barat menjadi penyiar di sebuah radio profesional di kota besar, kalau bukan karena kebetulan yah karena ilmu hitam bertindak, wkwkwkwkw.


MAS FM adalah sebuah radio berita. Armin Bell sempat menjadi pemandu talk show, pemandu program khusus, dan yang paling diingatnya adalah saat ditunjuk menjadi news manager.


Sejauh pencarian saya di google, penyiar pertama dari Flores yang bekerja menjadi penyiar radio di Jawa hanya Armin Bell. Adapun peyiar radio lain yang saya temukan adalah Alm. Herman Hakim Garut, dari Sita, Manggarai Timur yang menjadi penyiar radio di Amerika.
Kurang hebat apa lagi coba?


“Soal penyiar radio pertama dari Flores itu sa kurang tahu e, tapi di sap radio di Malang, hanya saya satu-satunya. Entah di Jogja, Surabaya atau kota lainnya,” jawab Armin Bell dengan segala kerendahan hatinya via WA.


Pengalaman menjadi penyiar di Malang ini pun yang membawa Armin Bell menjadi penyiar beken di Ruteng.


Sa pulang Ruteng bawa semua pengalaman bekerja di Malang dan bangun iklim kepenyiaran di Ruteng waktu itu,” tutur Armin Bell.


Kenapa harus Ruteng jika memang Malang masih nyaman? Apa karena sudah jatuh cinta dengan Celestin Hadi?


Sa jatuh cinta sekali dengan ini kota, kalau dulu di Mabar, sa tidak kenal anak-anak Saehgolino. Jujur, saat itu saya masih nyaman di Malang e, cuman orangtua minta pulang kasih tunjuk ijazah. Saat masih di Malang, ada beberapa tawaran juga dari radio di Jakarta,” sambung Armin Bell dengan emoticon sedih di akhir kalimat.


Ketika Armin Bell berhenti siaran di Malang dan di Ruteng, saya menjumpai kembali suara khasnya yang hilang di SMAK St. Fransiskus Xaverius. Bukan lagi antara penyiar dan pendengar tetapi sebagai guru jurnalistik dan murid bandel. Dari sanalah saya mulai mengagumi Armin Bell sebagai sosok yang cerdas.


Armin Bell yang saya kenal tidak sebatas mantan penyiar radio tetapi juga seorang Blogger. Blogg Armin Bell sudah banyak dikunjungi pembaca, khususnya pembaca yang sedang kangen-kangennya dengan Ruteng. Armin Bell banyak menulis tentang kota Ruteng dan segala keunikannya. Blog Ranalino.id adalah bukti bahwa cinta Armin terhadap Ruteng bukan manis di bibir saja.


Kalau kalian juga masih ragu bahwa tulisan di blogg bukan tolok ukur mutlak dari kecintaan terhadap Ruteng, fakta lainnya juga, Armin Bell tekun mengembangkan komunitas di kota dingin tersebut. Saehgolino adalah contoh bahwa gebrakan Armin Bell untuk kota Ruteng dan untuk pengembangan bakat anak muda di sana patut diacungi jempol. Kalau masih belum tahu kegiatan positif Saehgolino, cek saja sendiri di fanspage facebook atau instagram mereka.


Sebagai seorang Blogger, Armin Bell juga memberi kami banyak ilmu, termasuk membangun Tabeite dengan sesuatu yang berbeda.

Kalau kalian masih ingat sharing pengalaman kreatif kami di hari ulang tahun Tabeite, yang membawa saya mengikuti lomba yang diadakan Kumparan adalah Armin Bell.

Walaupun gagal, tetapi kegagalan itu yang membuat saya berhasil membangun Tabeite bersama teman-teman lainnya. Oleh sebab itu, mengulas Armin Bell kali ini adalah bagian dari mendoakan orang baik. wwkwkwkwkwk.


Armin Bell tidak sekadar menulis di Blog atau media-media ternama yang ada di Indonesia, beliau juga seorang penulis buku ternama dari beberapa penulis di NTT. Buku pertamanya berjudul “Telinga”.

Sayangnya, penjualan buku ini terbatas sehingga saya pun belum membacanya sampai sekarang.


“Buku Telinga itu sap project petama e, garapnya agak terburu-buru. Mau sunting lagi tapi energi su terkuras”

Setelah “Telinga”, Armin Bell mencetak buku KUMCER “Perjalanan Mencari Ayam”. Buku yang sudah saya baca sampai selesai dan sudah berjejer rapi di rak buku.

Buku Perjalanan Mencari Ayam berisi kumpulan cerpen yang asyik untuk kita baca. Dari judulnya saja, karya sastra ini menurut saya agak kurang ajar. Belum apa-apa, penulis sudah menyerahkan kepada kita sebuah tanggungjawab atas sebuah kehilangan ayam. Kehilangan itu pun ternyata membawa kita kepada kehilangan lain. Seperti Leon si tokoh utama yang harus kehilangan kekasihnya setelah kehilangan ayam.

Mario F Lawi, juga seorang penulis beken dari NTT dalam prolog buku Perjalanan Mencari Ayam memuji Armin Bell yang dengan berani mengangkat kehidupan sosial masyarakat Manggarai ke dalam sebuah karya sastra dan juga menggaungkan idiom lokal.

Buku kemarin meledak. Kira-kira berapa eksemplar yang sudah terjual?

Sa hanya terima royalti. Angka-angkanya ada di penerbit Dusun Flobamora”
Buku ketiga mau dibawa ke mana?


“kayanya novel e. Tunggu sa

Yang kemudian membuat saya bingung memperoleh jawaban sampai hari ini adalah Armin Bell itu enaknya disebut apa? ASN, mantan guru, mantan penyiar, blogger, PIMRED Bacapetra atau penulis?

2 thoughts on “Armin Bell; Mantan Penyiar, Blogger, ASN, PIMRED atau Penulis?

  1. Saya tertarik mengulik orang-orang hebat seperti mereka, dan saya lebih jatuh cinta kalau ini di post 2 mei kemarin.
    Semoga Tabeite tetap memberikan informasi yg berkualitas. Salam hangat

Tinggalkan Balasan ke Iren Agul Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *