Ateisme: Pencapaian Puncak Agama-agama

Dokpri
Melihat fenomena agama-agama akhir-akhir ini, saya malah memikirkan cara pandang dan cara hidup orang-orang ateis. Ateisme. Mereka adalah kelompok orang-orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Lalu bagaimana cara mereka bisa berbuat baik dengan sesama tanpa mendengarkan ajaran-ajaran agama mana pun yang ‘katanya’ agama mengajarkan kebaikan dalam berbagi cinta dan kasih? Ini adalah pertanyaan mendasar sebagai bahan permenungan kita (yang beragama) dan mereka yang tidak beragama.
Kalau memang benar bahwa agama mengajarkan kebaikan, cinta dan kasih, maka saya berhak menertawakan kita yang beragama tetapi tidak saling mencintai satu sama lain. Para pemikir dari golongan ateis teoritik mengatakan bahwa yang paling pasti adalah manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan gambar yang mereka mau dan suka. Sementara, yang belum pasti adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia. Sebab, nobody knows, who is the God? Where is the true God?
Dengan demikian, saya menarik sebuah kesimpulan, jika Tuhan yang menciptakan manusia maka di dunia ini hanya ada satu agama yang benar-benar dari Tuhan itu sendiri. Sebab manusia yang menciptakan Tuhan maka agama datang dengan segala pengaruh sesuai versinya masing-masing dan mengklaim bahwa ‘agama saya yang benar-benar datang dari Tuhan!’ dan pada akhirnya dua kelompok (beragama dan tidak beragama) ini sama-sama terjun ke dalam dua hal. Berbuat baik dan berbuat salah. Maka timbullah perbedaan pandangan dan keributan di mana semua umat yang beragama mengklaim bahwa agama mereka yang paling benar. Layaknya ulat-ulat kecil yang jelek saat ribut untuk memperebutkan menjadi kupu-kupu yang paling cantik.
Sampai pada sebuah kesimpulan yang menurut saya sendiri bahwa ateis adalah puncak dari segala agama-agama. Bahwa jika kita benar-benar berbuat baik terhadap sesama secara total maka kita harus melupakan Tuhan. Mengapa demikian? Saya membayangkan seorang siswa yang mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya bukan karena benar-benar berniat untuk mengerjakannya tetapi karena dia takut dengan gurunya. Siswa jenis ini adalah siswa yang munafik. Seiring pertumbuhannya bisa saja dia tergolong kaum-kaum hipokrit. Seseorang yang munafik, yang mulai dari dalam ruangan kelasnya. Siswa ini tidak ribut di dalam kelas juga bukan karena dia menghargai teman-temannya yang sedang belajar tetapi karena dia takut dihukum oleh gurunya. Demikian pun kita, orang-orang yang beragama, dimulai dari cara kita berdoa dan saling mendoakan juga dalam hal berbuat baik bukan karena kita benar-benar total berbuat baik, tetapi kita takut akan Tuhan dan mengimpikan pahala-pahala.
Menjadi ateis tidak hanya soal tidak percaya Tuhan. Tetapi mereka yang paham akan ajaran kasih tanpa melalui agama, dan paham menghargai perbedaan tanpa melalui ayat-ayat Kitab Suci, sejatinya tanpa disadari bahwa mereka mengamalkan puncak ajaran dari agama-agama yang absolut tanpa takut Tuhan dan embel-embel masuk surga atau neraka.
Orang-orang beragama berusaha berbuat baik sebagai cara menghindari dosa dan berkhayal masuk surga. Sedangkan orang-orang yang tidak beragama berbuat baik tanpa tahu Tuhan serta neraka dan surga. Sampai di sini saya juga merenungkan pernyataan Friedrich Nietzsche yang kerap dikenal sebagai Pembunuh Tuhan. Kalau kita telaah secara logika bahwa Nietzsche tidak benar-benar membunuh Tuhan secara terang-terangan. Tetapi dia berusaha membunuh Tuhan buatan manusia lewat pandangannya tentang cara hidup manusia-manusia yang menciptakan Tuhan itu sendiri.
Bagaimana cara membunuh tuhan? Ini adalah sebuah konsep yang sederhana tetapi seolah-olah rumit. Bahwasannya membunuh Tuhan sama dengan menghilangkan Tuhan dalam kehidupan dan pikiran kita. Jika seorang siswa, seperti yang diumpamakan di atas, mengerjakan pekerjaan rumahnya, dia tidak harus mengerjakannya karena takut dihukum oleh gurunya. Tetapi dia mengerjakannya sebagaimana tanggung jawab seorang siswa. Seorang siswa tidak harus duduk diam atau belajar di dalam kelas karena takut dihukum bila dirinya kedapatan saat ribut bersama teman-temannya. Demikian halnya dalam kehidupan beragama, ada saat-saat tertentu kita harus meninggalkan Tuhan jika memang kita benar-benar berbuat baik. Kita yang beragama harus menjadi seperti orang-orang ateis jika benar-benar berbagi cinta kasih tanpa harus takut dengan Tuhan dan tidak perlu berkhayal tentang surga dan neraka.
Jika Tuhan mengajarkan cinta kasih maka agama-agama yang saling menyerang tempat ibadah dan umat agama lain adalah bukan sebenar-benarnya agama. Dan, mereka adalah golongan orang-orang hipokrit yang berpura-pura menyembah Tuhan tetapi dengan sadis membunuh Tuhan itu sendiri dengan cara mengabaikan ajaran cinta kasih dalam agama-agama yang dianut.
Bagaimana cara membunuh Tuhan tanpa harus mematikan ajaran-ajaran moral di dalam agama? Saya mengambil sebuah perumpamaan. Si Osas sedang sakit, ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit dan membutuhkan lima kantong darah untuk memenuhi proses penyembuhannya. Lalu, salah satu dari anggota keluarganya mengunggah ‘status’ di akun media sosialnya, bahwa dia membutuhkan lima kantong darah dengan golongan darah B sesuai golongan darah Osas. Sontak teman-temannya di media sosial itu bersedia menyumbangkan darah. Setelah pasien ini sembuh, keluarganya tadi mengunggah ‘status’ yang berisi ucapan terima kasih kepada para pendonor darah. Dari nama-nama pendonor yang disebutnya ada Umat Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik. Sebelum mereka mendonorkan darah mereka masing-masing, mereka lupa bertanya “apa agama dari pasien itu?” Tetapi tujuan mereka adalah menyembuhkan pasien tersebut. Bahkan mereka lupa bahwa walaupun berbeda keyakinan tetapi mereka memiliki golongan darah yang sama. Setelah pasien ini sembuh baru mereka diam-diam mencari tahu bahwa pasien ini adalah seorang ateis.
Sampai di titik ini mereka telah membunuh Tuhan tanpa mematikan ajaran-ajaranNya. Dan, apabila para pendonor ini tidak merasa menyesal bahwa mereka telah menyelamatkan nyawa seorang ateisme maka mereka telah mencapai puncak ajaran Tuhan yang mereka anut yaitu tentang cinta kasih yang absolut. Namun, apabila satu atau dua di antara mereka yang menyesal dan merasa najis telah menyumbangkan darah kepada seorang ateis itu, sebetulnya dia mempermalukan Tuhan dan agamanya di hadapan beberapa agama yang lain di sekitarnya.
Maka, apabila Anda benar-benar seorang yang beragama, pergilah ke tempat ibadah Anda karena iman. Bukan karena ingin dilihat orang dan takut akan Tuhan melainkan menjadikannya sebagai tanggung jawab sebagaimana Anda seorang penganut ajaran agama. Demikian halnya jika berbuat baik, bukan karena ingin dipuji atau mendambakan surga dan takut neraka juga karena takut akan Tuhan, melainkan cara untuk menunjukkan tanggung jawab Anda sebagai seorang makhluk sosial yang mencintai sesama, yang menghargai perbedaan. Sebagaimana seorang ateis yang tidak memiliki agama tetapi berbuat baik tanpa melihat agama orang-orang di sekitarnya.
Agama hadir bukan untuk mengoreksi iman orang lain tetapi mengoreksi diri sendiri. Agama ada untuk menemukan persatuan yang solider di antara perbedaan. Sebab, kita semua memang tak sama. Tapi dalam cinta, kita tak berbeda.

Penulis: Itok Aman|Tua Panga|
Narasi yg cerdas dan sulit utk dibantah dlm menggugat dan mengingatkan kita, yg Ateis dan non Ateis, tentang cara membina kehidupan dan beragama dlm dunia yg penuh dgn persoalan yg complicated. Dari paparan diatas telah membawa saya,(yg minim pengetahuan filsafat), pada suatu kesimpulan yg walaupun bersifat sementara karena nanti akan di uji kesahihannya sesuai perkembangan jaman di tahun mendatang; Bahwa kombinasi pemahaman dan pengamalan ajaran ateis dan agama adalah yg paling ideal di era milenial sekarang. Dan atau bagi yg happy dgn cara pandang Ateis tinggal terapkan itu dlm kehidupannya sehari-hari, bagi yg beragama; amalkan semua hukum dan ajaran yg ada tanpa rasa takut dan malu terhadap sesama dan Tuhannya.