Bagaimanapun Surat Akan Selalu Lebih Baik dari Handphone

6

Loading


Mensi Arwan|Redaktur


Saya seorang pengagum hal-hal yang berbau romantis: menulis surat untuk pacar, mengirim bunga untuknya di hari kasih sayang, menelepon di telepon umum, menyatakan cinta lewat puisi di koran dan masih banyak lagi. Dan di sini, saya mau berbagi pendapat dan pengalaman saya mengenai surat. Bahwa dibandingkan dengan handphone atau gawai, surat sejatinya jauh lebih baik.


Surat bagi saya merupakan hasil penemuan terbaik yang pernah dicapai manusia; Kejeniusan tiada tara, hasil inovasi orang-orang yang membenci jarak dan memuja rindu, layaknya diri saya. Dan juga tanpa mengurangi rasa kagum pada penemuan kertas pada masa silam. Tanpa kertas kan kita tidak bisa menyurati dia yang kita cinta. Ahay.

Nah, pertama kali jatuh cinta sama surat adalah ketika saya belajar filsafat di salah satu perguruan tinggi filsafat di Jakarta. Suatu waktu, ketemulah saya sama materi yang dalam filsafat disebut eksistensialisme. Tentu saya tidak akan membahas mengenai filsafat eksistensialisme itu di sini. Saya sendiri saja belum paham sepenuhnya. Hehehe.


Waktu itu, saya diperkenalkan oleh seorang dosen saya seorang tokoh eksistensialis yang hidup pada awal abad ke-19 bernama Soren Abye Kierkegaard. Dia adalah salah satu filsuf yang nyentrik menurut saya.

Betapa tidak, ia mengakhiri secara sepihak hubungannya dengan tunangannya yang bernama Regina Olsen boleh dikatakan tanpa alasan yang jelas. Kita hanya berandai-andai, barangkali ia ingin membuktikan teori-teorinya tentang keautentikan diri. Tetapi apa pentingnya untuk dibahas?


Kierkegaard pandai menulis surat dan merayu wanita. Itulah hal yang membuat saya tertarik padanya. Kata-katanya yang mashyur mengenai surat adalah demikian, “Surat tetap merupakan sarana yang tak tertandingi untuk mengesankan gadis muda; huruf yang mati itu sering berpengaruh lebih kuat daripada kata yang hidup.” Saya terenyuh ketika membaca kata-kata itu pada halaman awal dalam diktat kuliah mengenai pemikiran filsafat tokoh ini.

Bagaimana mungkin, kata saya. Apa surat memang sedahsyat itu? Setelah pelajaran filsafat yang cukup menarik itu, saya langsung kepikiran untuk membuktikan teori itu. Bukankah teori memang seharusnya dibuktikan?


Sejak saat itu, saya sering menulis surat untuk kekasih saya yang hanya satu itu. Bahkan saya sampai ketagihan menulis surat-surat itu. Surat-surat yang saya kirim tak pernah peduli pagi atau sore, siang atau malam, musim hujan atau musim kemarau. Terus saya kirim surat-surat itu, meski selalu tak berbalas.

Saya anggap bahwa wanita saya itu menyukai surat-surat saya; lantas, cukuplah bagi saya surat itu selesai ditulis dan dikirim. Tak penting bagi saya apakah surat itu dibaca oleh wanita itu atau malah dibaca oleh ayahnya.

Mencintai bagi saya adalah memberi. Dan pemberian satu-satunya yang bisa melampaui batas ruang dan waktu hanyalah kata-kata.
Beberapa bulan lalu, menjelang hari Valentine saya menulis surat untuk kekasih saya yang tinggalnya di Flores, Nusa Tenggara Timur. Itu tempat yang jauh dan saya tahu orang akan memilih menggunakan telepon atau handphone ketimbang mengirim surat. Tanggapan orang pada umunnya adalah: Ah, kan mahal; kapan sampainya, Boi?; zaman gini masih ngirim surat?; cari sensasi aja lu. Tetapi toh saya memilih menutup telinga dan akan terus mengirim surat untuk kekasih saya itu.


Saya tetap pada pendirian saya bahwa surat selalu lebih baik daripada telepon. Titik. Jika Anda tanya kenapa, silahkan lanjut membaca tulisan ini.


Pertama, saya adalah lelaki yang tak pandai bicara. Saya jujur soal itu. Saya adalah lelaki yang pada kenyataannya gagap ketika berbicara langsung dengan perempuan. Di telepon, saya kesulitan untuk mengucapkan kata ‘halo’. Ketika berbicara pun saya hanya sibuk membenahi rambut. Padahal potongan saya pendek sekali. Dibenahi seperti apa pun posisinya akan seperti itu-itu saja.

Saya gagap setiap kali mendengar kekasih saya itu menarik nafas di balik handphone. Padahal, telah saya hafal kalimat Sapardi Djoko Damono yang indah itu berjam-jam di teras kosnya. Saat berbicara lewat handphone, sebegitu anehnya tingkah saya, apalagi kalau langsung berpapasan. Hmm, bisa kencing di celana.


Karenanya, dengan surat saya telah sedikit menjadi lelaki yang cerewet. Saya bisa menceritakan apa saja di dalam hasil kompresi serat-serat pulp itu, asalkan jempol dan jari telunjuk saya kuat, asal tinta pena saya tidak kehabisan. Apa saja saya bisa tulis, sampai tunggakan air dan listrik kos pun saya tulis.


Surat pulalah yang membuat saya bercerita seolah tidak pernah gagap. Seolah saya adalah pembicara motivasi beken dalam soal mengurai kisah-kisah panjang yang telah saya lalui dan angan-angan tentang masa depan dalam kalimat-kalimat yang singkat. Seolah saya adalah lelaki yang biasa ditonton kekasih saya di televisi, berbicara penuh percaya diri, sesekali menyelipkan pantun dan puisi, mengutip kata-kata mutiara dari Cina, dan menutup setiap kalimat dengan satu kalimat yang mendebarkan.


Kedua, di surat saya bisa menulis kata-kata indah, mengutip puisi para pujangga terkenal dan kata-kata mutiara para motivator dengan lebih lengkap. Sekali lagi karena di telepon, suara saya kaku dan gagap.

“Semua hal berubah, Adik, kecuali isi dada ini,” begitu akhir salah satu surat saya kepada gadis pujaan hati saya itu. Kalimat itu saya kutip dari sebuah puisi yang saya baca di sebuah koran, entah kapan dan di mana.


Yang paling membuat saya kegirangan sendiri di meja tulis di kamar kos saya adalah ketika mengutip katak-kata mutiara tokoh-tokoh tertentu, yang didapatnya dari buku atau dari film. Suatu kali, saya kutip kalimat nan indah Kahlil Gibran itu, “Kecantikan bukan berada pada raut wajah, dia terpancar bagai serunai sinar dari dalam hati.” Indah nian. Saya terkagum-kagum sendiri membayangkan kekasih saya membaca kalimat itu. Saya membayangkan bagaimana wanita itu terguling-guling di atas kasurnya lantaran senang ketika membaca isi surat itu.


Maka bagaimanapun, bagi saya, lelaki yang tak pandai bicara ini, surat selalu lebih baik daripada handphone, apalagi dibandingkan saat bertatap muka. Maka saya menulis ribuan surat kepada wanita pujaan itu. Ditulis oleh ribuan perasaan yang berdesakkan di balik saku baju saya. Surat-surat itu, beberapa sampai, beberapa lagi menjadi surat buntu, tak tahu ke mana sampainya. Ia semacam telah menemukan sebuah jalan yang lain, jalan yang indah, jalan yang acapkali sunyi bagi lelaki tak pandai bicara seperti saya.


Di bumi ini, Tuhan adil sampai ke hal-hal yang kecil. Tuhan itu pulalah yang menciptakan sesuatu yang jenius bernama surat. Ia adalah surat dan saya adalah pengamumnya.

6 thoughts on “Bagaimanapun Surat Akan Selalu Lebih Baik dari Handphone

  1. Wah, seperti mendengar komika ber-jokes dan membaca Andrea Hirata bernarasi. Kata-katanya mengalir, dan eh tiba-tiba saja sudah selesai tulisannya. Keren lah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *