Tidak Ada Hal yang Lebih Indah dari Natal di Kampung Halaman
Penulis: Krisan Roman|Redaksi
“Ah, su bulan Desember sa ni, tir sadar im? Macam baru kemarin kita kumpul-kumpul tahun baru di kaup kos ka, sekarang ni su mau tutup tahun lagi.” Kalimat ini hampir tiap hari singgah di sap telinga sejak dimulainya bulan Desember tahun ini. Singgahnya memang hanya sebentar, bahkan tidak sampai 2 menit, tapi efek yang ditimbulkannya bisa sampai seharian penuh. Belum lagi ketika membaca pesan dari kampung, “Nana, natal tahun ini kau pulang to? Jangan bilang kau masih natal di kos saja. Kami rindu e!” Aih mama e, itu kata-kata macam cabik-cabik sap jantung, turun kas robek usus, terus naik lagi kaspatah sap hati.
Sebagai perantau yang sudah bertahun-tahun tidak merasakan suasana natal di kampung halaman, tentu saja rasa bingung, rindu, galau dan sedih akan dengan sendirinya tercampur jadi satu kala mendengar pertanyaan dan pernyataan seperti di atas. Bagaimana tidak, bagi kami hal terindah setiap tahunnya adalah bisa pulang untuk berkumpul bersama keluarga ketika perayaan natal. Benar, kami yang merantau entah di Jakarta, Jogja, Surabaya, Bali, Majalengka, Bima, Dompu, Aceh, Jeneponto, sampai yang di luar negeri; Zimbabwe, Serawak, Hungaria, Mesir, Oman, Slovenia, Aljazair, Yugoslavia, Papua Nugini, Dili, Pantai Gading, Costa Rika Utara dan lainnya, selalu punya satu keinginan tiap tahunnya; bisa pulang untuk rayakan natal di Flores! Bahkan yang merantau di pulau Mules dan pulau Ende pun, punya harapan yang sama. Padahal Flores tidak jauh dari mereka. Saking dekatnya, meriam bambu anak-anak Flores bisa terdengar sampai di dua pulau ini.
Di Flores, selain bergembira atas peringatan hari kelahiran Tuhan Yesus, perayaan natal juga identik dengan momentum berkumpulnya keluarga, bahkan mereka yang merantau pun biasanya akan kembali ke rumah saat natal. Ketika menjelang natal, semua anggota keluarga berkumpul, bersiap untuk merayakannya bersama-sama, berdoa, bercerita, sambil melepas rindu. Mesra sekali. Bisa dibilang natal adalah familly time yang paling istimewa sekaligus situasi yang paling dinanti sepanjang tahunnya. Kemudian bagaimana mungkin sa bisa tenang-tenang saja ketika sa tidak punya waktu untuk pulang? Bagaimana mungkin saya bisa adem ayem saja, sedang sa tau, sap keluarga sedang berkumpul untuk merayakan natal bersama di rumah. Tidak gampang men, susah sekali.
Tahun ini sepertinya sa tidak pulang lagi. Tidak bisa rasakan kue kering buatan mama lagi, tidak bisa berbagi gelas tuak sambil panggang babi dengan bapak lagi. Padahal, moment itu yang paling saya rindu dari Desember di kampung. Mama dengan pengetahuan dan peralatan seadanya selalu berhasil menyulap bahan-bahan sederhana menjadi kue kering yang istimewa tiap tahunnya, sedangkan bapak, saya akan selalu bahagia untuk menemaninya menghabiskan tuak sambil panggang babi. Mulut bapak tidak berhenti melempar guyonan yang receh, walau cenderung biasa saja, tapi pas di hati. Macam telak tu ka men. Natal tahun ini adalah kali ke lima saya tidak pulang. Ya, di kos saja. Saya bahkan sampai lupa bagaimana cara membuat kandang natal, merakit lampion, dan menakar minyak tanah pada meriam bambu. Padahal waktu di kampung, saya termasuk salah satu orang yang cukup handal di tiga bagian itu. Bersama teman-teman di kampung, biasanya saat-saat menjelang natal seperti ini, ada-ada saja yang kami kerjakan; membuat kandang natal, merakit lampion, menghias gereja atau main meriam bambu, kegiatan yang jelas tidak saya temukan di tempat saya merantau, di kota yang besar dan maju ini.
Natal di kota besar bukannya tidak enak. Yang namanya natal pada hakikatnya akan selalu enak, dimanapun itu. Siapa yang tidak bahagia menyambut kedatangan Sang Juru Selamat? Ya to? Tapi bila kota tempat kau merayakan natal itu bukan tempat asalmu, pasti akan ada yang kurang, Men. Apalagi kalau di tempat tersebut kau merayakan natal tanpa orang-orang terdekat yang kau sayangi, itu berat sekali. Kau akan merindukan tempat asalmu, seramai dan semegah apapun perayaan natal di tempat tersebut. Hujan, wewangian kue natal, sampai bunyi lonceng gereja adalah hal yang sepintas sama tetapi akan kau rasakan detil-detil perbedaannya. Hal ini bukan baru terjadi kemarin sore, Charles Hutagalung sudah curhat tentang hal ini sejak lama. Lewat lagu Kenangan Natal di Dusun yang Kecil, lagu yang sangat melegenda itu, beliau mengisahkan kerinduan hatinya untuk merayakan natal di rumahnya, di sebuah dusun yang kecil. -Mungkin Om Charles agak jauh dari generasi kita-. Lipooz, imam besar Mukarakat, beberapa tahun lalu juga pernah cuthat di lagunya (All I Want is Christmas in Ruteng) bahwa permintaanya hanya semoga ia bisa pulang untuk merayakan natal di Ruteng, tempat ia berasal. Contoh lain yang teranyar, Mr. Dheval dari grup Hiphop Lembata Fundation (HLF) bersama dua rekannya juga bercerita tentang hal yang sama lewat lagu berjudul Mo Natal di Rumah. Kalau masih belum percaya juga, silakan cek di beranda facebook, di sana pasti banyak sekali rantauan yang curhat ingin natal di rumah. Atau kau bisa coba merantau Men, coba saja, nanti pasti akan kau rasakan bagaimana perihnya luka hati.
Tahun ke lima, seharusnya kalaupun tidak bisa pulang (lagi), natal kali ini akan biasa saja karena saya sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Tapi memang takdir selalu punya cara untuk bercanda. Kemarin sore, sekitar pukul 18:05, ditemani rintik-rintik hujan khas Desember, saat tidak ada seorangpun bersama saya di dalam kamar kos, tiba-tiba handphone saya berdering. Theresia, mantan pacar saya yang juga merantau di Jakarta mengirim pesan; “Nana, Desember sudah memasuki minggu ke tiga. Itu berarti kita sudah makin dekat dengan natal. Sudah punya rencana natal kali ini mau kemana? Jangan sampai belum em, toh perihal ada atau tidaknya gandengan di malam natal itu urusan kemudian, yang paling penting pastikan dulu natalnya dimana. Oh ya, disini seru e, kami tunggu Nana di kampung em!” Sialan, dia su pulang. Aduh Cuka ra’a, sap hati panas sekali, sampai mau meleleh. Air, mana air? Cepat, bawa sini!
Libanon
Hungaria
Aljazair
Kongo
Mesopotamia
Sebut semua” tuu