Barbershop Simpang Tiga Munde: Waktunya Anak Muda Berkarya

Anak muda dan usaha tempat cukur rambut (Sumber foto; Dokumentasi pribadi penulis)

Loading


Nando Sengkang|Redaksi

Pembaca setia Tabeite? Gaes? Pernah tidak kalian menyadari sedikit tentang  situasi di Kota Borong? Tentang pembangunan infrastruktur yang belum rapi? Lampu merah yang hanya satu? Penempatan rumah-rumah di pinggir jalan yang  “romol” jalur Trans Flores? Lapangan Sepak Bola di bawah terminal? Entah lapangan tersebut masih ada atau tidak? Atau menyadari apa saja……Salon Ayu di samping Wae Bobo ka? Salon Sela, yang Sela-nya sudah tiada? Atau apa saja e….

Kali ini saya hanya ingin mengetuk pintu kesadaran kalian  gaes: pernah tidak, atau tidak pernah, kalian menyadari bahwa hampir semua usaha (usaha tenar) di sekitar Kota Borong adalah maha karya orang-orang Jawa atau pendatang? Ya, walaupun ada juga karya Anak Matim, toh kebanyakan “dikuasai” oleh para pendatang. Kita hanya menjadi pekerja di rumah sendiri. Kapan kita, orang Manggarai Timur sendiri, khususnya anak-anak muda Matim yang keren-keren mulai bergerak dan berkarya?

Kita di satu sisi harus mengakui bahwa kedatangan mereka dari Pulau Jawa dan “daerah luar” sangat memberikan warna untuk tanah Matim. Ketekunan dan kerja keras mereka harus menjadi contoh. Kita sebaiknya menjadikan mereka sebagai motivator, demi inovasi diri ke arah yang lebih baik. Singkatnya, kita harus belajar dari mereka. Belajar! Bukan cemburu seperti kebiasaan buruk beberapa orang Matim.

Namun di sisi lain, kita sebenarnya tidak berhenti pada proses pembelajaran itu, kita bisa mengaplikasikan atau mewujudkan dalam kehidupan kita. Misalnya begini: konsepnya kita belajar dari mereka, seperti Warung Makan Padang, Toko Baju, Komunitas Madura yang aktif membuka Salon Cukur Rambut, Penjual Gorengan, Penjual Mainan Keliling, dan lainnya. Lalu setelah kagum, belajar, dan curi-curi ilmu dari mereka, kita bisa mewujudkan sendiri dengan bantuan modal dan menghalalkan segala cara.

Oleh karena itu, anak-anak muda Matim harus berani dan bisa belajar dari ketekunan dan kerja keras mereka. Tidak perlu jauh-jauh untuk belajar, silakan lihat dan pelajari sendiri di bawah langit Borong. Lalu mulailah!

Bagi kalian yang sudah memulai, saya mengucapkan selamat, khususnya kepada anak-anak muda Matim, yang sudah mewujudkan impian kecil itu, perlahan-lahan membuka usaha dari bawah, kemudian berharap akan naik dan berkembang perlahan. Juga selamat bagi mereka yang rantau di Tanah Jawa atau “Tanah Orang”, ketika pulang ke kampung halaman membuka usaha kecil, membuka Taman Baca, dan membentuk komunitas kreatif. Kalian keren gaes…

Namun, bagi kalian yang masih malu-malu, pikir panjang tentang modal, atau sibuk pikir nominal Belis enu-enu molas Manggarai, mari kita sama-sama belajar baik dari orang Jawa di bawah langit Kota Borong, maupun siapa saja yang kalian kenal baik. Tuhan pasti merestui.

Selain belajar dari orang Jawa, saya juga mengajak kalian untuk belajar dari sesama anak muda Matim yang keren-keren, dan sudah mewujudkan bakat kecil mereka. Belajar dari sesama kita lebih baik, dari pada tidak mau belajar sama sekali. Mereka berasal dari kampung tercinta saya, No Google Map dan bebas korupsi, Munde-Waerana.Ingat, Munde!

Barbershop Simpang Tiga Munde

Mereka adalah dua orang bersaudara dan satu asisten: Rikardus Takdir Puji dan Sebastiano Jefrino,  siswa kelas 2 SMAN 7 kota, serta ase David (Alumni SMAN 7) yang mengisi di waktu pagi . Selama ini mereka memiliki bakat yang terpendam untuk mencukur rambut, tepatnya malu untuk sok-sok bersaing dengan Barbershop Madura yang keren di Kota Borong. Kalian tahu to, kalau Mas Jawa yang gunting ada “ke-gantengan yang hakiki” dan kebanggaan tersendiri. Maklum, modal keren itu hanyalah mesin canggih dan cermin lebar over dosis. Padahal, anak muda Matim juga sebenarnya bisa, tidak kalah keren. Kalian tinggal beli alat yang sama, cermin kelebihan besar ala mama Tua make-up, kursi gaya sofa, musik Full Bass, dan kasih nama pakai Bahasa Inggris yang cuma Wingis. Selesai.

Inilah yang diwujudkan oleh dua saudara dan satu asisten yang keren ini. Mereka termotivasi dari konsep Tukang Cukur Rambut Orang Jawa, lalu diterapkan di kampung tercinta Munde Village, yang belum termasuk golongan Town apalagi City. Bagi mereka, anak muda yang keren tidak hanya narsis di Instagram dan Facebook mode gratis, tetapi waktunya anak muda berkarya bagisesama.

Mereka mulai perlahan-lahan dari bawah, mulai membeli alat seadanya saja, cermin Kaca Spion Revo yang tampil beda, Revo beda na, lalu menggunting di bawah Pohon Cokelat atau di pinggir jalan. Tempat seadanya saja, namun hasilnya luar biasa. Jasa Tukang Cukur Rambut, mereka terima sehabis sekolah dan biaya murah untuk hemat empat kali lipat pulang-pergi ke Kota Borong. Lumayan sangat hemat.

Melihat bakat yang hebat ini, masyarakat Waerana mulai menghargai. Salah satunya kae keren Ino Sengkang, putra Natar Laban Munde dan pegiat literasi di setiap “sudut hening” NTT. Bagi kae Ino, bakat anak-anak muda ini tidak boleh dibiarkan terlantar begitu saja. Tidak bisa selamnya Pohon Cokelat dan Kaca Spion Revo menjadi teman setia dalam menggunting rambut. Harus ada tempat yang layak untuk mengembangkan kreativitas dan juga jati diri. Alhasil, Kae Ino menyediakan Kios Opa Bie yang tidak terpakai untuk menjadi Salon Cukur Rambut atau Barbershop.

Melalui pendekatan keluarga—karena kae Ino dan dua saudara keren itu juga keluarga dekat—kae Inomulai membujuk mereka agar mulai “Unjuk Gigi” dan “Tampil beda”, dalam mengembangkan bakat. Untuk hasilnya, sebagian besar untuk sekolah dan modal mereka ke depan. Singkat cerita, mereka sepakat dan lahirlah Barbershop Simpang Tiga Munde.

“Selama ini saya melihat di Desa Komba belum ada satu pun orang muda yang berani membuka peluang untuk usaha seperti ini. Ternyata, di kampung-kampung ada banyak anak-anak muda yang punya potensi dan punya kemampuan sejak kecil untuk menggunting rambut. Hanya saja masih menggunting manual, kekurangan fasilitas, menggunting di bawah pohon Coklat di samping rumah.” Kata kae Ino dalam percakapan Via WhatsApp, Munde-Jakarta tanpa gangguan sinyal. Puji Tuhan, Matim mulai maju perlahan.

“Selain itu, selama ini kalau mau menggunting ya harus mengeluarkan biaya transportasi juga dan harus menggunting di Borong.  Maka dari itu, saya berinisiatif untuk menawarkan satu peluang ini untuk membuka dan mengembangkan bakat anak muda.”

“Sebenarnya nama tempat cukur Weret Wuk Simpang Tiga Munde. Namun, atas permintaan anak muda namanya jadi Barbershop Simpang Tiga Munde.” Kae Ino terlalu bersemangat.

Gaes? Weret Wuk bahasa Kolor artinya gunting rambut dan Simpang Tiga Munde artinya tempat tersebut tepat di Pertigaan Kampung Munde; pertigaan menuju Kampung Paundoa hingga pantai Nanga Rawa. Tempatnya strategis. Kalian tidak akan bingung, karena pertigaan di Kampung Munde hanya satu yang diakui oleh negara. Jadi kita gampang mencari di mana rimbanya. Alamat sederhana dan silakan merapat di Jalan Trans Flores, Desa Komba, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur; atau pertigaan kampung Munde. Buka pada pagi hari Pkl. 08.00-12.00, oleh ase David yang sudah lulus SMA, dan 14.00-18.00 oleh dua saudara keren, Rikardus Takdir Puji dan Sebastiano Jefrin.

Selain itu, yang spesial adalah Barbershop Simpang Tiga Munde tidak hanya tempat untuk mencukur rambut, tetapi kae Ino menyediakan koran, buku-buku, dan majalah-majalah bekas di sekitar ruang tunggu, agar para pelanggan tidak “duduk kosong” dan melamun tidak jelas pikir hidup yang semakin galau. Sebaiknya, sambil membaca agar cakrawala berpikir kita semakin luas nan kritis. Kae Ino juga akan menyediakan Laptop/Komputer untuk mereka agar bisa digunakan untuk mengerjakan tugas sekolah. Dua konsep dijalani sekaligus: mengembangkan kreativitas dan budaya literasi. Keren pokoknya gaes…..

Dukungan dari Bapa Desa Komba

Adalah Bapa Desa kami tercinta, Eduardus Djekulas, kepala desa Komba, yang cepat merespons lahirnya usaha kecil karya anak muda desa. Sejak ia terpilih sebagai kepala desa, ada kebanggaan dalam segenap masyarakat desa, khususnya kami orang Munde. Selain ia adalah putra asli Munde, kebanggaan kami tentunya adalah “Sumber air su dekat”. Ya, sekarang kampung kami tidak susah air lagi, walaupun masih tahap pembangunan bak-bak penampungan air di setiap sudut kampung. Kerinduan kami yang sekian lama berdoa dan berharap, akhirnya terjawab melalui Putra Terbaik Munde. Terima kasih banyak Bapa Desa.

Dukungan dari Bapa Desa ini diperoleh dari rekaman percakapan ia dengan Kae Inodi sela-sela waktu minum kopi. Pertama-tama Bapa Desa mengapresiasi dan mengucapkan selamat atas lahirnya usaha kecil karya anak muda desa. Apresiasi ini Bapa Desa buktikan sendiri dengan menggunakan jasa mereka. Rambutnya digunting sedemikian rupa agar Bapa Desa tampil beda dalam melayani. Begitu e, kalau jadi pemimpin nanti jangan hanya omong banyak, buktikan juga e.

Bapa Desa juga berharap agar usaha ini dikembangkan terus agar anak muda tidak menghabiskan waktu begitu saja, gaya-gaya di atas motor yang dibeli oleh orang tua, menganggur dan membebani masyarakat. Apalagi menjadi anak muda yang anti ke kebun dan malas kerja. Selain itu, Bapa Desa mengungkapkan kritik sederhana bahwa selama ini banyak usaha adalah kreativitas orang Jawa. Kita banyak memberikan uang untuk mereka. Lalu kita hanya menonton kagum tanpa menyadari lebih jauh.

“Adanya kegiatan seperti ini harus dikembangkan terus. Dari pada anak muda menganggur, lau le’-lau le’ mbaen jelas pe (sana-sini tidak jelas). Jadi, ketika mereka memiliki bakat, bakat itu harus diterapkan dalam masyarakat.”

“Apalagi selama ehgi nggita ma, t’o terus ze ale Borong dan ko ndoi-ndoi eti untuk orang-orang yang dari luar. Ata Jawa pe, ko ata Jawa kanan. Jadi, kalau ada bakat yang seperti ini, coba nggita kembang terus, apalagi nggita perlu serap tenaga hgenen.” Kesan dari Bapa Desa.

Kesan terakhir dan paling mendalam dari Bapa Desa adalah menasihati mereka agar tidak putus asa. Tentunya ada saat sepi dan kekurangan pengunjung, juga ada kala ramai dan kelebihan pengunjung. Semuanya ada di niat untuk berkarya tanpa putus asa.

“Wero Zao sempat zaka agu aze eti ale, denge Zao neka putus asa kalau memang satu hari tidak ada pengunjung. Itu biasa-biasa saja, karena usaha ehgi masih awal-awal. Kalau sudah rame dan orang sudah tahu, pasti banyak pelanggan.” kesan terakhir dari Bapa Desa sebelum mengakhiri percakapan mereka.

Terima kasih Bapa Desa.

Waktunya Anak Muda Berkarya

Kisah anak muda Simpang Tiga Munde bisa menjadi contoh bagi anak muda Matim untuk berkarya bagi sesama. Bakat yang dimiliki bisa kalian kembangkan perlahan dengan bantuan modal yang cukup dan mau bekerja sama dengan yang lain. Selain itu, apresiasi dan dukungan orang tua, teman-teman, dan komponen  masyarakat juga sangat perlu dalam mengembangkan kreativitas anak-anak muda. Mari kita dukung semua hal baik di bawah kolong langit ini.

Gaes? Yang setia membaca ulasan panjang ini, Waktunya untuk kalian, anak-anak muda Matim yang keren-keren untuk berkarya bagi masyarakat. Waktunya anak muda menunjukkan bakat terpendam. Kalian bisa! Waktunya untuk kalian berkarya. Selamat mencoba. Atau?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *