Berdoa Sambil Membuka Mata

0

Loading


Penulis: Anno Susabun|tuapanga|

Membicarakan agama berarti juga membicarakan doa. Dalam rangka membangun hubungan dengan Tuhan, orang beragama harus berdoa. Dalam praktik harian, agama-agama memiliki pelbagai modus penyembahan yang semuanya diringkas sebagai praktik doa. Para penganut agama-agama ‘resmi’ versi pemerintah Indonesia, misalnya setiap hari menyambangi Masjid, Gereja, Pura,Vihara dan Klenteng untuk berdoa. Demikian pula, bagi para penganut kepercayaan tradisional, sesajian di bawah pohon atau di hadapan batu besar adalah modus mendekatkan diri mereka dengan Yang Ilahi.

Sebagai praktik mendekatkan diri dengan Yang Ilahi, berdoa menunjukkan kasalehan orang-orang beragama. Kesalehan tersebut dapat berbentuk individual dan komunal. Kesalehan individual tampak dalam doa-doa pribadi dan komitmen setiap pribadi untuk menjalankan rangkaian aturan-aturan keagamaan yang berhubungan dengan peribadatan. Sedangkan kesalehan komunal nyata dalam praktik berdoa secara massal dalam komunitas doa, di rumah ibadat, di jalanan, di tempat bersemayamnya roh nenek moyang, atau di Monas.

Jika agama dan religiusitas manusia diukur berdasarkan kesalehan pribadi dan komunal, tidak akan ada keraguan lagi baik tentang keberadaan maupun masa depan agama. Di wilayah kantong religiusitas Katolik, kita dapat dengan mudah menemukan praktik doa di jalanan. Di wilayah NTT, ritual keagamaan komunal yang dijalankan dalam bentuk prosesi penyembahan patung Tuhan Yesus dan orang-orang kudus mudah ditemukan, terutama misalnya pada bulan Mei dan Oktober. Jalan raya untuk sementara digunakan sebagai jalur prosesi patung, dan para pengguna jalan dipersilakan untuk menunggu hingga prosesi selesai dijalankan.

Sekilas, ritual keagamaan individual dan komunal memang tidak patut dipersoalkan. Apalagi dalam konteks masyarakat religius yang menjunjung tinggi praktik-praktik tersebut. Namun demikian, apakah derajat religiusitas kita hanya dapat diukur oleh terselenggaranya praktik-praktik tersebut? Kritik terhadap orang-orang beragama saat ini justeru terletak pada tingkat kesalehan individual dan komunal yang tinggi tetapi minim kesalehan sosial. Kesalehan sosial dalam hal ini berhubungan dengan solidaritas sosial, kepekaan terhadap situasi sosial masyarakat yang membutuhkan transformasi dan upaya-upaya memperbaiki derajat kemanusiaan masyarakat manusia.

Di tengah berbagai macam krisis sosial dan ekonomi, menurut saya kesalehan individual dan komunal tidak berarti apa-apa tanpa upaya transformasi sosial yang menyelamatkan sesama manusia. Berhadapan dengan kemiskinan, ketidakadilan, keterpinggiran dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, kita tidak hanya membutuhkan ritual keagamaan yang berlimpah ruah. Yang dibutuhkan secara mendesak adalah upaya melawan pemiskinan, praktik ketidakadilan, dan pelanggaran terhadap HAM. Kita harus berdoa sambil membuka mata!

Dengan mata terbuka

Mengapa mesti berdoa dengan mata terbuka?

Kesalehan individual dan komunal sebagai ritual tentu saja menambah tajam akar-akar spiritualitas kita sebagai umat Yang Ilahi. Akan tetapi, apakah yang Ilahi menghendaki terpeliharanya kemiskinan, kemelaratan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM? Tentu saja tidak. Kita sama-sama meyakini bahwa Yang Ilahi adalah Dia yang kuat dan hadir untuk membebaskan kita dari macam-macam belenggu itu. Maka, selain memerlukan ketajaman kesalehan individual dan komunal dalam ritus dan bermacam prosesi agama, kesalehan sosial yang diekspresikan dalam upaya nyata melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM hari ini adalah kemendesakan. Dalam bahasa Paus Fransiskus, kita membutuhkan  hati yang berbelarasa dan soliderterhadap kaum lemah.

Saya ingin mengetengahkan secara khusus pandangan Paus Fransiskus tentang solidaritas iman terhadap sesama yang menderita. Dalam perayaan Ekaristi di Casa Santa Marta, Selasa 17 September 2019 lalu, Paus Fransiskus menggugah kesadaran kita tentang belarasa (compassion) yang bertanggung jawab terhadap sesama yang menderita (https://vaticannews.va/en/pope-francis-homily-casa-santa-marta-compassion.html).Terinspirasi oleh kisah Injil Lukas tentang Yesus yang membangkitkan anak laki-laki seorang janda di Nain, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya menggunakan kacamata compassion untuk melihat dan memahami realitas penderitaan sesama. Menurutnya, compassion adalah kacamata hati yang digunakan oleh Tuhan Yesus untuk masuk dan memahami penderitaan si janda dari Nain. Dengan demikian, bahasa yang dipakai Yesus tidak lain adalah bahasa compassion atau bahasa belarasa.

Paus Fransiskus membedakan compassion dari perasaan iba atau kasihan. Rasa iba atau kasihan lebih merupakan sentimen personal yang muncul dari dalam hati kita ketika misalnya menemukan seekor anjing mati di tengah jalan. Sentimen tersebut sama sekali tidak mendorong kita untuk merasakan apa yang dirasakan oleh anjing yang mati itu. Dalam kisah Injil, perasaan iba atau kasihan, misalnya, tampak ketika para murid Yesus mengusulkan agar kerumunan orang banyak yang sedang kelaparan disuruh pergi membeli sendiri makanan mereka masing-masing (Bdk. Matius 14:15). Para murid tidak didorong oleh belarasa yang bertanggung jawab terhadap keselamatan orang banyak, tetapi hanya mencari solusi tanpa kompromi agar tidak direpotkan dengan urusan tersebut.

Iman kita kepada Yang Ilahi seharusnya adalah iman yang solider, iman yang peduli pada penderitaan dan kekurangan sesama. Iman yang peduli ditunjukkan oleh sikap turut merasakan penderitaan dan bersama-sama menemukan jalan keluar yang membebaskan. Tanpa turut serta merasakan penderitaan sesama, solusi yang kita tawarkan akan tampak sebagai sumbangan ide belaka yang tidak berdaya transformatif. Dengan merasakan penderitaan sesama, kita mengetahui seberapa besar kebutuhan mereka akan kebebasan. Iman kita pun dituntut untuk menjadi pegas yang selalu mendorong munculnya belarasa yang bertanggung jawab dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Dengan demikian, tulisan ini adalah bentuk ajakan supaya dalam berdoa kita tidak hanya tekun menyembah Yang Ilahi, tetapi juga memperhatikan situasi di sekitar kita. Mata kita tidak boleh terpejam tetapi harus terbuka melihat pemandangan yang tidak adil dan menyebabkan sesama kita menjadi miskin, terlantar, dan direndahkan martabatnya. Berdoalah sambil membuka mata!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *