Bolos di Seminari Urusannya Ribet

0

Loading


Bruno Rey Pantola|Redaksi

Sebagai salah satu alumnus dan mantan seminaris, menceritakan kembali kisah-kisah lusuh di seminari adalah satu hal yang sangat menggembirakan. Saya yakin para alumni yang lain pun demikian. Kisah-kisah di seminari bagi seorang alumnus, adalah pengalaman terindah yang tertanam rapi di dalam benak dan tak pernah lekang dikikis waktu. Ada keistimewaan tersendiri ketika mengenangnya kembali..

Bolos adalah salah satu kegiatan terkonyol di seminari. Mengapa konyol? Karena jika ketahuan bolos, pertanggungjawabannya amat ribet, dan itu adalah hal yang paling tidak diinginkan seorang seminaris. Tetapi (tidak menutup kemungkinan) bolos di seminari masih saja terjadi hingga saat ini. Bolos sepertinya sudah mendarah-daging di seminari.  

Bolos adalah bentuk  tindakan meninggalakan satu tempat tidak pada waktunya di mana orang tersebut bekerja atau bergelut di situ. Misalnya bolos dari sekolah atau tempat pekerjaan. Tindakan-tindakan ini (secara umum) akan dinilai salah karena beberapa faktor, misalnya: malas, tidak patuh, enyah, masa bodoh dan lain sebagainya yang identik dengan kesalahan.

Bolos dari tempat pekerjaan adalah tindakan yang paling bertentangan dengan aturan sebuah lembaga atau instansi tertentu. Misalnya seorang DPR meninggalkan kantor atau tempat kerja pada waktu yang tidak ditentukan, atau bahkan tidak masuk kerja sama sekali.  Tindakan ini sangat tidak elok bagi kinerja seorang DPR, walaupun kejadian selama ini yang dilakukan oleh pejabat-pejabat kita selalu saja tidak lepas dari hal bodoh itu.

Untuk diketahui, masalah bolos yang dilakukan oleh DPR ini benar-benar terjadi dan ada datanya, Guys. Liputan Tirto.id tertangal 5 Oktober 2019, memberitakan bahwa setelah resmi dilantik DPR dan DPD RI perode 2019-2024 pada tanggal 1 Oktober 2019, Minggu pertama mereka bekerja sudah diwarnai catatan buruk, mulai dari bolos rapat hinga tidur waktu sidang berlangsung. Misalnya pada sidang lanjutan hari pertama usai mereka dilantik. Saat penetapan pemimpin DPR pada Selasa (1/10/2019) malam, anggota dewan yang hadir di sidang paripurna hanya 285 orang dari total 575 anggota. Silakan kalkulasikan berapa banyak anggota DPR yang kalian pilih, absen pada saat itu.

Masih dalam berita yang sama dijelaskan bahwa keesokan harinya saat sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada tangal 2 Oktober 2019, hampir setengah dari anggota DPR RI dan DPD RI bolos dalam sidang tersebut. Dari 711 anggota DPR dan DPD, hanya 376 yang hadir berdasarkan absensi yang dibacakan saat pembukaan sidang. Sekali lagi saya beri kesempatan kepada Anda sekalian untuk mengkalkulasikan berapa orang yang tidak hadir, saat itu.

Sangat disayangkan, bukan? Bolos, ternyata bukan hanya terjadi di sekolahan seperti seminari, tetapi banyak nian pejabat-pejabat negara kita tercinta yang melanggengkan hal itu. Dengan mudahnya mereka menjadikan bolos adalah hal yang biasa. Sudah begitu, hukuman tidak ada. Boro-boro dihukum, (mungkin) dengan permintaan maaf saja persoalan selesai. Lalu sebagai rakyat, apa yang kita harapkan dari bapak-bapak tukang bolos ini? Tanya saja pada rumput kering.   

Nah, kembali lagi ke seminari. Seminari adalah sebuah lembaga calon imam yang mendidik dan mempersiapkan siswa-siswanya  untuk menjadi imam atau pastor katolik. Lembaga ini memiliki aturan yang sangat ketat. Maksud diperketat aturan itu agar setiap calon imam ini benar-benar diuji kesetiannya berada di seminari. Menahan diri untuk tidak bolos adalah  salah satu upaya menjaga kesetiaan tersebut. Jika melanggar salah satu aturan yang ada, maka konsekuensinya adalah dikeluarkan dari lembaga tersebut. Jika sudah dikeluarkan, otomatis cita-cita menjadi seorang imam akan padam begitu saja, lantas tidak ada lembaga lain selain seminari yang dapat mencetak seorang menjadi pastor. Padahal, menjadi seorang pastor adalah sebuah kebanggaan besar bagi seluruh umat katolik apalagi orang tua yang bersangkutan.

Oleh karena itu, bolos adalah salah satu aturan penting yang tidak boleh dilanggar di seminari. Jika seorang siswa nekat melakukan hal itu, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk perbuatan itu tidak diketahui oleh pembinanya (pembina adalah para pastor) alias main kucing kaleng. Sebab, urusannya bisa berujung fatal: dikeluarkan tanpa kompromi dari seminari. Ini akan menjadi momen paling menyakitkan bagi seorang seminaris. Ia harus mempertanggungjawabkan semua itu tidak hanya pada orang tua, tetapi pada semua umat separoki, dan yang paling penting adalah pastor parokinya. Ribet, kan?

Oleh karena itu, di seminari, untuk membuat siswa-siswa tidak bolos, semua fasilitas dipersiapkan. Mulai dari macam-macam jenis alat musik, buku-buku, alat kerja, computer, koperasi (tempat simpan-pinjam uang dan juga jual beli kebutuhan penting lainnya), labtop dan internet, hingga yang paling penting adalah kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman. Tetapi berbagai fasilitas itu selalu saja tidak cukup bagi kebetahan seorang siswa di seminari. Bolos masih banyak sekali terjadi dengan berbagai alasan. Begitulah manusia, tidak pernah merasa cukup.

Alasan bolos itu biasanya meliputi beberapa kepentingan personal seorang seminaris. Misalnya, untuk online fesbuk di warnet, cuci pakaian di rumah (seminari sering kekurangan air bersih karena penggunanya banyak), beli rokok, menggunakan handphone, dan yang paling tidak mau saya sebutkan (tapi sudahlah) adalah bersua dengan pasangan hatinya. Semua ini adalah sebagian kebutuhan dari alasan seorang seminaris bolos, walaupun bangunan seminari sudah dikondisikan sesuai aturan agar siswanya tidak lompat pagar dan pergi. Seluruh lokasi seminari dipagari dengan tembok tinggi yang harapannya tidak dapat dijangkau manusia pada umumnya jika ingin melompatinya. Mungkin atas alasan itu pula, seminari sering dijuluki Penjara Suci.

Sampai sekarang, saya belum terlalu paham kenapa dinamai Penjara Suci. Tetapi ketika saya  mencoba melacak artinya, “penjara” berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman (KBBI). Ini tidak dapat disematkan pada seminari, sebab orang-orang di dalamnya dikurung bukan karena atas alasan dihukum. Tetapi karena terdapat pula kata “suci” yang melengkapi kata penjara, maka saya berpikir bahwa tempat ini adalah kurungan untuk sebuah alasan yang lebih mulia/suci. Sebab, kalau mengurung orang-orang suci di seminari juga tidak benar. Siswa-siswa seminari bukan orang-orang suci, bahkan seorang pastor saja belum tentu suci. Jadi, Penjara Suci adalah sebuah istilah yang menjurus pada pengurungan yang dibuat untuk menguji kesetiaan dan kebetahan seorang seminari agar tidak meninggalkan tempat di mana ia bergelut pada saat yang tidak diizinkan. Menjadi seorang calon pastor dan pastor harus senantiasa setia, rendah hati dan tidak “kepala batu”. Saya pikir ini tujuan utama seorang seminari dibina dan dididik sesuai aturan yang ditetapkan. Toh, menjadi pastor nantinya, tugas mulia yang harus diterapkan adalah hidup sesuai teladan Yesus: taat. Bahkan taat hingga wafat di kayu salib. Itu poinnya.

Maka, tindakan bolos bagi seorang seminaris adalah hal yang ribet urusannya. Lebih ribet dari upaya menumbuhkan rambut di kepala Om Dedy Corbuzer, atau bahkan lebih ribet dari sekadar pemerintah mengeluarkan himbauan #tetapdirumahsaja tetapi tidak tahu memberikan solusi yang tepat ketika orang harus di rumah saja tanpa bekerja. Semua itu tak seberapa dari ribetnya seorang seminaris hendak bolos. Sebab, selain berusaha untuk tidak diketahui ia sedang bolos, ada juga usaha lain yang lumayan ribet, seperti menyusun strategi–melalui sela atau lubang mana ia harus keluar, pun dengan latihan merayap yang ekstra. Selain itu, harus membaca situasi dan keadaan yang memungkinkan untuk melakukan aksi itu. Biasanya kesempatan paling banyak bolos adalah pada hari Minggu dan juga pada malam hari ketika semua pembina sudah tertidur dan suasana hening (silentium). Semua ini demi memenuhi kebutuhan yang saya sebutkan sebelumnya.

Sampai di sini, ada yang tertarik masuk seminari? (khusus bagi kaum Adam). Di NTT, khususnya daerah Flores, Kupang, Atambua dan Sumba sudah ada sekolah seminari. Silakan cari tahu dan dafrtarkan diri.

Salam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *