Cara Orang (Manggarai) Jual Orang

4

Sumber; Wikipedia

Loading


Itok Aman

Orang Manggarai merupakan orang-orang yang menempati sebuah wilayah di daratan pulau Flores bagian barat. Wilayah Manggarai dibagi menjadi tiga kabupaten, Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur. Setelah dibagi menjadi tiga kabupaten, menyebut Manggarai secara keseluruhan menjadi Manggarai Raya. Ahsiaaappp….!!!

Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur merupakan dua kabupaten pemekaran dari Kabupaten Manggarai. Walaupun dibagi menjadi tiga kabupaten, daerah Manggarai yang kaya budaya dan bahasa ini memiliki kesamaan adat istiadat, meskipun dalam beberapa hal ada yang berbeda secara spesifik untuk beberapa daerah tertentu.

Eh, tunggu!

Apa yang saya bicara dari atas? Kok, beda dengan judul? Santuy, bosqiuuu! Anggap saja hanya untuk sebagai penambah paragraf biar tulisan ini agak lebih panjang. Ahay! Sombong amat! Mari kita lanjutkan.

Dalam tulisan ini, saya tidak menceritakan tentang luas wilayah, letak geografis Manggarai Raya. Tetapi saya ingin membahas satu hal yang luput dari perhatian kita, yang bisa jadi sebagai bahan refleksi untuk siapa saja yang membaca tulisan ini di luar sana. Baik saya, Anda, maupun mantan kekasih kita bersama yang sempat membaca tulisan ini. Ehm…!

Di Manggarai sendiri, ada hal yang patut kita perhatikan bersama yaitu cara orang Manggarai jual orang. Hah?! Jual orang? Human trafficking? Bukan begitu maksudnya dong, Bos! Lalu bagaimana praktik orang Manggarai menjual orang dalam kesehariannya? Sebelum Anda membaca lebih jauh, apa yang saya tulis tentang jual orang ini ini bukan hanya dipraktikkan oleh orang Manggarai saja. Tetapi juga oleh orang-orang di luar sana. Tetapi sebagai seorang Manggaraian, saya ingin menulis tentang Manggarai dulu.

Dan, sebelum masuk pada inti topik, tulisan ini terinspirasi dari candaan Kak John Yani Rewos usai kami sama-sama mengikuti peluncuran buku Bunga Rampai Pater Servulus Isaak di Coffee For Rest, Borong (Sabtu, 8 Januari 2022). Kak John Yani Rewos, the one and only penjual roti dan the owner of Teras Lukas (sebuah kantin yang selalu dipadati mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng dan beberapa remaja yang sengaja mampir pesan kopi dan cicip roti sembari lirik-lirik nona mahasiswi dan mencium aroma parfumnya yang dari berbagai merk). Ehm…!!

Kak Yani Rewos memulai dengan premis “orang Manggarai ini tidak maju-maju, memang banyak yang cerdas dan hebat, tetapi kecerdasan dan kehebatan itu hanya dipakai untuk jual sesama.” Premis yang sungguh menarik perhatian kami yang mendengarnya.

Jual sesama. Sesama orang Manggarai. Lalu, Kak Yani menjelaskan lebih lanjut lewat sebuah contoh bagaimana orang Manggarai menjual saudaranya.

Lopo Tres buka kios samping kios Lopo Sebina, dan berhadapan dengan mereka ada pendatang yang juga buka kios. Sintus datang beli gula di Lopo Tres, karena stok gula di Lopo Tres habis, Sintus bergegas ke Lopo Sebina.

“Nana, jangan beli gula di sebelah (di kios Lopo Sebina) karena dia sering kasih kurang takaran. Tunggu besok atau sebentar kau datang lagi, itu baru ada lagi stok gula di saya.” Kata Lopo Tres. Nah, karena mendengar cerita Lopo Tres itu, Sintus tentu menuju ke kios pendatang yang di seberang jalan dan membeli gula di sana.

Nah, satu poin sudah kita temukan bahwa Lopo Tres “menjual” Lopo Sebina. Karena cerita dari Lopo Tres tadi, maka Sintus pergi ke kios milik pendatang yang berhadapan dengan kios milik Lopo Tres dan Lopo Sebina. Ini menjadi satu alasan bahwa orang Manggarai yang walaupun cerdas namun membunuh satu dengan yang lain lewat cara yang beda.

Menjual orang tidak harus seperti dalam konteks Yudas menjual Yesus seharga 30 keping perak. Menjual orang juga lewat menjelek-jelekkan usaha dan perjuangannya, memfitnah nama baiknya, menjatuhkan harga dirinya, juga memburuk-burukkan orang lain lewat cerita yang kita bangun.

Ada banyak praktik menjual orang lain yang bahkan sadar ataupun tidak, kita pernah terlibat di dalamnya. Hanya saja tidak begitu nampak jelas sebagaimana kita menjual barang dan memperkenalkan jualan ketika ada yang bertanya pada tiga penjual yang berbeda, misalnya;

“Ite jual apa?”

“Saya jual minyak tanah.”

“Lalu Ite, jual apa?”

“Saya jual kopi.”

“Bagaimana Ite punya, jual apa?”

“Saya jual dua orang ini, yang jual minyak tanah dan kopi itu.”

Yah, tidak nampak sejelas itu, bukan? Ia tersembunyi, menusuk dari belakang dan masuk pelan ke dalam ingatan orang lain dan menyebabkan dia yang mendengarnya membangun stigma sesuai dengan apa yang diceritakan. Tapi, sadarkah kita ketika menceritakan keburukan orang lain maka dalam waktu yang bersamaan orang yang mendengar cerita itu balik membangun stigma buruk pada kita?

Praktik menjual orang ini, sudah lama tertulis dalam pepatah Latin klasik yang kita kenal dengan homo homini lupus yang berarti “Manusia adalah serigala bagi sesama manusia”. Istilah tersebut dapat diinterpretasi berarti manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Menikam, yang di sini kita terjemahkan dalam cara atau konteks hidup kita sehari-hari seperti yang saya jelaskan sebelumnya.

Sebagai perlawanan dari istilah itu muncullah istilah Homo Homini Socius yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusia lain, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya yang dicetuskan oleh Seneca. Dalam karya Thomas Hobbes yang berjudul De Cive, ia mencantumkan kedua istilah Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius itu.

Lalu bagaimana dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita serigala bagi manusia yang lain? Ataukah kita teman bagi sesama? Perhatikan seseorang yang menceritakan orang lain di hadapan Anda, jika dia lebih banyak menceritakan kebaikan orang, maka bukan tidak mungkin dia akan menceritakan kebaikan Anda di hadapan orang lain. Di sini, dia sudah mempraktikkan dirinya sebagai homo homini socius.

Demikian pun sebaliknya, jika dia menceritakan keburukan orang lain, maka dia akan menceritakan keburukan dan kekurangan Anda di hadapan orang lain. Di sini, seseorang bisa juga tengah mempraktikkan dirinya sebagai serigala bagi manusia yang lain.

Praktik menjual sesama manusia bukan hanya dilakukan oleh orang Manggarai saja tetapi jauh sebelumnya, filsafat sudah menceritakan tentang bagaimana kehidupan manusia pada zaman sebelum masehi juga menjadi serigala yang kejam bagi manusia yang lain. Praktik menjual sesama bukan hanya dilakukan oleh orang Manggarai, tetapi juga oleh orang-orang di luar sana yang sering kali menjatuhkan sesamanya. Praktik menjual sesama manusia bukan hanya tentang human trafficking, tetapi juga tentang menjatuhkan usaha, perjuangan, harga diri, serta memburuk-burukkan orang lain.

“Hari ini, siapa kita?”

“Indonesia!”

Bukan itu jawabannya. Ulang! Hari ini, siapa kita? Apakah kita sebagai homo homini lupus? Ataukah kita sebagai homo homini socius? Mari ambil cermin, lihat ke dalam diri. Sebab sesungguhnya kita adalah kawan yang saling menopang, mendukung, menyemangati satu dengan yang lain. Sekali lagi, mari ambil cermin dan lihat ke dalam diri. Jangan pernah berkaca pada cermin yang retak, sebab ia tidak akan menampilkan wajah Anda secara utuh dalam pecahan-pecahannya.

Salam dari Binjai…!

4 thoughts on “Cara Orang (Manggarai) Jual Orang

  1. Itokkkk, saya baru selesai membacanya. INI RRFLEKSI SERIUS. Saya suka. Lalu, saya memutuskan untuk tetap menjadi “HOMO HOMINI LUPUS” jika dunia bergerak dg HHL itu. Entah kapan sy bergeser ke “HOMO HOMINI SOCIUS”, tergantung dunia begulir ke arah mana. Paling banter sy bergeser dikit ke “HOMO LUDENS”, makhluk bermain. Hidup ini mirip permainan. Serius boleh tapi jangan lupa nikmati. Namun kenikmatan itu tdk utk main-main karena dia akan mempermainkan kita.

Tinggalkan Balasan ke Mamo Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *