Catatan Pertemuan dengan Soedjatmoko | Bagian Kedua

1

Soedjatmoko muda, paling kiri. Sumber Gambar: wartafeminis.com

Loading


Frumens Arwan | Tua Golo

Jalan Tanjung No. 18, Kamis, 25 Februari 2021
25 Februari 2021, saya kembali menyambangi kediaman Soedjatmoko. Kediaman Soedjatmoko berlokasi di Jalan Tanjung 18, Menteng, Jakarta Pusat. Pagarnya lebar. Halamannya luas dengan udara yang sejuk. Dua pintu masuk yang lebar menghadap ke arah depan. Satu mengarah ke ruang tamu dan satu lagi mengarah ke ruang kerja beliau.

Ibu Nana menuturkan bahwa ketika beliau masih hidup, pintu rumah ini selalu terbuka setiap harinya. Itu berarti siapa saja bisa datang dan bertemu Soedjatmoko, entah untuk berdiskusi dan bertukar gagasan atau sekadar ingin mendengarkan buah pemikiran beliau. Yang datang bertemu beliau pun biasanya datang dari berbagai kalangan, mulai dari rekan kerja sampai anak-anak muda. Dalam hati saya berpikir, meskipun saya tak bertemu secara langsung dengan Soedjatmoko, setidaknya saya bisa “bertemu” dengan karya-karyanya.

Di ruang kerjanya yang sejuk itu saya berkutat dengan tulisan-tulisannya. Saya mendata dan menyusun semua tulisan itu secara kronologis. Melihat topik-topik yang ia tulis secara sekilas, ingin sekali rasanya berhenti sejenak untuk membacanya satu per satu. Tapi tentu saja saya harus menyelesaikan tugas saya terlebih dahulu. Mungkin suatu saat, setelah tulisan-tulisan ini dipublikasikan, saya akan duduk seharian membaca karya-karyanya sangat menarik itu.

Jalan Tanjung No. 18, Sabtu, 27 Februari 2021
27 Februari 2021, saya terkesima dengan ruang kerja Soedjatmoko. Ruang kerja beliau persis berada di samping ruang tamu, dengan pintu yang persis menghadap halaman depan. Ini tentu menjadi sebuah pemandangan yang menarik bagi siapa saja yang bertandang ke rumahnya.

Udara di ruangan itu sejuk meski tanpa pendingin ruangan. Mejanya besar terbuat dari kayu yang kokoh. Saya ingat salah satu potret beliau yang dipajang di ruang tamu. Sementara beliau sedang sibuk bekerja seorang putrinya yang masih kecil malah asik bermain di atas meja kerjanya. Persis di belakang meja kerja itu, koleksi buku beliau berak-rak banyaknya, mulai dari yang sangat tua sampai yang sampulnya belum sempat dibuka. Bahkan ada beberapa buku dan majalah yang kelihatannya sudah sangat tua dan langka.

Di dinding-dinding ruangan itu, dipajang beberapa foto beliau dan Ibu Ratmini Gandasubrata, istri beliau. Ada juga benda-benda antik yang menjadi koleksi beliau. Yang menarik perhatian adalah piagam gelar doktorat honoris causa dari Cedar Crest College dan Universitas Yalle yang didapatkan beliau masing-masing pada 1969 dan 1970. Pikir saya, orang ini benar-benar dihargai di dunia Barat. Juga yang tak kalah menarik adalah foto beliau dengan Santo Paus Yohanes Paulus II di Vatikan. Saya tersenyum-senyum sendiri tatkala melihat foto-foto itu.

Di pojok kanan ruangan itu terdapat beberapa brankas yang berisi karya-karya beliau. Barankas-brankas ini berisi tulisan beliau dari tahun 1948 hingga 1989. Brankas-brankas itu bagi saya merupakan lautan ide dan gagasan yang luar biasa dari Dr. Soedjatmoko. Mereka menjadi saksi bisu bahwa yang abadi dari seorang Soedjatmoko adalah ide-idenya.

Sampai hari ini, paling tidak dari tulisan-tulisan yang saya data, Soedjatmoko menulis dalam topik yang sangat luas, mulai dari politik, kebudayaan, pendidikan, agama, sejarah sampai soal teknologi. Meskipun kebanyakan karya-karya itu ditulis dalam bahasa Inggris―yang belakangan saya tahu merupakan akibat dari ‘ulah’ politik Orde Baru yang melarang beliau mempublikasikan karya-karya akademisnya di Indonesia―tulisan-tulisan itu memperlihatkan kepada saya bahwa Soedjatmoko adalah intelek yang selalu diresahkan oleh berbagai persoalan di sekitarnya. Keresahannya inilah yang mendorong beliau untuk menulis.

Dari kesemuanya itu, hari ini saya pulang dengan sebuah keyakinan bahwa di Jalan Tanjung 18, ada khazanah ilmu yang begitu luas yang perlu digali dan dibaca masyarakat Indonesia, terutama kaum mudanya.

Jalan Tanjung No. 18, Selasa, 2 Maret 2021
2 Maret 2021 adalah pekan kedua saya datang ke kediaman Soedjatmoko. Seperti biasa, halamannya teduh oleh pepohonan yang hijau nan rindang. Udaranya begitu sejuk sampai ke rongga paru-paru saya. Ketika waktu menunjukkan pukul 09.00, saya mulai berkutat lagi dengan tulisan-tulisan beliau yang banyak itu.

Saya suka sekali dengan rak buku dan koleksi buku Soedjatmoko. Kata Ibu Nana, koleksi buku beliau bahkan sudah dua lapis di rak bukunya. Itu karena rak bukunya kecil sementara koleksi bukunya begitu banyak.

Buku-buku itu berjejer persis di belakang meja kerja beliau. Ada buku-buku dan majalah-majalah yang sudah tua. Ada juga buku-buku yang belum sempat dibaca dan masih tersegel plastik pembungkus. Saya ingat apa yang ditulis oleh Arif Budiman (almarhum), sosiolog dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dalam Mengenang Soedjatmoko ketika ia masih mahasiswa seperti saya. Arif mengenang bahwa ketika ia bertandang ke rumah Soedjatmoko ia terkagum-kagum dengan koleksi buku beliau yang begitu banyak itu. Bahkan Arif bertekad bahwa suatu hari nanti ia ingin mempunyai perpustakaan “seperti punya Koko.”

Karena terbawa euforia isi tulisan Arif Budiman itu, hari ini saya menulis dalam sebuah kertas di meja kerja Soedjatmoko―sebagaimana Arif Budiman lakukan: “Saya ingin lebih dari punya Koko.” Saat ini buku-buku lebih mudah diakses. Perpustakaan dan toko buku pun ada di mana-mana. Maka bukan tidak mungkin bahwa suatu waktu saya bisa mempunyai perpustakaan sendiri, sebagaimana Pak Koko.

1 thought on “Catatan Pertemuan dengan Soedjatmoko | Bagian Kedua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *