Cerita di Balik Kesuksesan Grup Musik Lalong Liba di Era-90an

0

Sumber: Pribadi

Loading


Popind Davianus|Redaksi

Bagian 1

Mungkin tidak semua dari orang Manggarai mengenal Lalong Liba, tetapi tidak sedikit juga yang menjadi penikmat musik mereka. Lalong Liba merupakan sebuah grup musik yang datang dari generasi tua tetapi penikmat lagu-lagu mereka datang dari lintas generasi. Coba perhatikan di setiap pesta orang Manggarai saat ini, lagu Duntak Tu’us selalu hadir dari mulut pengisi acara. Kadang dinyanyikan generasi muda, kadang juga oleh generasi tua.  Lalong Liba berhasil melebur ke semua generasi karena lagu-lagunya yang tak lekang oleh waktu.

Bagi saya Lalong Liba adalah tolok ukur musik berkualitas yang pernah diproduksi oleh orang Manggarai. Bahwa kalau ada yang lebih baik dari mereka, saya rasa kita boleh kembali kepada selera masing-masing.

Saya menulis artikel ini setelah melakukan wawancara dengan salah satu anggota grup Lalong Liba. Onsa Joman, begitu nama panggungnya. Beliau punya nama lain Leo Santosa. Mohon pembaca tidak mengaitkannya dengan Toko Sentosa Raya di Ruteng karena tidak ada hubunganya sama sekali. Hehehehe.

Lalong Liba merupakan sebuah band yang dibentuk di Jakarta. Mereka menjadi salah satu grup yang sudah berhasil melewati pengalaman pahit bermusik. Saya iseng-iseng melempar pertanyaan krusial di awal wawancara bersama Onsa di rumahnya malam itu. “Lalong Liba masih hidup?” Tanya saya sambil menikmati kopi hidangan putri cantiknya.

Ternyata Lalong Liba bukan hanya sebuah grup musik. Mereka lebih dari itu. Lalong Liba adalah keluarga. Lalong Liba adalah karya. Lalong Liba adalah musik yang abadi di telinga pendengarnya. Lalong Liba tidak pernah mati. Bahkan ketika pendengarnya mati, lagu mereka akan tetap didengar oleh mereka yang lahir setelah itu.

Mulai dari Sebuah Kos

Kalau Anda penikmat lagu-lagu Lalong Liba maka Anda harus tahu bahwa grup musik itu lahir dari kebiasaan Paskalis Baut dan kawan-kawannya nongkrong sambil bernyanyi bersama di sebuah kos di wilayah Jakarta. Dengan bekal bermain musik seadanya dari Manggarai, Paskalis dan kawan-kawannya mencoba menciptakan lagu dengan mengusung tema tentang “rindu kampung halaman”. Paskalis yang waktu itu memiliki usia paling tua dari anggota yang lain disepakati menjadi pemimpin grup. Kebiasaan menyanyi bersama di kos milik Onsa dan Marsel kemudian berpindah ke rumah milik kakaknya Paskalis Baut, di salah satu wilayah di Jakarta yang kala itu bekerja sebagai DPR RI dari daerah pemilihan Irian Jaya.

Semakin sering bertemu, kekompakan di antara mereka pun pelan-pelan terbentuk. Paskalis dan Onsa yang dianugerahi kemampuan menulis lagu juga semakin giat menambah koleksi lagu bagi grup mereka itu.

“Awalnya kami tidak baku kenal, hanya karena saya berteman dengan Marsel dan Pius, kemudian kami ke rumah kakaknya Pius, di sana kami bertemu kaka Paskalis dan Pace Blang, sejak saat itu kami sering menyanyi di kos dan rumah milik kakaknya Paskalis dan Pius tadi,” cetus Onsa Joman sambil menikmati Djisamsoe di tangan kanannya.

Manggung Kebetulan dan Air Mata Penonton

Tibalah saatnya Keluarga Manggarai Jakarta mengadakan penti bersama sekitar tahun 1993 di Balai Rakyat, Jakarta Utara . Kala itu orang Manggarai yang kuliah dan bekerja di Jakarta masih bisa dihitung menggunakan jari dan hanya mereka yang mapan secara ekonomi lah yang mampu berangkat ke ibukota. Pada acara penti bersama malam itu, Ivan Nestroman yang sudah punya nama besar di dunia hiburan Jakarta bahkan nasional dipercayakan untuk mengisi acara. Ivan dengan bangga menghibur keluarga sesama daerahnya yang merantau ke Jakarta hingga ia berhasil membawakan seluruh lagunya menjelang dansa dimulai.

Seperti lazimnya di Manggarai, sebelum dansa dimulai, peserta yang terlibat dalam acara diminta untuk menyingkirkan kursi. Tiada angin, tiada hujan, MC tiba-tiba berceloteh tentang grup musik dari Manggarai yang sering bernyanyi bersama di rumah milik Paul Baut, yang di awal saya perkenalkan sebagai DPR RI dan Kakaknya Paskalis Baut. MC kemudian memberi mereka panggung sambil peserta acara menyingkirkan kursi. Grup yang belum sempat diberi nama itu pun menaiki panggung dan menyanyikan lagu “Pede”. Dari suasana yang awalnya berisik tiba-tiba menjadi hening.

Neka lage alu, rantang pa’u nitu laun

Neka lengga wakas, rantang ala lata

Ole anak ge senget koe ta……a….a

Sehabis Paskalis Baut dan kawan-kawannya mengakhiri lagu Pede,  tidak terdengar gemuruh tepuk tangan dari penonton. Hanya terlahir ekspresi sedih dan air mata yang bercucuran. Sesegera mungkin MC mengambil alih acara dan mempersilahkan Paskalis Baut dan kawan-kawannya menyanyikan satu lagu lagi. Pada lagu kedua, Paskalis meminta kawan-kawannya menyanyikan lagu “O Calang” dan seketika itu lantai dansa pun bergetar.

Lalong Liba, Album Pertama dan Pembajakan Karya

Berawal dari manggung kebetulan tadi, Paskalis dan kawan-kawannya kemudian menuai banyak apresiasi dari keluarga Manggarai di Jakarta. Orang-orang tua yang sudah lama di Jakarta pun menawarkan modal agar mereka masuk dapur rekaman. Paskalis Baut yang waktu itu sudah mendapatkan sedikit pendapatan dari pekerjaannya menolak tawaran orang-orang tua tersebut dan menggunakan tabungannya untuk masuk dapur rekaman sekaligus menjadi produser.

Sebelum memasuki dapur rekaman mereka menyepakati “Lalong Liba” sebagai nama grup musik mereka. Lalong Liba memiliki makna filosofis: perantau dari Manggarai yang telah diutus sebagai lalong bakok untuk merantau dan akan (liba) kembali sebagai lalong rombeng.

Selesai menyiapkan sampling musik pada tahun 1993, pada tahun 1994 Lalong Liba akhirnya masuk studio rekaman yang dimanajeri Edy TVRI. Edy yang suka dengan gaya musik Lalong Liba kemudian memerintahkan music directornya untuk mengisi instrumen di setiap part dalam album pertama Lalong Liba tanpa menghilangkan karakter Lalong Libanya.

Setelah proses rekaman selesai Lalong Liba memproduksi albumnya berjudul PEDE. Pesanan pertama datang dari toko Matahari Ruteng dengan jumlah yang cukup fantastis pada masanya, yakni 5 ribu copy. Pada saat yang sama Matahari Grup menahan penjualan album baru mereka karena Lalong Liba sedang naik daun di bumi Manggarai. Setelah itu, Lalong Liba mencetak 3 ribu copy lagi untuk dijual di luar Flores dan ludes dalam waktu sekejap.

Kabar buruk pun menimpa mereka, saat lagu-lagu Lalong Liba diminati oleh hampir seluruh orang Manggarai, salah satu toko di Kupang membatalkan pesanan 3 ribu copy kaset Lalong Liba. Tetapi pada saat yang bersamaan, di Kota Kupang kaset Lalong Liba dijual oleh oknum tak bertanggungjawab. Hal yang sama menyusul di Bali, Surabaya, Makassar dan Jakarta. Setelah ditelusuri, Paskalis Baut menemukan oknum pelaku pembajakan tetapi Paskalis memilih untuk memaafkannya dengan alasan pelakunya sesama orang Manggarai. Dari perkiraan Onsa Joman, album pertama mereka terjual sekitar 20 ribu keping kaset untuk seluruh Indonesia, Lalong Liba sendiri hanya menjual sekitar 8 ribu keping kaset, sisanya dijual pelaku pembajakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *