Cerita yang Tidak Penting-Penting Amat

0

Loading


Apek Afres|Redaksi

Sebagai perantauan yang hari-harinya menghabiskan waktu di kos, ada banyak hal yang saya lalui. Namun hal-hal tersebut tak begitu penting untuk saya ceritakan kepada siapa pun. Oleh karenanya maka saya pikir pengalaman-pengalaman tersebut akan saya tulis saja.

1.Kamar Kos saya berdampingan dengan orang Sulawesi. Dia baik, garing, dan suka makan  keripik singkong . Waktu nongkrongnya jauh lebih banyak dari jumlah bintang ketika musim kemarau. Hanya satu yang saya senang, dia selalu membawa saya rokok ketika dia pulang. Saya lebih suka memandangnya secara psikis daripada membacanya secara fisik. Sedikit pujian untuk kebaikannya. Tidak lebih, tidak kelebihan juga, cuman itu.

2. Kamar saya berhadapan dengan kamar orang NTT. Dia lucu, perokok berat, baik, dan suka menghabiskan persediaan kopi milik saya. Dua bulan lalu dia meminjam sepatu futsal saya, sampai sekarang belum juga ia kembalikan. Lebih mengecewakan dari manisnya janji-janji sang kekasih yang lupa pulang untuk mencintai. Hanya senyumannya tidak pernah luntur saat musim hujan dan tidak pernah berjatuhan saat musim gugur. Kokoh seperti senyum Monalisa. Saya lebih suka menganalisis senyumannya daripada senyumannya pak Jokowi.

3. Saya perempuan dari Medan yang suka bergaul dengan siapa saja. Di belakang kontrakan saya ada kos laki-laki orang NTT dan Sulawesi. Mereka baik-baik. Yang satu manisnya keterlaluan dan rambut gondrongnya pengen saya keroyok dengan cinta yang menggebu-gebu. Satunya lagi suka nongol depan kos sepanjang waktu; menghabiskan waktunya dengan secangkir kopi dan ribuan halaman buku. Mereka suka membantu saya lalu  mengejek saya habis-habisan. Mungkin mereka berdua menjadi cerita yang tidak pernah usang dalam perjalanan hidup saya. Tidak terlalu filosofis, tidak terlalu spiritual, hanya cerita mereka yang abadi.

4. Saya warga dekat kos anak Sulawesi dan NTT. Mereka suka ribut-ribut tidak jelas. Suka nyanyi malam-malam. Beberapa waktu lalu, mereka saya laporkan ke RT. Hasilnya tetap sama, seimbang, seri, seperti pertandingan MU VS CHELSEA beberapa hari lalu. Mungkin hidup juga kadang seperti mereka, kadang seperti saya, kadang seperti Arsenal, kadang seperti MU, namun akan jadi bencana ketika seperti Barcelona di musim kali ini. Atau mungkin mereka lebih dari sekadar itu. Ada esensi yang saya tidak paham dari cara mereka menelusuri hari-hari yang kian kabut. Anak dari NTT misalnya. Saya tidak tahu seperti apa sebenarnya NTT itu. Saya masih berlabuh di permukaan esensi NTT itu. Begitu juga tentang anak Sulawesi. Akhirnya saya lebih memilih diam dan mendalami mereka. Semakin didalami semakin ada yang lebih dalam lagi dibaliknya.

5. Kos saya didiami oleh anak NTT dan Sulawesi.  Dua tipe manusia yang berbeda kali ini membuat saya lebih bekerja keras. Mereka jarang bersihkan kamar mandi dan suka buang sampah sembarangan. Bayar uang kosnya juga kadang tidak tepat waktu. Mereka lebih usik dari lagu-lagu nostalgia yang mengembalikan gelora kisah percintaan saya waktu masih muda. Burung-burung pun ikut bernyanyi. Makanya saya gendong dan gladi mereka dengan cara pandang yang lain. Bukan cara pandang politis. Saya memasukkan sedikit cara pandang sosial-budaya. Ini yang menyatu dan punya daya semangat untuk mereka bayar uang kos lebih tepat waktu.

6. Setiap hari warung saya selalu dipenuhi dengan berbagai candaan dan selebihnya cuman kegaduhan. Ada satu perempuan dari medan, satu laki-laki manis dari NTT, satunya lagi laki-laki dari Sulawesi. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu di warung saya. Di saat yang bersamaan juga bapak kos dan warga dekat kos mereka datang nongol untuk menghabiskan waktu di warung saya.

Bagi saya, mereka tidak lebih dari sekadar pelanggan tetap. Biar datang hanya untuk numpang tawa atau singgah sekadar menyudahi perbincangan, mereka tetap saya ladeni semaksimal mungkin. Mungkin bahasa kerennya, melayani mereka seprofesional mungkin. Titik.

7. Saya penggemar berat Eka Kurniawan. Penulis novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” ini perlahan-lahan memasuki ruang-ruang sempit pergumulan hidup saya.  Ia sering mengangkat tema-tema kecil yang menyiasati hal-hal besar untuk memasuki jalan yang sesungguhnya punya titik terang.  Eka seakan-akan mendayung saya untuk melihat angpau merah di pulau seberang. Tetapi, hal ini dibantah oleh teman saya dari NTT dan dari Sulawesi. Eka Kurniawan itu novel-novelnya jorok, kata mereka. Saya lebih suka tulisan pacar saya di whatsapp story, hehehe, lanjut teman saya dari NTT. Saya lebih suka bahasa tubuh Siva, perempuan depan kos itu, nyinyir teman saya dari Sulawesi. Kami terbahak bersama menghabisi malam yang kian rumit.

9. Ada tiga simpulan di artikel ini. Pertama, nomor delapan tidak ada. Kedua, sepandai-pandainya manusia membicarakan dan menilai orang lain, ia pasti makan juga. Silakan makan banyak dan bersyukur tanpa batas. Ketiga, jangan lupa jatuh cinta, dan yang terakhir silakan membaca banyak hal agar tidak mudah terbaca. Oh ya, ternyata ada empat simpulan. Demikian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *