Curhat Anak Timur Baik-baik yang Hidup di Jakarta

Loading


Itok Aman | Redaksi |

Merantau ke Jakarta untuk bekerja merupakan sebuah tantangan besar jika hanya bermodalkan ijazah SMA ke bawah. Sebab Indonesia salah satu dari negara-negara yang menuntut keterampilan dan keahlian dengan bukti ijazah. Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Beda jauh dengan Orang-orang Timur yang berpendidikan tinggi, menafkahi dirinya sendiri di Jakarta tetapi lupa membangun kampung halamannya di Timur sana yang padahal biaya sekolahnya didonasi oleh lapisan masyarakat lewat ‘pesta sekolah’ untuk mengumpulkan dana agar bisa memenuhi kebutuhan hidup selama mengenyam pendidikan di sekolahnya.

Banyak orang yang bilang bahwa Jakarta itu keras. Ada juga yang bilang, jika ingin mengubah hidupmu maka merantaulah ke Jakarta. Setiap orang bermimpi untuk nasib yang lebih baik. Pilihan mengubah nasib dengan merantau ke Jakarta adalah jalan salah satunya, kata orang-orang lagi, jika usaha lebih keras dari Jakarta, maka nasib Anda akan menjadi lebih baik, jika usaha Anda kalah dari kerasnya Jakarta, maka nasib Anda akan berubah. Makin buruk dari sebelumnya.

Jakarta boleh dikatakan sebagai miniatur Indonesia, sebab orang-orang dari berbagai ras, dari timur ke barat, selatan ke utara (tak juga aku temukan, oh Tuhan inikah cobaan *Wali Band) sebagiannya hidup di Jakarta. Jika Anda datang dari Indonesia Timur, maka Anda akan menemukan tantangan baru spesial untuk batin Anda.

Stereotip orang-orang di Jakarta terhadap orang-orang Indonesia Timur sudah dibentuk sejak lama. Entah kapan mulanya, intinya sudah lama. Bahwasannya orang-orang Indonesia Timur di mata mereka adalah orang-orang yang keras, galak, pemarah, suka main hakim sendiri, dan pemberani. Itulah mengapa, jika Anda datang ke Jakarta, Anda menemukan banyak orang-orang Indonesia Timur yang bekerja sebagai penjaga keamanan, jaga parkiran, jaga rumah kosong, lahan kosong. Sedang yang jomlo dan penganggur masih setia dengan menjaga tatapan kosong. Eaa… eaa eeaaa…!!! 

Di sisi lain, Orang-orang Indonesia Timur yang muka menyeramkan juga mendapat peluang besar untuk bekerja sebagai Debt Colector di Jakarta. Menagih utang-utang Orang Jakarta dengan berpura-pura galak. Mungkin juga, ini adalah alasan mengapa Orang-orang Indonesia Timur dikira rata-rata sangar dan menakutkan. Seburuk-buruknya penilaian itu, setidaknya bekerja sebagai Debt Colector juga membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia Timur. Semakin banyak dan semakin tinggi utang di Jakarta, semakin menurun angka pengangguran di Indonesia Timur, tenaga Debt Colector didatangkan langsung dari daerah tanpa melalui jalur pemerintahan. Upps…!!! 

Di balik itu juga, ada hal yang paling meresahkan bagi saya sebagai Orang Timur yang hidup di Jakarta sejak beberapa tahun terakhir ini. Dengan aura ketimuran yang sangat melekat (rambut keriting, kulit gelap, mata menyala) selalu menjadi sasaran. Hal ini jauh dari rasisme dan diskriminasi, tetapi sangat melukai perasaan.

Berada di tempat umum bergumul di antara orang banyak dari berbagai rupa, kehadiran saya yang dengan tampang ketimuran yang hakiki ini seolah-olah menjadi ancaman besar bagi populasi manusia dari suku dan golongan lain. Apalagi ketika ada ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih kecil, tiba-tiba menangis, mengganggu ketenangan orang-orang di sekitarnya, saya sebagai orang timur yang acap kali menjadi sorotan.

“Nak, jangan nangis. Ntar dimarahin sama Om itu lho.” Kata Ibunya sambil menunjuk ke arah saya.

Di sini, saya menjadi dilema. Berpura-pura marah pada anak itu, mereka melihat saya senyum saja seperti sedang marah. Dan, berpura-pura galak, kembali ke asumsi orang-orang tentang kaum kami dari Timur yang jahat-jahat. Serba salah, Kaks. Serbah salah. Sungguh nih!

Mau berusaha untuk pura-pura tidak peduli, tetapi naluri berkata lain. “Saya mesti bantu ibunya untuk memenangkan anak itu.” Mau bertingkah lucu, bagaimana wajah yang sangar dengan ‘pernak-pernik’ yang tumbuh di sekujur tubuh ini sudah sangat menyeramkan. Yang terjadi bukannya menenangkan anaknya, malah membuatnya menangis semakin histeris dan menjadi-jadi. Serba salah. Sungguh!

Mungkin, mereka hanya mengenal singa berbulu domba, apakah mereka tidak tahu bahwa Orang Timur itu sebenarnya domba berbulu singa? Di situ, kadang saya merasa sedih. Karena sakitnya tuh di sini. Di hati ini, Ferguso!

Belum lagi kalau ada ibu-ibu yang mau menyusui anaknya, tapi anaknya tidak mau namun terus dipaksakan sehingga anaknya menangis. Ini juga lebih berbahaya.

“Ayo, Nak. Kalo kamu gak mau nyusu, ntar Mama kasih Omnya lho. Kamu mau?” Sekali lagi sambil menunjuk ke saya.

Sampai di sini, hati kecil saya berkata “why always me?” padahal tidak saling kenal dengan ibu dan anak itu, datang dari tempat berbeda menuju tempat tujuan yang tak sama hanya karena kebetulan bertemu, lalu saya dijadikan korban untuk menakut-nakuti anak kecil ini? Oh, my God. What the hell, Mama? Bagaimana jika pada saat yang sama saya sedang benar-benar lapar dan tiba-tiba hasrat saya berkehendak lain lalu ingin menyusu juga pada ibu itu? Come on, Bu. 

Oleh sebab itu, lewat tulisan ini, saya dengan rendah hati, tanpa mengurangi rasa hormat pada semua preman dan pelaku kejahatan di seluruh Indonesia. Mohon, tampankanlah tampang Anda terlebih dahulu agar kami yang tampang sangar sejak dalam kandungan ini tidak selalu dicurigai sebagai bagian dari kaum kalian yang membahayakan keselamatan orang lain. Tolong! Kami yang muka menyeramkan ini juga ingin hidup baik-baik tanpa ada stereotip buruk tentang kami hanya karena tampilan wajah. Semoga permintaan ini diindahkan oleh seluruh penjahat yang muka jelek di seluruh Indonesia. Amin. Semoga jumlah utang orang Jakarta kian meningkat, agar peluang mendapat pekerjaan bagi orang Timur terus bertumbuh. Amin!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *