Desa, Supra Desa dan Penetrasi Kapitalisme

Loading


Bruno Rey Pantola|Redaksi

Hadirnya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai angin segar bagi desa. Desa diberikan kekuatan baru untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa asas yang terkandung dalam Undang-undang tersebut dengan tujuan untuk menguatkan semangat desa berinovasi. Dua asas penting yang sering digaungkan adalah asas subsidiaritas dan asas rekognisi.

Asas subsidiaritas adalah satu bentuk pemberian dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Desa dalam bentuk uang (Dana Desa). Asas ini penting bagi desa karena desa  tidak lagi dianggap sebabagi “anak tiri” oleh Pemerintah Supra Desa melainkan sebagai bentuk penghargaan bagi desa sehingga desa dapat mengelola proses pembangunannya sendiri secara mandiri. Sedangkan asas rekognisi menyasar pada pengakuan dan penghargaan terhadap desa untuk memanfaatkan potensi desa itu sendiri tanpa intervensi dari Pemerintah Supra Desa.

Kedua asas tersebut secara langsung mengangkat desa dari paradigma-paradigma lama bahwa desa hanyalah tempat dan wilayah kecil yang terbelakangkan. Desa hanya bagian kecil dari negara yang harus diatur oleh negara dengan berbagai aturan ala Pemerintah Pusat atau Pemerintah Supra Desa. Sehingga persoalan di desa tidak hanya berkisar pada penyelesaian sistem administrasi ala negara hingga lupa pada pemberdayaan masyarakat serta pengelolaan perekonomian berbasis desa.

Polemik yang kian terjadi adalah desa dilihat sebagai pemerintahan yang utuh dengan adanya pemaksaan ke dalam desa terkait birokrasi (strukturisasi ala Pemerintah Supra Desa) . Hal ini digunakan untuk mengatur desa agar semua aparat desa menjadi Aparatur Sipil Negara (upaya memasukkan negara ke desa) untuk mengatur masyarakat yang notabene dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Pusat. Prof Dr. Hanif Nurcholis dalam Berita Flores mengemukakan bahwa “struktur organisasi atau kelembagaan Pemerintah Desa yang ada sekarang dalam UU Desa 6/2014 tidak ada bedanya dengan struktur Pemerintah Desa pada zaman kolonial. Pemerintah Desa tidak distrukturisasi sebagai pemerintah utuh alias semu”. Sedangkan di dalam Undang-undang Desa menjelaskan bahwa desa hendaknya diberikan keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri serta menata dan mengembangkan potensinya sendiri. Oleh sebab itu, strukturisasi negara sangat tidak relevan dengan sosiologi dan budaya yang ada di desa. Desa justru digiring untuk tidak menghidupi demokrasinya sendiri. Alih-alih desa dianggap persoalannya hanya pada urusan Dana Desa. Di sini, terkesan bahwa menurut Prof. Nurcholis; desa masih terkungkung dengan teori-teori kolonialisme yang pada umumnya desa dibentuk oleh para penjajah. Namun, pertentangan ini tentu hanya terjadi pada tataran para akademisi yang memberikan perspektifnya masing-masing terkait desa.

Persoalan lain adalah penyimpangan dan penyelewengan Dana Desa tidak diselesaikan melalui kebijakan desa seperti adanya musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 54, tetapi diselesaikan dan dipaksakan untuk berjalan melalui jalur legal-formal. Oleh karena itu, pengakuan dan penghargaan sepenuhnya harus diberikan kepada desa. Desa harus mampu menciptakan inovasi sendiri dalam perkembangan pembangunan dan kesejahteraan berkelanjutan melalui pengelolaan Dana Desa.

Dengan adanya pengakuan terhadap desa dan pengalokasian uang yang berasal dari sisa APBN tiap tahunnya, desa diharapkan mampu untuk mengelolanya sendiri sesuai peraturan perundang-undangam yang telah dicanangkan. Tentu ini tidak terlepas dari pembagunan secara demokratis dengan melibatkan unsur masyarakat desa. Atas dasar itu pula, campur tangan dari kapitalisme mulai marak masuk ke desa.

Masuknya pemilik modal (investor) ke desa bertujuan untuk berkolaborasi dengan desa dalam pembangunan fisik di desa, namun sayang, desa hanya menjadi obyek pengerukan terhadap kekayaannya. Izin yang diterima oleh kaum kapitalis pun justru tidak berasal dari kewenangan desa melainkan dari Supra Desa sehingga desa terus dikekang dengan aturan-aturan dan permainan-permainan kapitalisme dalam upaya eksploitasi kekayaan desa. Selain itu, negara masuk dengan meproduksi ketakutan yang pada dasarnya mengebiri demokrasi desa; TNI POLRI terus dimasukkan ke desa dengan upaya untuk mengontrol Dana Desa dan proyek yang terjadi di desa, sedangkan desa sendiri telah memiliki kewenangan sendiri lewat pembentukan Tim Pengelola Kerja (TPK) untuk proses pelaksanaan  setiap pekerjaan di desa.

Konflik-konflik seperti inilah akhirnya memunculkan kerja baru bagi desa yakni menghadapi penetrasi kapitalisme terutama bentuk hadirnya pertambangan-pertambangan yang izinnya justru bukan dari desa. Salah satu contohnya adalah pertaruhan nyawa masyarakat kampung Tureng  Bawer, Desa Legur, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur pada 2014 lalu yang ditulis oleh Charles DM, dalam tulisannya di Kompasiana bertajuk  “NTT, Antara Tolak Tambang dan Energi Baru dan Terbarukan yang Terabaikan”.  Selain itu juga, dalam tulisan yang sama, Charles mengangkat masalah serupa yakni masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menolak tegas penambangan mangan di daerah tersebut. 

Pada tahun 2018, di Kampung Lengko Lolok, Desa Satarpunda, masyarakat mengaku tak pernah tahu terkait mekanisme penerbitan perizinan  tambang dalam kaitan dengan kapasitas mereka sebagai pemegang ulayat atas tanah. Demikian ulasan Melky Nahar dalam tulisannya berjudul “Terpinggirkan di Tanah Sendiri” pada media  jatam.org.

Adanya pertambangan-pertambangan besar yang menyusup masuk ke desa ini, menurut hemat saya, desa hanya akan diam dengan segala kelemahannya. Dana Desa yang berjumlah satu miliar hanya digunakan untuk memulihkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di desa akibat pertambangan tanpa memikirkan untuk berinovasi dan menghidupkan ekonomi kreatif bagi semua unsur masyarakat desa.

Dalam buku bertajuk “Desa Kuat Negara Berdaulat”, Sukapti dan Adi Rahman mengemukakan bahwa struktur ekonomi kapitalistik yang merangsek ke desa merupakan tantangan lokal yang harus dijawab oleh masyarakat desa sendiri. Masyarakat desa disibukkan dengan berbagai kepentingan korporasi-korporasi besar yang mengeruk hasilnya, sedangkan hal substansif yang terkandung dalam Undang-undang Desa yakni kemandirian desa dalam pengelolaan perekonomian desa menjadi mubazir di mata masyarakat desa, setelah itu desa malah dituntut untuk menyelesaikan persoalan-persoalan administrasi ala Pemerintah Supra Desa hanya untuk memenuhi kriteria kebijakan yang notabene kontroversi dengan Undang-undang Desa.

Oleh sebab itu, Kepala Desa dan semua unsur masyarakat harus diberikan hak penuh oleh Pemerintah Supra Desa untuk mengelola potensi yang ada di desa berdasarkan Undang-undang Desa. Negara pun bertanggung jawab penuh terhadap masuknya investasi-invesatsi besar yang dengan lihainya ingin mengeruk desa. Negara juga harus menahan diri terhadap intervensi-intervensinya terhadap desa, agar demokrasi desa tetap hidup sebagai peradaban baru bagi kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Solusinya adalah pemberian hak penuh kepada desa tanpa dikungkung Pemerintah Supra Desa. Aparat Desa dan semua unsur masyarakat berhak untuk menyelesaikan proses pembangunan secara mandiri berbasis desa. Pembangunan infrastruktur, sekolah, dan kesehatan harus menjadi tanggung jawab masyarakat desa lewat Musyawarah Desa (MUSDES) dan penetapan RPJMDesa. Sedangkan hadirnya investasi-investasi harus berdasarkan izin desa yang berorientasi pada kepentingan perekonomian desa. Kontrol dari Pemerintah Supra Desa tidak sebatas pada administrasi yang dibebankan pada desa tetapi sebagai kontrol politik ala desa dan pendekatan berbasis desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *