Di Jogja Ada Angkringan yang Bikin Rindu, Sedangkan di Kampung Saya Ada Wae Usang yang Bikin Tergila-gila

Wae Usang sedang menyulam rindu
Apek Afres|Redaksi
Ada kali kecil dekat kampung saya, namanya Wae Usang. Kali yang membatasi kampung saya dengan kampung tetangga. Kali paling favorit waktu SD. Tempat cuci muka sebelum sekolah, tempat berak, dan tempat mencari katak setelah pulang sekolah, dan beberapa pengalaman “ehem” lainnya.
Dalam sebuah wawancara di TVRI, tahun 2003 silam, Cak Nun menjelaskan arti mudik secara komprehensif. Mudik menurut Cak Nun kala itu, merupakan pengejawantahan paling dasar atas naluri manusia yang senantiasa punya keinginan untuk kembali pada asal-usulnya. Asal-usul jasmani dan rohani. Asal-usul berupa kampung halaman, sanak famili, dan nuansa budaya yang membesarkan dia sejak kecil (disadur dari akun FB Agus Mulyadi).
Saat ini, saat menyeruput kopi tanpa rezeki dalam kos, saya teringat pada masa kecil saya, yakni Wae Usang yang memberi tawa dan kenangan.
Wae Usang sedikit lebih teduh dari beberapa kali lainnya. Pohon-pohon besar tumbuh di dekat kali. Kebun-kebun kopi dan kakao para petani tumbuh subur. Tidak jarang orang-orang juga mencari rumput untuk pakan binatang peliharaan di kali ini.
Saya masih ingat saat Apek kecil mandi telanjang tanpa beban di Wae Usang. Melompat dari batu yang agak tinggi, meluncur tubuh ke udara, merentangkan tangan, dan melompat jauh ke dalam kali. Lalu muncul ke permukaan sambil menggerakkan kepala, mengeringkan sisa-sisa air di rambut ikal yang tidak kenal sampo kala itu.
Saya tertawa sendiri saat mengingat momen masa lalu semacam ini. Terseret habis. Raut kerinduan membeludak tanpa jeda, membuncah tanpa seribu kata.
Lebih seru dan menjengkelkan lagi, ketika Wae Usang menjadi tempat dua aktivitas anak SD yang populer pada zaman kami, yaitu tempat cuci muka sekaligus tempat berak.
Saya dan beberapa teman menikmati hal ini. Berak sambil menertawakan pantat hitam dan legam masing-masing. Teman yang satu mengambil posisi strategis di batu sebelah atas, teman yang lain nyaman di batu yang posisinya di bagian luar kali, dan saya sering kali nyaman menertawakan jenis bunyi pantat dari teman-teman saya.
Ritual aneh yang sering kali kami lakukan ini justru menyenangkan. Toh kebahagiaan juga menjadi tanggung jawab masing-masing. Berak, ya berak saja. Waktu kecil tidak ada yang repot. Terserah. Persetan dengan orang-orang. Itulah masa tanpa beban sedikit pun.
Saat cuci muka juga kadang aneh-aneh. Yang lain di depan, yang lain di belakang. Yang sengsara dan cuci muka dengan sisa air sabun adalah yang di belakang. Pertengkaran gara-gara perebutan tempat pun dimulai. Yang penting jangan bertengkar gara-gara rebut kursi kekuasaan eee, hehehe.
Saya terbiasa mengalah. Rendah hati, kata Mama saya kala itu. Ada kejadian yang tidak saya terima, yaitu ketika teman saya menggunakan sabun saya untuk mencuci pantatnya. Kami berkelahi. Dua jam tak berhenti. Tidak pergi sekolah. Celana dan baju seragam sekolah robek dan basah semua.
Esoknya lagi kami berkelahi lagi, berkelahi gara-gara saya menggunakan sabun teman saya ini untuk cuci pantat saya sendiri. Seperti rindu dendam juga harus dibalas tuntas, seperti judul novel luar biasa Eka Kurniawan. Berkelahi jadi empat ronde. Saya menang dua kali, dia lari dua kali. Saya pemenang yang sesungguhnya.
Itulah kisah-kisah masa lampau yang buat saya cepat-cepat pulang kampung lagi. Waktu pulang kampung yang kemarin, saya melihat tempat berak terakhir saya di Wae Usang. Posisi batunya masih sama, jenis beraknya sudah berbeda.
Di Jogja ada Angkringan yang bikin rindu, di kampung saya ada Wae Usang yang bikin tergila-gila.