Di Mana Tuhan Ketika Kita Dilanda Pandemi?

0

foto diambil dari google ketika Tuhan bingung mau jawab doa siapa

Loading


Frumens Arwan || Redaktur

 Semenjak penghujung tahun 2019, dunia kita dilanda pandemi mematikan akibat virus corona baru berjenis SARS-CoV-2. Dalam sekejab, jutaan orang mati dan lenyap. Pandemi kemudian mengerangkeng kita dalam ruang gerak yang terbatas. Pandemi pula menakut-nakuti kita dengan rasa sakit dan kematian.

Kita semua lantas bertanya, mengapa virus mematikan ini menyerang kita? Untuk orang beriman, tantangan terbesar kita adalah menjawab pertanyaan: Apa sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan (baca: wabah Covid-19) di dunia? Pertanyaan ini tidak bisa dihindari karena kita memandang Tuhan sebagai Pribadi Yang Mahabaik, Mahakuasa, dan Mahaadil. Kalaupun kita percaya bahwa Tuhan tidak bertanggung jawab atas berbagai penderitaan di muka bumi ini, kita tidak bisa menghindarkan diri dari pertanyaan: Apakah Tuhan tidak bisa menghentikan semuanya?

Menimbang Beberapa Jawaban

Ada beberapa pandangan yang khas Katolik berkenaan dengan masalah penderitaan dan campur tangan Allah di dalamnya untuk membantu kita menjawab pertanyaan ‘di mana tuhan ketika kita dilanda pandemi?’ Sebagai catatan awal, penulis melihat bahwa peristiwa salib adalah pusat untuk mengerti bagaimana Allah terlibat di dalam penderitaan manusia.

Pertama, penderitaan adalah jawaban atas cinta Allah. Kita kerap kali menerima pandangan yang mengatakan bahwa bencana alam dan sejenisnya adalah cara bumi tempat kita tinggal memperbaharui dirinya. Edd, tunggu dulu, toh kita tidak bisa mengatakan kepada orang yang tertimpa bencana alam bahwa musibah yang tengah mereka hadapi adalah bagian dari alam semesta yang sedang berproses. Bukankah itu terdengar sangat naif? Jadi di manakah Tuhan dalam semua ini?

Tuhan menciptakan alam semesta karena cinta. Cinta pada dasarnya adalah sebuah proses timbal balik. Untuk mencintai seseorang, misalnya, seseorang berharap akan dicintai. Kalau tidak begitu, ya namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Hubungan Tuhan dengan semesta ciptaan-Nya berlangsung seperti itu. Dia ingin agar alam semesta memiliki kreativitas untuk mencintai-Nya dan untuk mewujudkan itu alam semesta perlu berevolusi, menjadi dinamis dan kreatif melalui adanya penderitaan. Jadi, penderitaan memungkinkan alam semesta membalas cinta Allah dengan berevolusi. Ngeri juga yah kedengarannya.

Kedua, penderitaan mengukuhkan iman. Pandangan ini mengatakan bahwa seseorang yang percaya akan kehadiran Tuhan mungkin percaya bahwa Tuhan menyertai mereka melalui kehancuran. Tuhan mencintai mereka melalui tanah longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Sementara yang lain mungkin merasa tiba-tiba ditinggalkan. Berdasarkan pemahaman akan hubungan dengan Allah yang berbeda itu, kita kemudian mengambil kesimpulan bahwasannya ada pelajaran di balik setiap penderitaan untuk dipelajari.

Akan tetapi, haruskah para korban bencana dikorbankan agar Tuhan mengajar manusia? Ah, itu terlampau kejam. Jawaban yang tepat barangkali adalah bahwa penderitaan membuat kita mampu mengukuhkan kembali iman kita kepada Tuhan. Lewat penderitaan kita mengukuhkan kembali kepercayaan kita kepada Allah dengan membuat makna dari pengalaman yang bahkan di mata beberapa orang sama sekali tidak berarti. Kita, misalnya, bisa menganggap peristiwa selamat dari tanah longsor sebagai tangan Allah yang menjamah kita. Iya kan?

Ketiga, penderitaan mengubah keputusasaan menjadi keselamatan. Pandangan ini beranggapan bahwa Tuhan mengijinkan kejahatan dan kehancuran untuk mendekatkan kita kepada-Nya dan agar kita dapat menemukan Penyelamat dan Kerajaan Allah yang bertahan selamanya. Bagi orang Katolik, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Nah, Yesus inilah yang kita pegang secara teguh setiap kali kita mengalami penderitaan di dunia ini.

Keempat, penderitaan menguduskan kita orang beriman. Pandangan ini mengatakan bahwa dosa yang telah masuk ke dunia dan ada bersama manusia telah memengaruhi bukan hanya hubungan manusia dengan sesamanya, melainkan juga telah membawa bencana alam. Setelah kedatangan Kristus kembali dan penebusan umat manusia melalui peristiwa salib, tidak hanya orang akan bangkit dari kematian dan hidup di surga, tetapi alam semesta fisik akan diubah. Jadi, menurut pandangan ini, penderitaan menguduskan setiap orang beriman dari keberdosaannya.  

Salib dan Solidaritas Allah

Kita telah melihat beberapa pandangan khas Katolik di atas yang mencoba memahami penderitaan dan bagaimana Allah ikut campur di dalamnya. Bagi penulis, pandangan-pandangan di atas menempatkan peristiwa salib―di mana Allah menderita bersama dan untuk manusia―sebagai pusat untuk dapat memahami campur tangan Allah atas penderitaan manusia. Lantas, apa yang diajarkan Salib kepada kita untuk memahami penderitaan dan intervensi Allah atas penderitaan kita?

 Pertama, peristiwa salib harus dimengerti sebagai tanda solidaritas Allah kepada manusia. Melalui Kristus yang mati di salib, Allah membangun sebuah solidaritas dengan manusia yang berdosa bahkan menyamakan diri-Nya dengan manusia yang tidak taat. Solidaritas Allah dengan manusia dalam peristiwa salib juga dapat dilihat sebagai pendamaian Allah dengan ciptaan-Nya melalui Kristus yang mati di kayu salib. Melalui Kristus, hubungan antara pencipta dan ciptaan-Nya dipulihkan kembali.

Kedua, selain Allah yang bersolider dengan manusia, peristiwa salib juga membuka jalan bagi manusia untuk melakukan protes dengan Allah berkenaan dengan penderitaan yang dialaminya dan mengajarkan kepada manusia untuk dengan berani menyandarkan penderitaannya kepada Allah. Di salib, Yesus berteriak: “Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46).” Menurut Franz Magnis-Suseno, “protes Yesus di salib membuka jalan bagi orang Kristen untuk melakukan protes terhadap Allah (Magniz-Suseno, 2006: 232).” Protes manusia ini juga ditunjukkan Ayub ketika ia berkata: “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku. Aku akan berkata kepada Allah: Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku. (Ayub 10:1-2)” Dengan demikian, Allah memberi kepada manusia kesempatan untuk meneriakan penderitaannya dan di sisi lain menjadi Allah yang solider dengan membiarkan diri-Nya menjadi sasaran teriakan manusia itu.

Dengan bercermin dari peristiwa Salib, kita yang saat ini sedang dilanda pandemi akibat virus corona diberi kesempatan oleh Allah untuk menyandarkan segala penderitaan kita kepada Allah sekaligus berteriak dan mengeluh kepada-Nya tentang kesusahan apa saja yang kita alami. Bukankah dengan begitu kita tak lagi merasa sendirian di tengah penderitaan kita?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *