Di Manggarai, Ranaka adalah yang Paling Dekat dengan Surga

0

Loading


Ketika mengunjungi Manggarai, orang bisa menyembunyikan pandangannya dari apa saja, tetapi tidak dari Gunung Ranaka yang tinggi menjulang itu. Gunung hijau setinggi 2100 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu seolah menjadi atap bagi bumi Nuca Lale. Di bawah atap itu, segala berkat Mori Keraeng turun dan syukur para penghuni Bumi Nuca Lale merapal ke atas bagai doa. Itu adalah harmoni yang tak pernah usang di bumi Manggarai.

Saya merasakan harmoni itu lewat kegemaran saya mendaki gunung. Pada 7 Juli 2019, saya tiba-tiba saja punya keinginan untuk mendaki Gunung Ranaka. Barangkali karena setelah belasan tahun lamanya saya hanya bisa memandanginya dari sudut rumah saya di Lewe, Manggarai Timur. Sore itu juga saya mengajak beberapa adik saya, Gordi, Vagen, dan Kayen untuk mendaki bersama. Sebelumnya mereka belum pernah mendaki gunung. Niat saya itu ternyata disambut baik oleh mereka. Setelah meminta ijin kepada orang tua kami masing-masing, sore itu juga kami berangkat.

Peralatan mendaki kami sore itu seadanya saja. Dari kami berempat, hanya saya yang membawa sepatu gunung dan tas carier. Carier itu berisi tenda gunung, peralatan memasak, selimut, tikar, dan makanan seadanya. Satu adik saya bahkan membawa tas sekolahnya ke gunung. Pemula bukan main.

Desa yang kami tuju adalah Desa Robo, Kecamatan Wae Rii, Manggarai. Desa ini menjadi desa terakhir sekaligus pintu gerbang pendakian Gunung Ranaka. Sore itu, sepeda motor kami melaju dengan kencang di Jalan raya Lewe-Robo.

Di desa Robo, kami memarkir kendaraan kami di salah satu rumah penduduk. Ketika melihat saya menenteng sebuah carier (tas gunung) besar, seorang ibu bertanya kepada saya demikian, “Kalian ke mana, Nana?” Setelah saya menjelaskan bahwa kami akan mendaki dan bermalam di Gunung Ranaka, sang ibu berkata demikian, “Jalan kaki? Ini sudah malam Nana.” Saya dan adik-adik tahu, ibu itu khawatir dengan kami. Tapi toh maksud yang tak terkatakan di balik kalimat itu adalah nasehat agar kami berhati-hati. Pun kami tidak bermaksud membuktikan diri bahwa diri kami berani.

Kami memulai pendakian kami sekitar pukul 15.30 WITA. Ini pendakian pertama saya yang dimulai ketika sore hari. Kami sengaja mendaki sore hari agar terhindar dari dehidrasi berat. Maklum, Manggarai sekarang sedang mengalami musim kemarau.

Matahari sudah hampir sepenuhnya terbenam di barat Desa Robo ketika kami baru saja memulai pendakian. Bahkan perjalanan kami baru sejauh kurang lebih dua kilometer ketika gelap sudah turun di kaki Ranaka. Saya, yang berjalan di belakang barisan harus menyalakan senter agar kami bisa melihat jalur dengan baik. Tentu ini adalah juga sebagai penawar rasa takut kami. Hehehe.

Jalur menuju puncak Ranaka memang bukan jalur bertebing yang licin dan terjal. Di sana, sudah ada jalan beraspal yang bisa dilalui oleh sepeda motor atau mobil berukuran kecil. Jalur pendakian dibuat zig-zag seperti melingkari gunung yang tinggi  menjulang itu. Sepanjang jalur, hanya terdapat dua shelter untuk peristirahatan. Dua-duanya terletak di kilometer tujuh. Jalur yang demikian, membuat kami cukup kewalahan. Kami harus mengatur ritme nafas kami dengan baik supaya fisik kami tetap stabil hingga mencapai puncak.

Usaha kami untuk menjaga ketahanan fisik kami tetap stabil ternyata tidak berhasil. Jalur yang berliku-liku membuat kami mudah merasa capek. Air minum yang kami bawa bahkan segera saja habis ketika pendakian belum mancapai separuh perjalanan.

Untuk jalur seperti ini, pengaturan nafas sangatlah penting. Kakau tidak, Anda akan mudah merasa capek. Itulah yang kami alami ketika mendaki jalur pandakian Ranaka ini. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengatur ritme nafas kami. Setelah nafas kami stabil kembali, kami melanjutkan pendakian lagi. Begitu terus.

Kami tiba di shelter peristirahatan pertama sekitar pukul 20.30 WITA. Kami sudah begitu kelelahan. Tetapi bagi saya lelah adalah anugerah, “lahan” tempat saya menakar siapa diri saya dan seberapa kuat diri saya.

Dari shelter itu, kami bisa melihat perumahan di sepanjang lembah Ranaka. Di malam hari, mereka tampak seperti kunang-kunang. Juga dari sana, kota Ruteng tampak cukup gemerlap oleh lampu-lampu perumahan. Di shelter itu, kami beristirahat sejenak, merokok sambil memutar beberapa lagu. Setelah hampir 15 menit beristirahat, kami melanjutkan pendakian kami.

Setelah melewati shelter pertama, kami harus mencapai shelter berikut yang jaraknya beberapa kilometer dari sana. Adik-adik saya sudah tampak lebih bersemangat mendaki karena sudah beristirahat cukup lama di shelter pertama tadi.

Kami tiba di shelter kedua, yang letaknya berada di kilometer tujuh, hampir pukul 21.00 WITA. Shelter ini adalah tempat pemberhentian favorit para pendaki Ranaka. Sebabnya, siapa saja bisa menikmati gunung api Nampar Nos yang tampak begitu dekat jika dilihat dari sana. Akan tetapi, karena ini sudah malam, pandangan kami terganggu sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan gunung vulkanik yang pernah meletus pada 1991 itu.

Pendakian selanjutnya terasa lebih mudah karena jalur pendakian tidak terlalu menanjak. Kami sampai di Danau Ranaka sekitar pukul 21.30 WITA. Setibanya di sana, kami langsung membangun tenda di sebuah lahan yang tidak terlalu luas di tepi barat danau itu. Danau yang kecil itu tidak bisa kami nikmati karena hari sudah gelap.

Apa lacur? Dua pemantik api yang kami bawa tertinggal di shelter pertama tempat kami merokok. Sementara itu, satu-satunya pemantik api yang kami bawa ternyata rusak. Di tengah keadaan yang begitu lapar dan lelah, kami semua panik. Kami menatap satu sama lain. Adik saya, Gordi, yang ditugaskan untuk membawa pemantik api tampak diam. Kami semua diam, tidak bisa menyalahkan satu sama lain.

Tidak butuh waktu lama, saya dan Gordi memutuskan untuk kembali ke shelter pertama tadi. Jaraknya cukup jauh, yakni sekitar 5 kilometer. Tapi apa mau dikata, itu satu-satunya harapan kami agar bisa memasak dan menghangatkan diri malam ini. Dalam keadaan lelah, kami berdua kembali menuruni jalur yang telah dengan susah payah kami daki tadi. Sementara itu, dua adik saya, Vagen dan Kayen, tetap tinggal di danau. Selain untuk menjaga tenda dan barang-barang, fisik mereka sudah tidak memungkinkan mereka untuk berjalan.

Saya dan Gordi tiba di danau hampir pukul 22.00 WITA. Kami mulai memasak dan sejenak menghangatkan diri. Setelah semua makanan sudah siap, kami menyatap hidangan makan malam kami dengan lahap. Lapar kami disudahi oleh mie, ikan bakar, dan nasi setengah matang. Dahaga kami dihapus oleh segar dan dinginnya air Danau Ranaka. Ah, nikmatnya menyantap makan masakan sendiri di gunung. Di saat seperti ini, kami merasa begitu dekat dengan alam bahkan menyatu dengannya. Ia memeluk, ia merangkul dengan caranya.

Malam itu kami habiskan dengan bercerita, sebelum kami beristirahat. Di danau, hawa dingin terasa menusuk-nusuk di pori-pori kulit kami. Selimut yang kami bawa bahkan tidak cukup kuat menahan dingin malam itu. Akan tetapi, karena sudah begitu lelah, kami semua bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Malam yang indah. Kami berencana melanjutkan pendakian hingga puncak keesokan harinya.

Pada pagi hari, kami sempat berswafoto di tepi danau Ranaka. Danau itu indah. Tidak terlalu besar, hampir seperti rawa-rawa. Jejak-jejak binatang liar tampak di sepanjang tepi danau. Airnya sangat dingin dan segar. Untuk keperluan masak dan minum, misalnya, kami menimba air dari sana. Airnya mengajarkan saya satu hal: alam mencukupi kita dalam segala hal dan bahwa antara manusia dan alam, manusialah yang lebih tergantung pada alam.

Selesai berswafoto, kami melanjutkan pendakian ke puncak Ranaka. Semua barang kami tinggalkan di danau. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di Puncak Ranaka itu. Jalur dari danau menuju puncak dipenuhi oleh tempat perhentian jalan salib, khas tradisi Katolik. Benar-benar seperti mendaki menuju puncak di mana doa-doa manusia dibawa ke hadapan Yang Maha Esa.

Puncak yang berada di atas ketinggian 2100 mdpl itu tampak begitu sepi. Bangunan tua bekas tempat perziarahan umat Katolik Manggarai tampak tak terurus. Tulisan mural ada di mana-mana, dibuat oleh orang-orang yang barangkali berpikir bahwa mereka cukup mengerti keindahan, lantas membuat tulisan dan semacamnya. Tetapi bagi saya, mereka tidak lebih dari sekadar perusak keindahan itu sendiri. Apa salahnya jika semua itu dibiarkan apa adanya?  

Di puncak Ranaka, udara barangkali berada pada kadarnya yang paling murni, begitu segar. Wangi pepohonan dan dedaunan hijau bisa saya hirup lewat batang hidup saya. Benar kata Dian Vita Elyati, “Mustahil kita sampai pada ide menghabisi pepohonan, seandainya lebih sering lagi kita mencium wangi daun-daunnya.”

Dan satu lagi, di Puncak Ranaka, surga rasanya begitu dekat. Surga seperti menyatu bersama desau angin, seperti hinggap pada hijau dedaunan, seperti mengalir melalui mata air yang jernih, seperti mengkristal dalam bening butir embun. Saya sendiri merasa begitu bersyukur Tuhan memberikan bumi Manggarai alam seindah ini.

Kami menikmati puncak ranaka pagi itu dengan berswafoto. Seperti kata Fiersa Besari, “yang berat dari sebuah pendakian adalah eksistensi.” Yah, dengan berswafoto kami menunjukkan eksistensi kami. Saya berswafoto, maka saya ada. Heheh.

Pukul 8.00 WITA, kami semua kembali ke lokasi perkemahan di Danau Ranaka. Selesai berkemas, kami semua pulang. Ketika pulang, beban kami yang sudah berkurang membuat langkah kaki kami terasa begitu ringan. Kami bahkan sudah bisa berlari di sepanjang jalur pendakian itu.

Di Manggarai, Gunung Ranaka adalah yang paling dekat dengan surga. Teduhnya menyaksikan betapa segala berkat Tuhan turun atas bumi Nuca Lale. Tingginya menjadi pengingat bahwa segala doa-doa bumi Manggarai dirapalkan kepada Tuhan Sang Pemberi segala, Mori Keraeng. Harmoni itu pernah dilukiskan  dengan sangat baik dalam lirik lagu yang berjudul Gunung Ranaka: “Gunung ranaka tinggi menjulang. Rimba belukar padang nan hijau membentang. Sawah dan ladang menguning nan emas. Di antara lembah ngarai dan sungai mengalir.”

Penulis : Menssi Arwan|Meka tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *