Di SMAN 3 Borong, Ragam Komunitas Dipertemukan

0

Komunitas dan literasi sedang bercinta (Foto; Fb Hans Akrefoto)

Loading


Erik Jumpar|Tua Golo

Saat Tabeite tiba di SMAN 3 Borong, senja hendak berpaling. Anak-anak usia sekolah menengah atas perlahan-lahan memadati lingkungan sekolah. Mereka memakai kostum khas sekolah. Berbaju batik berwarna merah dan celana panjang berwarna putih. Sebagiannya lagi memakai baju kaus berwarna hitam dipadu dengan kain songke Manggarai di bawahnya.

Sore itu, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda di Bulan Oktober kali lalu, komunitas SMAN 3 Borong kembali bergerak selangkah lebih maju dari sekolah negeri yang lain. Mereka menghadirkan ragam komunitas pemuda untuk berbagi pengalaman akan gerakan kreatif dalam berbagai bidang.

Sebelum masuk ke dalam sekolah, di pintu gerbang, saya disambut oleh dua orang siswa. Mereka mengarahkan saya untuk mencuci tangan dan memakai hand sanitizer. Demi kenyamanan dan keselamatan diri, juga untuk kebaikan dari orang-orang yang akan ditemui, kita diharapkan untuk tetap mentaati protokol kesehatan. 

“Jangan lupa untuk mencuci tangan dan memakai hand sanitizer,” anjur salah seorang di antara mereka.

“Maskernya tolong dipakai dengan benar,” tegur yang satu lagi.

Mendengar teguran itu, raut wajah saya memerah. Masker saya pun dibetulkan. Selama pandemi sialan ini, selain helm, STNK dan SIM, salah satu yang dirazia oleh kepolisian yaitu masker. Namun kerap kali ada pemandangan yang lazim kita temukan, terkadang masker tak dipakai dengan benar. Dibiarkan menggantung begitu saja di leher, seperti yang saya lakukan tadi. Padahal protokol kesehatannya sudah mewajibkan kita untuk selalu memakai masker dengan benar.

Tepat di depan ruangan guru, enam guru sedang bercerita satu sama lain. Dua di antara mereka sedang menyambut satu demi satu teman-teman komunitas yang mulai berdatangan. Sembari mengeluarkan jaket, saya berjalan masuk, satu di antara guru tadi mengarahkan saya untuk bergegas menuju tempat dilaksanakannya kegiatan.

Saat tiba di tempat diadakannya kegiatan, teman-teman dari Rumah Baca Aksara, Ruteng sudah tiba lebih dulu. Mereka membuka lapak untuk literasi bergerak, satu dari sekian gerakan kreatif yang telah mereka lakukan.

Di lapak literasi bergerak dari Rumah Baca Aksara, buku-buku terbaik dari perpustakaan Rumah Baca Aksara dipamerkan. Menariknya ada lukisan yang terbuat dari kertas daur ulang, juga gelang dengan berbagai model, hasil dari gerakan kreatif anak-anak keren dari Kota Ruteng ini. 

“Kami sudah tiba di tigapuluh menit yang lalu,” jelas Gheryl, pegiat di Rumah Baca Aksara.

Sejauh ini, Gheryl bersama kawan-kawannya telah malang melintang dengan literasi bergerak. Geliat positif yang telah dan sedang mereka jalankan membawa secercah harapan bagi gerakan kaum muda yang tak boleh nyaman dengan rebahan.

“Jangan dulu fokus di profit, juga tak boleh bergerak sendiri untuk membangun sebuah komunitas,” jelas Gheryl lebih jauh.

Gheryl juga menuturkan dengan detail mengenai peluang dan hambatan dari gerakan yang telah mereka lakukan. Bahkan pengalaman pahit saat pertama kali memperkenalkan literasi bergerak di Kota Ruteng pernah dirasakannya.

“Kami pernah ditangkap oleh Satpol PP di Taman Kota Ruteng,” kenangnya.

Setelah berbincang dengan Gheryl, saya bertemu dengan Romo Oriol Dampuk, imam diosesan Keuskupan Ruteng yang sekarang bertugas di Paroki Santo Gregorius, Borong. Ia hadir bersama dengan Evan Lahur, pegiat dunia digital dari Petani Software.

“Romo, tidak ada rencana untuk membentuk kelompok teater di Borong?” Tanya saya tanpa tahu malu.

“Sekarang masih fokus urus OMK.” Jawabnya singkat.

Semasa menjalankan Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Pius XII Kisol, ia membentuk Bengkel Kata Sanpio. Dikenal dengan sebutan BeKaS. BeKaS termasuk kelompok sastra yang cukup mentereng. Sayang nama BeKaS akhir-akhir ini lesap bak ditelan bumi. Padahal dulu selalu ada puisi-puisi dari anak-anak BeKaS yang dimuat di media daring.

Menit demi menit berlalu, satu demi satu teman-teman komunitas hadir. Rata-rata mereka memakai baju komunitasnya masing-masing. Perkenalan pun tak sukar. Dengan mudah mengenal nama komunitas berdasarkan baju yang dipakai.

“Kenapa anak-anak komunitas selalu memakai kaus oblong berwarna hitam?” Tanya Yergo, pegiat literasi dari Cangkir 16. 

“Harga kausnya murah, Kae,”jawab salah satu pegiat dari Rumah Baca Aksara.

Obrolan bernuansa informal berhenti. Tuan rumah mengarahkan seluruh teman-teman komunitas untuk duduk di atas tikar yang telah disiapkan. Konsep acara yang digagas menerapkan budaya lonto leok. Budaya lonto leok merupakan sebuah kearifan lokal orang Manggarai guna membicarakan suatu tema, lazimnya diadakan dalam kehidupan warga kampung.

Tua Golo Tabeite, Erik Jumpar, sedang menanggapi kepok tiba. (Foto: FB Hans Akrefoto)

“Seluruh teman-teman komunitas diminta untuk duduk di atas tikar yang telah disediakan,” ajak pembawa acara, Bapak Vinsen Nurdin.

Kami lalu bergegas untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Suguhan dengan nuansa Manggarai semakin menambah kesan akan keseriusan SMAN 3 Borong dalam mendukung gerakan positif bagi anak-anak muda.

Di awal acara, kami disambut dengan kepok tiba. Kepok tiba dimaknai sebagai penyambutan secara tulus dari pemilik rumah. Kepok tiba melambangkan hati yang suci, itikad baik dalam menerima kedatangan tamu.

Menariknya saat penyambutan secara adat, seluruh komunitas diminta untuk menanggapi kepok tiba dari tuan rumah. Permintaan tuan rumah menambah kesan tersendiri bagi masing-masing komunitas, ada rasa deg-degan di hati bagi delegatus dari masing-masing komunitas.

“Mati su kita ini,” komentar Evan Lahur.

Beruntung Kepok tiba berjalan dengan lancar. Perwakilan dari masing-masing komunitas menjawab dengan sempurna. Ruang temu yang awalnya membeku, perlahan-lahan mulai berjalan lebih santai.

Acara terus berlanjut. Tuan rumah menyuguhkan tari pembuka. Namanya tarian tiba meka. Konsepnya sama seperti kepok tiba, bermaksud untuk menyambut kedatangan tamu dengan hati yang riang.

Lenggak-lenggok gerakan dari para penari memanjakan mata penonton. Iringan lagu daerah dengan syair yang kuat di dalamnya menambah kesan magis dan berkelasnya acara yang sedang kami ikuti.

“Sekolah ini nantinya akan memetik hikmah dari gerakan positif yang sedang mereka bangun,” komentar salah satu anggota Rumah Baca Aksara.

Setelah tarian tiba meka,  Kepala Sekolah SMAN 3 Borong, Bapak Konstantinus Everson Rada memberikan sambutan singkat. Baginya, gerakan kreatif dari kaum muda semakin menambah wahana berpikir peserta didik di sekolahnya.

“Kami mengapresiasi sebesar-besarnya untuk seluruh komunitas yang hadir. Kalian luar biasa dan menginspirasi,” tandasnya.

Rentetan acara terus berlanjut. Pembawa acara mempersilakan satu demi satu perwakilan dari masing-masing komunitas agar memperkenalkan gerakan dari komunitasnya masing-masing.

“Kami dibentuk untuk mempertajam idealisme dan menambal kecerdasan. Dengan begitu selalu ada agenda rutin yang kami jalankan untuk berkumpul dan membicarakan suatu tema,” papar Yergo, perwakilan dari Cangkir 16.

Cangkir 16 termasuk komunitas anak muda yang memiliki progres yang cukup baik. Terbukti di dalam setiap gerakannya, ia selalu menghadirkan warna yang berbeda dalam mendukung perkembangan Kota Borong.

Di sela-sela acara berjalan, pelajar SMAN 3 Borong menyuguhkan aneka kue dengan berbagai citarasa. Sontak saja makanan ringan yang disuguhkan perlahan-lahan dilahap oleh teman-teman komunitas.

“Kue yang kami suguhkan bagian dari ujian praktik yang diadakan tadi siang, Kakak,” jelas salah satu siswa.

Tak hanya aneka kue dengan ragam rasa yang kami nikmati, tuan rumah juga menyuguhkan moke putih untuk dinikmati. Suguhan yang diberikan semakin memperkokoh ruang temu yang dipoles dalam warna persaudaraan yang sangat kental.

Belum habis moke putih di dalam cangkir. Tuan rumah kembali menyuguhkan kopi, ada dua varian yang diseduh dalam cangkir, satunya pahit dan satunya manis.

Aroma kopi semakin nikmat saat pemilik kedai KopiBee dipersilakan untuk membicarakan dengan detail atas pilihan hidupnya sebagai barista. 

“Dengan mendirikan kedai kopi, saya telah merdeka atas pilihan yang sudah dan sedang saya jalankan,” jelas Shelbee, pemilik Kedai KopiBee yang beralamat di Peot, Borong.

Dulu ia bekerja di perusahaan swasta. Gajinya lumayan besar. Namun ia merasa belum merdeka dengan jalan yang sedang ia pilih.

“Saya keluar dan memutuskan untuk berwirausaha. Kedai kopi jadi pilihan saya,” jelasnya lebih jauh.

Obrolan tentang kopi tak berhenti di pemilik Kedai KopiBee, tibalah giliran pemilik Warung Kopi Edelweiss yang diberikan kesempatan untuk membicarakan tentang kopi.

“Budaya minum kopi kita harus naik kelas. Tak cukup sebatas di titik yang sekarang,” jelas Andriy Tulle.

Demi menaikkan status kopi lokal, guru Bahasa Jerman itu mulai merintis usaha warung kopi. Sekarang dengan keterampilan yang dimilikinya, ia membuka usaha warung kopi di Kampung Pesi Desa Sita Kecamatan Rana Mese Kabupaten Manggarai Timur.

Acara terus berjalan. Pelajar SMAN 3 Borong diberikan kesempatan untuk membacakan isi Sumpah Pemuda. Suara mereka menggelegar, memecah kesunyian, membawa pesan yang termaktub dalam Sumpah Pemuda semakin tertanam di dalam sanubari.

Di pamungkas acara, giliran Rumah Baca Aksara yang diberikan kesempatan untuk memperkenalkan komunitasnya. Delegatus Rumah Baca Aksara dimandatkan pada Virgilius Gheryl.

Ia pun maju. Sebelum mulai memaparkan geliat literasi yang telah mereka jalankan, ia membacakan puisi.

“Izinkan saya untuk membawakan puisi,” ujarnya.

“Judulnya Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu. Karya Gus Mus,” lanjutnya.

Ia lalu membawakan puisi tersebut. Seketika hening. Tak ada yang bersuara. Hanya terdengar syair demi syair dari mulut Gheryl.

Aku masih sangat hafal nyanyian itu

Nyanyian kesayangan dan hafalan kita bersama

Sejak kita di sekolah rakyat

Kita berebut lebih dulu menyanyikannya…..

Gheryl terus melanjutkan puisinya. Kami diam terharu. Sampai tuntas  ia mendendangkannya penuh makna.

Ia lalu memperkenalkan gerakan dari komunitasnya. Rumah Baca Aksara kini termasuk komunitas dengan geliat yang cukup berpengaruh di Kota 1000 Gereja.

“Kita tak boleh berdiam di tempat. Ada kepuasaan lain di balik gerakan positif dari sebuah komunitas,” jelasnya.

“Umur panjang untuk hal-hal baik,”tutupnya. 

Pertemuan malam itu pun berakhir. SMAN 3 Borong telah membangun ruang positif untuk memompa energi positif yang dimiliki kaum muda. Tak ada salahnya kita memberikan apresiasi sebesar-besarnya untuk civitas akademika di sekolah ini.

Akhirnya, Tua Golo Tabeite pulang dengan segudang pengalaman penuh haru. Saking senangnya usai mengikuti lonto leok di SMAN 3 Borong, jaket lusuh kebanggaan saya tertinggal di tempat acara.

Saat saya menyadari kalau saja jaket saya ketinggalan, jarak ke rumah tinggal lima langkah. Beruntung ada Seksi Humas andalan SMAN 3 Borong, Bapak Yohan Calas, yang dapat dihubungi untuk diminta bantuannya.

Kae, jaket saya ketinggalan. Mohon bantuannya untuk diamankan,” jelas saya.

“Siap ee,” jawabnya singkat.

Seksi Humas ini memang paling jago su. Maju terus SMAN 3 Borong. Panjang umur hal-hal baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *