Dialog Lembah Colol dan Cerita Menarik Lainnya

Loading


Itok Aman

Sejak awal, saya tidak kaget ketika pertama kali disuguhkan nasi kaget oleh tuan rumah di Biting. Berbicara soal kreativitas, jangan ragukan orang Manggarai. Dan, di Colol ada olahan pangan lokal yang diberi nama nasi kaget. Dalam bahasa daerahnya, teko da’ul.

Diberi nama nasi kaget, itu mungkin dari pendatang (orang luar) yang berkunjung ke Biting-Colol, yang disuguhkan teko da’ul oleh tuan rumah. Bisa jadi juga, begitu mereka melihat talas yang direbus lalu ditumbuk setelah dicampuri gula merah itu bentuk menyerupai nasi.

“Wah, kok kayak nasi?” Atau “eh, ini nasi atau talas?” Atau juga “hah? Kok ada talas yang seperti nasi?” dan jenis ekspresi kaget lain usai melihat teko da’ul. Itulah mengapa, teko da’ul dengan nama terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia dengan nama nasi kaget.

Padahal kata teko sendiri berarti talas. Sedangkan da’ul, artinya menu yang dimasak secara halus oleh perempuan dan laki-laki. Ada kerja sama di sana.

Awalnya saya tidak kaget, tetapi lambung saya yang kaget. Terlalu banyak makan teko da’ul yang enak membikin perut saya bernyanyi tanpa iringan musik. Mungkin lambung kegirangan, ada menu kuliner lokal yang baru saya makan tapi rasanya tidak kalah enak.

Bukan berkunjung ke Colol Raya kalau Anda tidak disuguhkan kopi dan nasi kaget. Bukan berkunjung ke Manggarai kalau Anda tidak disambut dengan hangat oleh tuan rumah dan warga setempat.

Setelah Mas Cahya a.k.a Armandus Cahya Tukeng selaku panitia penyelenggara kegiatan DLC (Dialog Lembah Colol) dan Duta Tani Indonesia Mas Ronald Igu mengarahkan saya dan Eduardus Geovani Betas ke rumah penginapan milik Mas Andre Jasmin, kami bersiap-siap ke Mbaru Gendang Biting yang terletak di tengah kampung Biting. Mbaru Gendang adalah rumah adat di Manggarai untuk melakukan banyak ritual penting saat memulai acara termasuk penerimaan tamu secara adat istiadat setempat.

Di Mbaru Gendang Biting, kami diterima secara adat Manggarai. Ini adalah warisan budaya yang patut dilestarikan. Bukan di dalam rangkaian acara adat Manggarai kalau Anda tidak disuguhkan sopi. Saya suka sekali bagian ini. Bagian inung tuak, aku keta hoo gah.

Saat tetua adat setempat memulai kepok, saya menyimak dengan seksama. Satu per satu tamu diberikan kesempatan untuk menjawab kepok. Termasuk saya. Saya terhanyut bangga hadir dalam rangkaian acara sakral ini. Terasa sekali kemanggaraiannya. Saking terhanyutnya, sejam berselang baru saya sadar sudah ada tiga gelas di hadapan saya. Satu gelas kopi, dua lainnya gelas sopi.

Setelah itu, kami dihibur dengan Mbata (jenis atau genre lagu tradisional dalam budaya Manggarai yang dinyanyikan oleh banyak orang diiringi gong dan gendang), selain itu juga dihibur oleh Bpk. Yoseph Marto dengan iringan biolanya yang merdu dipadukan dalam lagu tradisional lain milik Manggarai. Dalam menyanyikan Mbata, saya angkat topi dengan masyarakat Biting. Tidak seperti di tempat lain di Manggarai, kadang saat menyanyikan Mbata, masih ada yang berbicara satu dengan yang lain, ada juga yang main HP, atau sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi di Biting, mereka semua khusyuk bernyanyi (bagi yang tahu lirik) dan yang lain fokus mendengarkan. Harmonisnya nampak terasa.

Dalam Dialog Lembah Colol yang diselenggarakan oleh FORMULA (Forum Orang Muda Colol Raya) kali ini mengangkat tema agrowisata tentang nasib wisata desa hari ini, esok, dan masa depan. Sebagai yang pernah menjadi pegiat wisata selama beberapa tahun di Bali, saya merasa bagian ini menyegarkan kembali ingatan dan sedikit pengetahuan saya tentang kepariwisataan. Anak muda Colol Raya juga ramah bukan main dengan para tamu pendatang. Keramahan mereka seperti citarasa kopi asli Colol dan nasi kaget yang begitu memanjakan.

Selebihnya, dari forum ini saya menjadi sadar, bahwa konsep perencanaan wisata, teori wisata, dan praktik dalam dunia kepariwisataan terkadang berbenturan satu dengan yang lainnya. Lalu, forum DLC menyatukan semuanya untuk merawat agrowisata dan ekowisata di Lembah Colol. Mulai dari merawat budaya setempat, merawat kuliner lokal, merawat lingkungan Colol Raya yang terkenal dengan beberapa air terjun yang indah di tebing-tebing sebelah selatan dan Barat Colol Raya, juga merawat kopi Colol yang telah mendunia.

Walaupun tidak mendapat kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman dan konsep wisata sepemahaman saya, tetapi para pembicara yang mendapat bagian pun jauh sangat mumpuni pemahamannya tentang dunia wisata. Selain penyegaran, bagian ini juga selebihnya sebagai penambah wawasan. Dan, memang dalam forum ini saya hadir sebagai pegiat media, bukan mantan pemandu wisata.

Pun kalau diberi kesempatan, saya hanya menambahkan beberapa poin penting dalam pengembangan desa wisata di Manggarai Timur. Mulai dari infrastruktur jalan yang mendukung, gencatan promosi di semua platform media digital, juga bergabung dalam aplikasi Kraeng Jek. Aplikasi Kraeng Jek menyediakan ruang untuk promosi wisata, juga menjual produk-produk kreatif daerah. Di Aplikasi Kraeng Jek juga ada marketplace sebagai wadah utama pemasaran bagi pegiat UMKM untuk memasarkan semua jenis produknya. Selebihnya pembicara dan peserta lain yang hadir sudah memberikan penegasan dalam beberapa poin penting lainnya.

Semoga, kerja kolaboratif yang sudah dibangun oleh FORMULA dan konsep-konsep yang telah disatukan dalam Dialog Lembah Colol, tak hanya hidup dalam diskusi tetapi juga mantap nyata dalam eksekusi.

Saya jamin sekali, ke depannya geliat wisata Manggarai Timur hidup jika apa yang dibicarakan Pemda Matim sebagai pemangku kebijakan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Matim yang menetapkan perencanaan anggaran, Peneliti Kebijakan Desa (Mas Yergo Gorman) dengan hasil penelitiannya yang faktual juga dibahas untuk menjadi bahan refleksi pengembangan desa wisata ke depannya, dan Pegiat Wisata (Elfrid Betas) dengan pengalamannya yang menarik dan inspiratif hingga membawanya sukses sampai saat ini juga saran-sarannya yang logis untuk pembangunan wisata Manggarai Timur ke depannya, tidak hanya menjadikan Matim sebagai tempat lari lewatnya para wisatawan dari Labuan Bajo ke Nagekeo, Ende, Maumere dan seterusnya ke sana tetapi menjadi salah satu destinasi wisata yang masuk dalam list para wisatawan.

Dialog ini diselenggarakan Lembah Colol, namun bermanfaat baik untuk mengangkat Colol naik ke puncak pariwisata di Indonesia bahkan di mata dunia. Dan, kehadiran Ibu Osi Gandut pun memberi dorongan kuat kepada para perempuan Colol untuk terlibat nyata dalam memajukan pariwisata Colol dengan potensi dan caranya masing-masing dalam kolaborasi-kolaborasi di ruang diskusi hingga turun langsung ke lapangan eksekusi.

Panjang umur gerakan.

Panjang umur perjuangan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *