Dilema Mencintai Manggarai Timur: Suka Rela atau Sukar Rela?

Manggarai Timur dari langit kekuasaan yang abu-abu. (foto; dari Google)
Krisan Roman|Kontributor
Manggarai Timur, tanah subur yang semoga saja sebentar lagi akan makmur, merupakan tanah kelahiran saya, anak baik-baik yang betul-betul suci maksimal-tak tercela. Lahir di Manggarai Timur mungkin saja menjadi cita-cita semua manusia di segala bangsa, di seluruh penjuru dunia yang biasa-biasa saja ini. Sapa sih yang tidak mau menghabiskan masa kecilnya dengan bahagia di atas tanah kaya yang siap menjelma menjadi apa saja, mulai dari lahan pertanian, lapangan futsal, arena pacuan kuda, bandar udara, sampai lokasi tambang batu gamping seperti Manggarai Timur? Tentu saja semua orang mau, dongs! Uhuk, uhuk. Hal tersebut pula yang membuat saya berulang kali jatuh cinta dengan tanah ini. Saya tidak pernah malu, bahkan justru bangga nan senang memperkenalkan diri sebagai anak asli Manggarai Timur. Seni to? Jelas seni le!
Manggarai Timur adalah nirwana bagi saya. Semua keistimewaannya tentu yu su tau, tidak perlu saya sebutkan satu persatu lagi. Meski demikian, hal konyol yang terjadi dan sering sekali saya jumpai adalah banyak generasi muda dari tanah ini yang menyangkal dirinya sebagai “Wela de Matim”. Ehh asi di, sebelum lanjut, saya mau beri disclaimer bahwasannya tulisan ini mungkin akan sedikit (atau mungkin sangat) berefek membangkitkan rasa malu, jengkel, emosi dan mo makan orang bagi yu-yu yang merasa melakukan apa yang akan saya sebutkan nanti, jadi kalau rasa diri masih pakai mental mainan; siapkan es teh manis atau Buavita jambu terlebih dahulu, Nara Reba! Oke, lanjut!
Beberapa kenalan yang saya tahu, yang merupakan anak Manggarai Timur, enggan menunjukkan warnanya sebagai anak Matim dengan alasan malu. Hahae, mbore ritak! Ya, malu karena menurut mereka kelas Manggarai Timur masih jauh di bawah jika dibandingkan dengan dua saudaranya. Mereka malu karena Manggarai Timur dianggap cenderung lebih “kampung” ketimbang daerah di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat. Kemudian ada lagi beberapa kawan di perantauan yang menyangkal Manggarai Timur dengan alasan logat atau dialek. “Kes, masalahnya kalau kita mengaku orang Matim, orang-orang disini hina kita punya logat. Kita pu logat aneh tu kah, Kes!” Yang lain lagi bilang kalau mengakui Manggarai Timur, mereka tidak akan dapat sosok kekasih yang diidamkan, jadi mau tidak mau harus pakai topeng sebagai anak luar Matim.
Saya sendiri tidak sepenuhnya menyangkal. Apa yang menjadi alasan mereka mungkin saja benar, Manggarai dan Manggarai Barat memang sedikit lebih maju dibanding Manggarai Timur. Tapi harusnya hal tersebut tidak bisa menjadi suatu pembenaran untuk tidak mengakui Matim sebagai ibu, kah boys! Mereka harusnya lebih malu lagi ketika dengan gagah dan percaya diri membenarkan hal tersebut sebagai alasan untuk menafikkan daerah asalnya.
Soal logat dan dialek, pola pikir itu harus diubah. Selama kita sendiri tidak bangga dengan logat dan dialek yang kita punya, maka pikiran orang luar terhadap logat dan dialek kita pun akan tetap demikian. Orang luar boleh-boleh saja meremehkan logat dan dialek kita, tapi kita tidak boleh, bahkan jangan sampai melakukan seperti itu. Manggarai Timur harusnya bangga karena memiliki Bahasa Manggarai dengan logat dan dialek yang bermacam-macam. Kita sebagai generasi penerus mestinya melihat hal tersebut sebagai suatu kekayaan, bukan malah menjadikan itu aib yang berujung malu dan merasa minder!
Perihal alasan ketiga, kekasih idaman, saya juga pernah merasakan ada di titik di mana saya buta oleh cinta—ehem, curhat, wkwkwk—tetapi saya akan sangat benar-benar merasa malu dan bodoh tanpa ampun kalau saya harus menyangkal “sang ibu” karena alasan itu. Manggarai Timur adalah ibu. Sebodoh apapun yu, jangan pernah menyangkal ibu sendiri!
Saya tahu, akan ada, bahkan akan banyak dari yu–yu inich yang akan merasa tersinggung. Kembali lagi, saya sependapat dengan seseorang yang beropini bahwa ketersinggungan itu adalah sesuatu yang diambil dan bukan diberikan. Jadi yu know, kalau ada yang merasa tersinggung setelah membaca artikel ini; syukur! Tapi percayalah, itu bukan salah saya. Yu yang mengambil ketersinggungan itu sendiri. Lagi pula, memang begini adanya. Generasi Muda Manggarai Timur memang ada yang sukar rela mencintai tanah Lawe Lujang ini, dan itu adalah hal yang sangat me-ma-lu-kan! Lagi pula, yu tidak akan tersinggung kalau yu tidak merasa pernah berbuat demikian, kan?
Nah, yang terakhir, jalan paling benar dan gentle adalah kalau ada yang dirasa kurang atau bahkan tidak bagus, mari kita sama-sama berupaya membangun, memperbaiki dan memajukannya, mari kita sama-sama bikin Manggarai Timur dan orang yang mengaku sebagai wela-nya merasa keren, mari kita sama-sama rubah mindset negatif orang-orang tentang Manggarai Timur, bukan malah cuci tangan lalu menyangkalnya. Tanah yang kaya ini adalah warisan. Warisan nenek moyang untuk anak anak-cucu kita yang kebetulan dititipkan pada kita. Rawat, cintai, majukan dan berbanggalah menjadi Wua agu Wela de Lawe Lujang!
Ehem, baidewei saya su macam calon-calon yang itu, belum? Hihihihihiiiiuw.