Dilema Perantau di Tengah Pandemi COVID-19

2

Loading


Itok Aman|Redaksi

Apa kabar pembaca Tabeite yang baik dan unch unch..? Semoga kita semua tetap sehat dan semangat di tengah pandemi yang tengah mewabah. Benar sekali, di mana-mana ada corona, setiap hati jadi merana. Ah, semoga kita tetap sehat dan kian bijak memaknai cinta sebagai jaga jarak.

Kali ini kita mau bahas soal dilema perantau di tengah mewabahnya COVID-19. Beberapa hari terakhir selama menjalani social distancing dan lock down, ada banyak pesan lewat gambar dan tulisan juga gambar gerak dalam bentuk video yang mengatakan anak rantau jangan pulang kampung dulu untuk sementara waktu. Kalau sayang keluarga, diam dan tenangkan diri di perantauan tanpa harus pulang kampung. Rindu, ya. Tapi pulang jangan. Berdoa saja untuk keluarga. Karena kalau pulang, boleh saja kita masih negatif corona dari kos atau tempat tinggal, tapi tidak ada yang tahu di jalan, di pelabuhan, bandara, stasiun, pangkalan ojek, kita bertemu dan berinteraksi dengan orang lain yang sudah positif corona, maka kita membawa virus dan kematian untuk keluarga dan orang lain di kampung halaman. Persis begitu pesan-pesan yang saya baca.

Sebagai satu di antara jutaan perantau di negeri ini, saya dilema bahkan tanpa sadar meneteskan airmata saat membaca pesan-pesan itu. Yang menyedihkan lagi, ketika orang-orang terkasih di luar sana mengolok-olok dengan penuh amarah pada pemerintah dan orang-orang yang pulang kampung. Mengapa bandara masih dibuka? Mengapa pelabuhan belum ditutup? Mengapa transportasi masih berjalan? Apakah virus itu dibiarkan saja berlalu-lalang di antara kerumunan orang-orang yang datang dan pergi? Banyak menghujat, tidak sedikit pula yang mengecam.

Ada hujan yang turun saat teriknya mentari, ada airmata yang jatuh saat senyum berseri. Begitulah keadaan hati sekarang, di tengah makna cinta yang tiba-tiba berubah dengan kejam menghantam perasaan, cinta adalah jaga jarak. Bukankah sudah sakit sejak semula bagi kita-kita yang pernah mencintai tapi tak saling memiliki? Kejam nian virus keparat ini.

Ladies and gentlemans yang bully saudara-saudara perantau yang pulang kampung, kita paham, paham sekali. Anda membully karena marah. Anda marah karena cemas bila saja virus sialan yang mematikan ini terus berkeliaran. Tetapi ada hal lain yang nyaris luput dari perhatian kita secara manusiawi.

Di kota-kota besar yang sudah dalam daftar zona merah dengan COVID-19 ini, banyak perantau yang hilang pekerjaan, sekolah dan kampus-kampus ditutup dan menjalankan kuliah secara online. Harga barang semakin naik, nilai rupiah turun drastis, dolar Amerika semakin tinggi, banyak karyawan yang putus hubungan pekerjaan. Ekonomi Indonesia sedang turun-turunnya. Dari mana mereka (perantau) mendapat makanan untuk bertahan hidup selama lock down diberlakukan? Kosan, kontrakan, listrik, air dan lain-lain tidak bisa dibayar. Hidup hanya mengandalkan sisa dari tabungan seadanya.

Tidak ada orang yang lewat berkeliaran di jalan, kota-kota besar ini seperti kota mati. Perantau tidak bisa mengamen dan/atau mengemis bantuan. Kalaupun ketemu orang, insan siapa yang mau berinteraksi langsung di tengah kecemasan terpapar pandemi COVID-19? Tidak ada. Perantau dilema bukan main. Hidup enggan, mati tak mau. Bertahan di tengah kelaparan? Pulang kampung tapi membawa virus walau hanya masih dalam duga-duga? Perantau dilema.

Oleh sebab itu, sebagian memilih pulang kampung. Mereka pulang bukan sekadar mudik tetapi sesungguhnya mengungsi dari virus dan kelaparan. Bukan hanya virus yang bisa mematikan, tetapi juga secara perlahan kelaparan yang membuat kita terkapar tak berdaya.

Budaya kekeluargaan yang dibangun selama ini tidak lagi berjalan normal, setiap orang memberi perhatian lewat lentik jari mengirim pesan untuk terus saling berkabar. Tidak ada lagi yang tumpang sementara di kosan teman, kontrakan kenalan dan rumah-rumah keluarga. Cinta adalah jaga jarak, lantas siapa yang mau mati jika kematian yang satu mengakibatkan kematian bagi manusia yang lain? Kejam bukan main virus ini.

Pembaca Tabeite yang baik hati, rajin beribadah secara online dan baik dalam hal yang lain-lain. Janganlah kita mengecam perantau yang pulang kampung, dengan berbagai hujatan membuat beban mereka bertambah selama 14 hari mengisolasi diri di rumah mereka masing-masing setelah pulang. Bahkan, pemerintah dan tim medis yang menjadi pahlawan hebat yang kita lihat terang-terangan hari ini berada di bandara, stasiun dan pelabuhan untuk memeriksa setiap orang yang datang dan pergi secara detail (walau dengan peralatan yang terbatas) dan kerja mereka yang maksimal.

Biarkan saja cinta adalah jaga jarak, namun hati tetap manusiawi untuk kehidupan satu dengan yang lain. Ada dua kematian besar yang sedang membayang-bayangi kita hari ini dan esok, yaitu COVID-19 dan kelaparan. Jadi, untuk kita semua, jika tidak ada kepentingan apa-apa, diam-diam saja di rumah menikmati kekeluargaan yang lebih mendalam dari hiruk pikuk kehidupan selama bertahun-tahun sebelumnya. Jika ada yang ingin pulang dan mengungsi di kampung halamannya, biarkan dia mengisolasi diri dengan tenang tanpa ada kecaman dan caci maki yang menyerang. Jika ada yang memiliki uang, makanan, atau barang-barang yang kita butuhkan untuk menangkal dan melawan dua penyebab kematian ini, baiklah kita saling berbagi satu dengan yang lain. Sesungguhnya cinta bukan hanya tentang jaga jarak tetapi tentang berbagi untuk menghidupkan satu dengan yang lainnya.

Jangan lupa cuci tangan.

Jangan lupa berbagi kabar dan kasih.

Jangan lupa subscribe kanal youtube saya: Itok Aman. Karena subscribe itu penting dan gratis. Sial, ujung-ujungnya iklan. Huffft…!!!

Jaga imun tetap kuat

Jaga iman dengan doa saling memeluk erat.

Semoga tetap sehat.

Wassalam…!!!

2 thoughts on “Dilema Perantau di Tengah Pandemi COVID-19

  1. terimakasih sangat good tulisan ini……mudah2an tulisan ini membuka hati pejabat pemerintah seluruhnya baik pusat,daerah termasuk dinas teknis kesehatan dan masyarakat bagaimana susahnya perantau termasuk saya bung….yang harus meninggalkan keluarga untuk menjalankan tugas sebagai abdi negara untuk melanjutkan pendidikan dikota yg jauh….ketika ada fakta ini sungguh risau hati ini, pulang tak boleh kampus pun lockdown..kami dipersamakan kaya ayam petelur suruh makan,tidur, istirahat dan bertelur bedanya telur kami tidak bisa dijual…..trims

  2. Untuk anak Timur di perantauan berada.Tetap teguh dan bersabar hati.
    Badai akan berlalu. Akan terbit terang untuk kita. Percaya akan ada hadiah yang lebi baik dari Tuhan setelah ini. Jangan takut sepeti hidup tanpa pengharapan.

    #GodBlessUs.

    Terus berkarya kk.
    Suarakan mulut-mulut yang diam dan membungkam dari Timur untuk Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *