Efek USG Pada Entap Lembu

Mengejar mimpi sejak dalam kandungan (Dokumentasi foto dari pinterest.com)

Loading


Itok Aman | Redaksi

Perkembangan teknologi sangat memengaruhi budaya dan tradisi lokal, termasuk budaya Manggarai. Salah satu buah dari perkembangan teknologi itu adalah lahirnya ultrasonografi atau yang biasa dikenal dengan sebutan USG. USG merupakan teknik menampilkan gambar atau citra dari kondisi bagian dalam tubuh.

Bagi budaya dan tradisi lokal Manggarai, dampak USG ini bak dua sisi mata uang logam. Di satu sisi, kehadiran USG memudahkan manusia melihat perkembangan bayi dan ibu hamil. Selain itu, USG juga memudahkan tenaga medis melihat dan mendeteksi kesehatan bayi dan ibu hamil, serta melihat jenis kelamin bayi dalam kandungan. Namun, di sisi lain USG juga akan menggeser budaya dan tradisi lokal Manggarai. Dalam hal ini, ketika teknologi ini mampu melihat jenis kelamin bayi, maka makna “ata pe’ang ko ata one?” saat kelahiran seorang bayi di Manggararai hanya dijalankan secara formalitas.

Apa itu “ata pe’ang ko ata one?”―orang luar atau orang dalam? Ketika seorang bayi lahir, laki-laki dewasa yang merupakan keluarga dari perempuan yang sedang mengandung ditugaskan untuk menjaga sekeliling rumah tempat bayi itu dilahirkan. Hal ini dimaksudkan agar ibu dan si bayi terhindar dari gangguan roh-roh jahat ataupun gangguan-gangguan lainnya.

Ketika suara menangis sang bayi terdengar untuk pertama kalinya, para lelaki dewasa yang bertugas menjaga di sekeliling rumah tersebut memukul dinding rumah sambil berteriak; “ata pe’ang ko ata one?”―orang luar atau orang dalam. Ritus memukul dinding ini disebut entap lembu.

Dalam budaya Manggarai, ata pe’ang (orang luar) merupakan sebutan untuk perempuan. Dalam hal ini, ketika seorang anak perempuan telah menjadi dewasa dan menikah, dia akan mengikuti suaminya ke rumah tahanan. Anjay, ke rumah suami, maksud saya.

Sementara itu, ata one (orang dalam) merupakan sebutan untuk laki-laki, di mana ketika seorang anak laki-laki telah menjadi dewasa, maka dialah yang akan menempati rumah orangtuanya. Dia akan membawa istrinya masuk ke rumahnya dan tinggal bersama orangtuanya. Orang dalam yang dimaksud di sini tentu saja tidak sama dengan sistem negosiasi gelap para pejabat publik yang terjebak politik balas jasa.

Kita kembali lagi ke upacara entap lembu tadi. Jika para lelaki dewasa di luar rumah persalinan mendengar suara bayi yang baru lahir, maka mereka akan bertanya; ata pe’ang ko ata one? ―orang luar atau orang dalam? Jika dukun bersalin atau ibu-ibu yang di dalam kamar persalinan menjawab “ata pe’ang?”, maka bayi tersebut berjenis kelamin perempuan. Sementara itu, jika mereka menjawab “ata one”, maka bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki.

Ritus entap lembu ini menarik karena ada sebuah momen kejutan bagi keluarga yang menyambut kedatangan bayi tersebut. Namun, berbeda halnya jika mereka sudah mengetahui jenis kelamin bayi tersebut, kejutan ini kehilangan euforianya.

Nilai inilah yang hilang ketika teknologi bernama USG hadir membantu proses persalinan ibu-ibu di Manggarai. USG yang tentu saja sudah mengetahui jenis kelamin sang bayi sebelum bayi tersebut lahir bukan saja menjadikan ritus entap lembu sebagai formalitas semata, tetapi juga menghilangkan momen kejutan bagi keluarga yang menantikan kehadiran sang bayi.

Selain itu, mesin atau alat USG juga sering keliru melihat jenis kelamin sang bayi. Seperti sebuah contoh kasus kecil; dalam deteksi USG seorang bayi terlihat berjenis kelamin perempuan. Namun, ketika sang bayi lahir tenyata dia berjenis kelamin laki-laki. Hanya gara-gara dia menjepit “adek sepupunya” ke bawah pangkal paha sehingga membentuk seperti kelamin perempuan, teknologi modern bernama USG bisa keliru.

Kasus seperti ini akan berpengaruh besar terhadap bayi yang nantinya akan lahir. Sebagaimana menjadi kebiasaan umum, sebelum sang bayi lahir anggota keluarga sudah menyiapkan segala macam perlengkapan bagi sang bayi. Jika yang akan lahir adalah bayi perempuan, maka pernak-perniknya juga bercorak keperempuanan. Sebaliknya, jika yang akan lahir adalah bayi laki-laki, pernak-pernik yang disiapkan juga berwarna kelaki-lakian.

Apabila dalam kasusnya, bayi yang dalam kandungan diprediksi berjenis kelamin perempuan ternyata berjenis kelamin laki-laki, pernak-pernik bayi yang telah disiapkan, yang bercorak keperempuanan akan berpengaruh pada mental sang bayi. Soal warna ini tidak terlalu menjadi masalah. Namun, psikis sang bayi pun akan dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang di sekitarnya jika mereka bersugesti bahwa warna bercorak perempuan membuat bayi terlihat feminis. Bagaimana jika dia tiba-tiba jadi laki-laki yang kemayu? Misalnya. Orang-orang akan beranggapan bahwa ini karena ia dikenakan pakaian bercorak feminim.

Akan tetapi, kadang juga saya berpikir, baik juga ada USG. Entap lembu itu biasanya dilakukan di rumah persalinan. Bukan tidak mungkin bahwa kalau seandainya tidak ada USG, orang-orang akan melaksanakan upacara entap lembu ini di puskemas dan rumah sakit. Saya tidak bisa membayangkan, ketika bayi lahir, orang-orang yang menjaga ibu hamil itu atau mereka yang berada di luar ruangan persalinan akan memukul-mukul tembok ruangan persalinan hanya untuk memastikan “ata pe’ang ko ata one?”―orang luar atau orang dalam?” Sungguh kasihan pasien-pasien yang lain, bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *