Ende Marta Sang Penerawang di Pasar Watunggong

0

Sumber: Kompasiana

Loading



Sanor Antony|Kontributor

Jumat, hari pasar, saya ada di pasar Watunggong. Saya datang tidak untuk berbelanja. Saya hanya mau mengantar dua keponakan yang hendak masuk sekolah pada 19 Juli tahun ini (kalau pandemi covid-19 meredah).
Datang ke pasar saat kemarau tiba memang berisiko: padat dan berdebu.

Saya tidak sempat masuk ke tempat utama pasar. Sambil menunggu dua keponakan pulang belanja, saya menunggu di Kantin Bakso Smart, milik Papa Iku, kebetulan masih sepupu.


Belum beberapa batang Surya 12 saya sedot, seorang ibu dengan tas kumal di tangan, duduk di kursi tepat di depan tempat saya duduk. Saya kenal ibu itu. Dia adalah pakar grafis dalam membaca alur-alur pada ampas kopi di gelas-gelas yang kopinya telah tandas diminum.

Tepatnya, ia adalah pakar toto kopi di tempat kami. Orang-orang memanggilnya Ende Marta. Setelah ditelisik, ada orang yang meragukan keaslian namanya.


Ada banyak versi tentang latar belakang Ende Marta. Ada yang bilang kalau ia ditinggal mati suaminya pada masa awal kegembiraan perkawinan mereka. Bahtera mereka kandas lantaran sang suami lebih dahulu menjemput ajal. Cintanya dibawa pergi suaminya tercinta. Tak tersisah.

Buah hati pun tidak ada. Ende Marta sebatang kara. Lantas ia menghilang dan tak seorang pun tahu rimbanya, selama beberapa tahun sebelum tampak tua dan kerut seperti hari ini. Menurut mereka kemampuan gaibnya membaca garis-garis liar pada ampas kopi diperolehnya pada masa kehilangannya itu.


Ada juga yang bercerita kalau ia berguru pada seorang dukun yang memiliki keahlian seperti yang Ende Marta miliki saat ini. Selama kurang lebih satu dekade ia berguru pada sang dukun hingga semua mantra dan kepandaian sang dukun dikuasainya total. Setelah itu ia tampil memukau banyak orang.

Pada tampilan perdananya orang-orang langsung menobatkannya sebagai filsuf masa depan. Akhir tahun lalu, padanya pula disematkan penghargaan sebagai icon pasar kecamatan.


Beragam versi cerita tentang seluk beluk Ende Marta tidak meluruhkan niat setiap insan yang penasaran dengan nasib mereka.

Benar saja. Belum beberapa saat ia duduk, beberapa orang langsung datang membawakan beberapa gelas kopi dengan aneka motif ampas yang untuk saya yang awam dalam urusan demikian tak bermakna apa-apa.

“Bagaimana Ende Marta, apakah anak saya lulus PNS? Dia tinggal mau ikut SKB saja” tanya seorang ibu yang anaknya baru-baru ini mengikuti tes ASN.

Sambil tersenyum Ende Marta mengangguk pelan.


“Ia telah belajar dengan serius. Telah lulus proses sebelumnya. Dia harus belajar lebih giat, karena teman saingnya juga sedang mempersiapkan diri secara mantap. Lihat saja nanti.”


Sang ibu mundur pelan-pelan dengan menyisahkan kerut di dahinya.


Gelas pertama tuntas diterawang. Beberapa gelas masih harus antri. Diambilnya gelas kedua.


“Ini siapa punya?”


Seorang ibu lekas menunjukkan jari.


“Itu saya punya. Saya punya,…. bagaimana Ende Marta?”


Sambil berkomat-kamit mengucapkan mantra, Ende Marta mengatakan kalau suami sang ibu lekas pulang.


“Betulkah?” tanya ibu itu riang.


“Saya juga tidak tahu. Hanya pandemi sekarang yang menghalangi kepulangannya” jawab Ende Marta.

“Selepas Corona, dia pasti balek”.


Belum selesai gelas kedua diterawang, tiba-tiba sebuah lengan kekar memberikan gelasnya pada Ende Marta.


“Bagaimana anak saya Ende Marta? Dia ada di daerah zona merah. Saya mau pastikan, apa dia baik-baik saja. Selama ini ia tak pernah sedikitpun mengirim kabar”.


“Kalau dia nanti kirim kabar dan baik, itu berarti dia baik-baik saja.” Ende Marta menjawab ringkas setelah sekilas diperhatikannya bibir gelas pemberian pria yang berlengan kekar itu.


Pertanyaan-pertannyaan kian bertubi. Ende Marta menjawab sebisanya. Termasuk pertanyaan seorang kakek yang mungkin tersugesti dengan keakuratan ramalan Ende Marta sebelumnya. Sang kakek penasaran dengan cucu pertamanya dikabarkan sudah berbadan dua.


“Kalau bukan laki-laki, dia pasti perempuan,” kata Ende Marta. Sang Kakek mengangguk lalu pergi.


Setelah tak ada lagi gelas kopi yang antri, saya tanya pada Ende Marta tentang prospek pasar kecamatan di Watunggong. Dia hanya bilang akan maju sekali ke depannya.

Ia pun menyampaikan satu hal yang bagi saya tepatnya seperti anjuran soal antrian kendaraan dan manusia di jalur mau masuk pasar.

“Bila ditata dengan serius, itu akan baik sekali” katanya sebelum pamit.

Ia pun menghilang di antara padatnya orang yang mengunjungi pasar Watunggong siang hari itu. Selepas Ende Marta pergi seorang pemuda dengan gelas kopi yang ampasnya telah kering mengerutkan wajahnya.

“Sial, padahal saya sudah datang jauh-jauh untuk pastikan ini hari shio ayam atau tikus”.


Bila dua ponakan saya tidak cepat pulang dari tempat belanja, pasti saya tidak pendam saja jawaban yang saya sudah siapkan untuk memastikan keinginan pemuda itu. Saya sebenarnya mau bilang, ini hari kalau bukan s(h)io Mama, pasti e(h)io nona atau s(h)io sayang….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *