Enu, Cinta kita Kandas Jalur Iman
Ila Karmila|Kontributor
Saking sepinya enu Lila bolak balik beranda, enu lagi mencari informasi soal berita- berita hangat di TV, yang menjadi buah bibir orang-orang. S
Soalnya enu sedikit bingung dengan istilah Covid, maklum enu asalnya dari beo yang tidak ada televisi. Jangankan televisi, listrik saja tidak ada; apalagi handphone lemok, untuk dapat jaringan saja enu harus naik pohon kopi, agar tidak kentara bilang saja enu sambil petik kopi saja.
Untung saja sekarang enu kuliah di ibu kota propinsi, jadi enu sedikit sok dengan teknologi, walaupun awalnya enu sempat mengalami Culture sock. Tetapi seiring berjalanya waktu enu mulai menyesuaikan diri, entah kenapa saat enu bolak balik beranda tiba-tiba pesan masuk via facebook. Karena tidak sabar, enu langsung beralih dari google crom menuju facebook, saking lincahnya enu dengan teknologi. Saat enu membuka pesan muka enu sedikit berubah, yang tadinya muka bingung-bingung seperti mama-mama kepanikan nasi hangus, menjadi senyum- senyum manis manja ala bapa-bapa yang dapat mama janda. Ternyata ada pesan dari orang tak di kenal yang minta kenal, ehhh dengan tidak basa-basi enu langsung otw perkenalan dengan sedkit malu –malu diodoli kecintaan enu pada sastra. Enu mulai memperkenalkan diri dengan gaya puitis. Dari nama sampai umur, dari keturunan sampai kejomloan enu cerita, tiba-tiba kaka nyong balas “nona manis eee biar pesek tapi manisnya enu menutupi rambut keriting dan hidung yang sedikit rata seperti jalan dari osmok menuju stim,” enu mulai percaya diri dengan pujian dari kaka Nyong yang sempat enu panggil sayang, tapi tak lama.
Enu tidak sabar mau tahu asal kaka Nyong, tetapi sebelum enu bertanya, kaka Nyong sudah perkenalkan diri. Ternyata kaka Nyong asal dari kota Kenari di sebelahnya lagi, kaka Nyong dari Pantar yang di pulau Alor, sehingga harus pake perahu sambil menikmati laut luas menghirup udara segar, apalagi di sandaran sang pujangga. Kaka Nyong ternyata tinggal se-kota dengan enu, sehingga membuat enu berkali-berkali berterima kasih ke pada nenek Yesus. Karena, baru kali ini enu jatuh hati dengan lelaki tampan yang tinggal satu daerah. Apalagi di dukung dengan kaka Nyong punya kulit hitam manis, kalau senyum kaka Nyong pung manis melebihi manis gula pada ampas kopi; dengan rambut hitam yang sedikit keriting dan alis mata tebal, sehingga buat enu tidak sampe 8 menit memandang air mukanya, enu langsung jatuh hati, untung enu tidak jatuh mati.
Perkenal via facebook berakhir. Enu mulai alasan dengan jarang buka facebook agar ada kesempatan minta nomowa WA. Tanpa basa-basi dan tidak harus berpikir panjang pakai logika, kaka Nyong kirim nomor WA, +622XXX. Tidak pakai detik, enu langsung simpan kontak. Tidak pakai filter atau simbol, enu tulis nama dengan sapaan terkeren, Bigbos.
Tanpa lama-lama berkenalan di sosial media, kaka Nyong minta ketemu. kaka Nyong pakai alasan, karena bertatap empat mata lebih memikat dan tak ada fiktif belaka, sehingga enu tidak bisa menolak. Keesokan harinya, kaka Nyong tancap gas, bukan ke tempen tinggal enu, melainkan ke tempat enu menuntut ilmu. Itulah hal kedua yang buat enu semakin sayang dan jatuh hati berkali-kali dan berkepanjangan, sepanjang jarak laut luas Mengger-Alor.
Hari pertama enu gombal kaka Nyong dengan puisinya. Ternyata kaka Nyong kandas menahan godaan. Kak Nyong meleleh berkali-kali. Terpancar dari senyum kaka Nyong yang semakin manis dengan kulit hitam, enu berpikir seperti segelas kopi yang enu sugukan, walaupun hitam tapi nikmatnya senikmat lagu cinta beda agama ciptaan Viki Salamor. Maklum enu dan kaka Nyong beda keyakinan, tapi dari awal perkenalan enu bilang hantam saja semua sama karena enu punya prinsip “Tuhan itu satu.” Bahkan enu berpesan untuk tidak mengatas namakan agama dalam percintaan, karena kita tidak sedang memorak-porandakan dunia dengan membentuk kubu-kubu.
Dari perkenalan enu dan kaka Nyong sepakat untuk menjalin hubungan pacaran, ehhh walaupun enu tau ini musim anak milenial gaya hipnotis dengan janji –janji manis, tapi enu yakin saja, kaka Nyong tidak seperti itu. Waktu berjalan, jarum jam, menit dan detik, enu dan kaka Nyong sering berjemur ala jalan –jalan, yang tentunya bukan pakaian, di siang bolong. Walaupun mengundang keringat, enu tikam saja keringatnya karena jalan berdua. Malam juga begitu enu dan kaka Nyong sering membunuh malam. Membuat kedinginan menjadi hangat dengan pelukan–pelukan manja saat harus menyusuri lorong-lorong di kota kupang yang macetnya tiada henti, sehingga membuat enu dan kaka Nyong harus berlama-lama di perjalanan sampai harus lama-lama merasakan hangatnya pelukan manja. Yang lebih sadis, enu dan kaka Nyong sering kehujanan dan harus duduk berteduh sambil bisik–bisik merencanakan masa depan, walaupun hanya sekedar sandiwara.
Hari berlalu, enu berpikir kaka Nyong menjadi yang terakhir dalam hidupnya, seperti kutipan novel Boy Candara “ pernah ku kira kaulah cinta di setiap degub dada.”
Ternyata apa yang enu pikirkan meleset jauh dari realitas. Seiring berjalanya waktu kaka Nyong berubah pikiran, sampai suatu titik kaka Nyong tidak balas chat, walau di chat berulang kali, sampai enu kerjanya seperti tukang layang-layang tarik ulur beranda. Ternyata kaka Nyong punya alasan, dan itu di utarakan kaka nyong saat Covid-19 lagi gentarnya mengancam daerah tempat mereka berada. Mungkin juga ini langkah antisipasi jaga jarak dan stay at home, supaya enu jangan minta kaka Nyong ke tempat tinggalnya. Dalam pesan kaka Nyong menyampaikan “kita sampai di sini enu, kita beda agama, saya tidak mau kita terlalu dalam, lalu berpisah dengan alasan karena saya mencintai enu tanpa syarat. Jadi tidak mau mempermainkan perasaan.”
Seketika wajah enu berubah memerah tanpa air mata. Enu hanya berusaha membendung tangis, menepis kegundahan hati, membunuh rasa dan mengajak untuk melangkah pergi seluruh isi hatinya.
Hari itu juga enu berjanji untuk tidak mengenal cinta lagi. Enu hanya berpikir untuk berpacaran dengan semua buku-buku yang dia punya dan bercinta dengan pena, sebab bagi enu itu hal terindah yang melahirkan seribu karya dari rahimnya.
Tidak panjang lebar tidak basa-basi, tidak pakai control, apalagi pikir panjang, enu langsung membalas “Kaka kita punya cinta tidak hanya kandas di jalur iman, tapi kaka punya keputusan lebih pahit dari kopi Manggarai dan lebih mematikan dari Covid -19.” Berakhir.