Festival Budaya Congkar Milik Anak-anak

Foto : Erik Jumpar

Loading


Liputan Perjalanan |Penulis : Erik Jumpar| Redaksi|

Terik mentari pada (18/10/19) tampil begitu garang. Tampak masyarakat di desa Rana Mese, kecamatan Sambi Rampas, kabupaten Manggarai Timur tumpah ruah ke lapangan SDK Wongko. Jalanan utama penuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat yang berjalan beriringan menuju lapangan SDK Wongko. Sebagiannya lagi ada yang berjalan kaki menuju tempat diadakannya Festival Budaya Congkar.

Di hari itu nuansa di desa Rana Mese tak seperti biasanya. Riuh. Pasalnya, Festival Budaya Congkar yang diadakan sejak (16/10/19) akan berakhir. Pejabat pemerintahan yang ada di Lehong diundang. Beberapa hari sebelummya, mereka mengkonfirmasi dengan panitia terkait kesediannya untuk hadir. Panitia juga tampak sibuk, mereka berjalan ke sana ke mari demi melancarkan jalannya acara.

Saat jarum jam menunjuk pkl 09.50, langit Congkar masih menampilkan ekspresi yang sama. Suhu panas menyengat. Antusiasme anak-anak sekolah dan masyarakat yang telah lama menunggu rombongan dari kabupaten belum juga pudar. Mereka berdiri mengerumuni tempat diadakannya acara. Sebagian masyarakat memadati tepi lapangan di sisi barat dan sisi timur.

Rombongan yang ditunggu-tunggu dari Lehong pun tiba. Tampak Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Basilius Teto, Kepala Dinas Pariwisata, Kanisius Judin dan Sekretaris Camat Sambi Rampas, Ismail Jehada beserta rombongan turun dari mobil yang mereka tumpangi. Mereka disambut oleh panitia sembari diarahkan menuju tempat diadakannya kepok tiba (penyambutan secara adat). Anak-anak sekolah yang memakai pakaian adat Congkar berdiri sesuai formasi yang telah diatur oleh panitia untuk menyampaikan kepok tiba, sementara anak-anak yang lain membentuk pagar betis guna menyambut pejabat pemerintah yang baru saja tiba.

Kelompok pelajar dari SMA Negeri 3 Sambi Rampas didaulat sebagai regu penerima tamu, pun jalankan peran. Mereka berdiri dalam bentuk barisan sembari memakai pakaian adat Congkar yang khas. Salah satu dari mereka menandaskan kepok tiba dengan fasih. Ia melantunkan kepok tiba dengan baik sekali. Suaranya menggelegar, memecah kesunyian. Ia berpenampilan dengan cemerlang.

Usai kepok tiba,  rombongan disambut oleh drum band dari SDN Lengko Pari. Mereka kemudian mengarahkan rombongan dari kabupaten menuju tenda yang terletak di tengah lapangan. Pelajar yang lain masih membentuk formasi berupa pagar betis dengan pakaian adat Congkar yang menempel di badan mereka.

Penyambutan rombongan Dinas P&K, Pariwisata dan DPRD Manggarai Timur

Peralatan drum band yang digunakan SDN Lengko Pari menarik mata para pengunjung festival, termasuk saya. Berbekal peralatan yang sederhana berupa ember dan jeriken bekas yang dipukul dengan dua batang kayu laiknya seperti drum, juga dua batang bambu yang telah dibelah dan  diikat yang dirancang seperti belira. Belira sederhana ini dipukul menggunakan dua batang kayu yang telah didesain serapi mungkin. Perpaduan bunyi peralatan yang sederhana ini menghasilkan bebunyian yang indah, tentu persiapannya tak mudah. Guru-guru luar biasa di baliknya, pelajar bermental baja kuncinya.

Tiba di dalam kemah, rombongan dari kabupaten serius menyaksikan anak-anak sekolah dasar yang sedang unjuk gigi dalam tari Caci. Sesekali mereka melantunkan pujian dengan menggeleng-geleng kepala, tanda mereka mengapresiasi semangat anak-anak Congkar dalam melestarikan budaya daerah. Suguhan tari caci dari pelajar tanah Congkar berhasil membius para penonton. Tepukan menggema di sela-sela mereka memukul lawan dengan gagah perkasa.

Tak membutuhkan waktu yang lama setelah mereka tiba di dalam kemah, Kadis P dan K dengan Sekretaris Camat Sambi Rampas diminta oleh panitia untuk memberikan capu kalus (pukulan perdana dalam tari Caci). Dua pelajar dari SD di Gugus 7 Sambi Rampas didaulat untuk menangkis pukulan mereka. Konsentrasi massa pun fokus dalam pukulan dari dua tokoh itu. Tukang foto dengan kameranya masing-masing mengambil posisi terbaik demi mendapatkan gambar yang bagus.

Sembari mengambil posisi yang tepat, Teto berancang-ancang mengayunkan pukulan namun saat bersamaan juga ia mencoba untuk mengalihkan konsentrasi dari penangkis. Ia mencoba untuk kelong (bergoyang ke sana kemari ala penari caci)  sebelum pukulannya mendarat di tubuh penari caci bertubuh mungil itu. Setelah memiliki kesempatan untuk mengayunkan pukulan, Teto pun mendaratkan pukulannya. Dengan cekatan, penangkis berhasil menghalau pukulan yang diayunkan Teto. Tepuk tangan menggema saat Teto berhasil memukul penari caci tersebut.

Usai prosesi penyambutan dijalankan, Master of Ceremony  mengajak undangan menuju kemah utama. Di kemah utama yang ukurannya lebih besar, panggung untuk mementaskan tarian-tarian disiapkan. Dengan peralatan yang cukup lengkap, panitia menyiapkan segala sesuatu demi memuluskan jalannya acara. Boleh dibilang, festival budaya yang dilakukan oleh orang-orang Congkar itu digarap dengan serius.

Tamu dipersilahkan memasuki kemah

Dominasi Anak-anak yang Kuat

Popind Davianus, tuagolo/PIMRED Tabeite yang menjadi Master of Ceremony  dalam Festival Budaya Congkar beberapa kali menandaskan bahwa acara yang dijalankan amatlah ramah anak. Pasalnya, seluruh pengisi acara merupakan anak-anak usia pelajar dari tingkat dasar sampai menengah atas.

“Acara ini termasuk acara ramah anak. Anak-anak diberi ruang untuk menampilkan yang terbaik,” tuturnya.

Berawal dari tarian Tiba Meka (menerima tamu),  anak-anak SD Wangkar menampilkan tariannya dengan baik. Lenggak-lenggok tubuh mereka di atas panggung membius mata para penonton. Indahnya gerakan yang mereka pertontonkan mengundang decak kagum undangan yang hadir. Apresiasi lewat tepuk tangan terdengar saat penari-penari cilik ini meninggalkan panggung.

Mentari kian mengernyitkan dahi, selain undangan yang memadati kemah, para penonton yang rata-rata masyarakat desa Rana Mese dan desa-desa sekitar juga memadati sisi barat dan sisi utara lapangan SD Wongkok. Suhu yang panas tak menjadi halangan, masyarakat yang sejak tadi memadati tepi lapangan ada yang menggunakan payung untuk melindungi diri dari rasa panas, sedangkan lainnya membiarkan kulitnya terbakar begitu saja. Ada yang berjilbab, ada yang tak berjilbab, mereka duduk berdekatan tanpa saling mencurigai. Ada saatnya mereka tersenyum sumringah, barangkali mereka terbuai dalam decak kagum pada anak-anak Congkar yang unjuk gigi dalam festival budaya kali ini.

Dalam sambutannya, Kadis P dan K, Basilius Teto mengatakan bahwa sebagai makhluk yang berbudaya sudah seharusnya kita melestarikan budaya lokal. Kompetisi global harus diimbangi dengan kekuatan budaya lokal demi menyaring budaya luar yang masuk.

“Tugas kita melestarikan budaya daerah. Jangan sampai budaya Congkar digerus oleh zaman. Kuncinya ada di tangan anak-anak yang sekarang. Orangtua wajib hukumnya untuk mendorong anak-anak agar mampu melestarikan budaya daerah,” anjurnya.

Ia juga mengajak seluruh elemen pendidikan untuk menggarap dengan serius pelajaran Muatan Lokal (MULOK). Sebab, menurutnya, Mulok sebagai ujung tombak dalam melestarikan budaya daerah di sekolah. Tugas Guru harus mendukung tumbuh dan kembang budaya daerah di sekolah masing-masing.

Usai sambutan Teto, acara dilanjutkan dengan tarian Danding dari SMP Negeri 5 Sambi Rampas. Anak-anak pelajar menengah pertama ini bergerombol dengan jumlah peserta 15 orang. Tiba di panggung, anak yang cako (memimpin nyanyian-nyanyian berbahasa daerah) melantunkan syair dengan merdu. Setelah ia cako, anak-anak yang lain wale (menanggapi) sembari congka (bergoyang)  dan membentuk formasi lingkaran. Danding biasanya dibawakan saat ada acara penti (pesta syukuran panen), sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas segala hasil panen yang didapati. Lantunan syair-syair yang sarat makna didendangkan, pesan-pesan tentang hidup bersolidaritas ada di dalamnya.

Tak mau ketinggalan, anak-anak SDN Lengko Pari menampilkan Tarian Tepi Woja (menapis padi). Keriuhan kembali terjadi saat mereka berjalan menuju panggung. Tatapan penonton kembali ke atas panggung. Dengan berpakaian adat yang lengkap, juga  membawa bakul dan nyiru sebagai media tarian, mereka menampilkan gerak tubuh seolah-olah sedang memanen padi di kebun dan menapis padi yang telah dipanen. Indah nian. Penonton terbius.

Di penghujung acara, anak-anak SD menampilkan tarian kolaboratif. Ada yang menampilkan gerak tari Caci, rangkuk alu, tari Sanda, dan gerak tari dengan adegan sedang menumbuk padi. Diiringi dengan lagu yang diciptakan oleh Bapak Rofinus Musdin, mereka memberikan suguhan pamungkas yang luar biasa. Perpaduan gerak yang elok mengundang mata penonton terbuai. Anak-anak menampilkan tarian kolaboratif yang luar biasa. Jepretan demi jepretan dari tukang foto dihasilkan. Penampilan anak-anak yang luar biasa memicu tukang foto untuk mengambil gambar berulang-ulang kali.

Festival Budaya Congkar pun berakhir, kru Tabeite memberikan bintang lima. Pasalnya, anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah atas mendominasi acara sejak awal sampai akhir. Boleh dibilang Festival Budaya Congkar sangat ramah anak. Ruang  gerak anak-anak dalam menampilkan budaya Congkar diberi tempat dengan leluasa. Desa-desa lain di Manggarai Timur patut menjiplak pola yang diterapkan dalam Festival Budaya Congkar. Bahwa, anak-anak Manggarai Timur harus diberi ruang untuk berkreasi.

Sekedar informasi, pelaksanaan Festival Budaya Congkar  diadakan selama tiga hari. Festival Budaya Congkar  menampilkan tari Caci, Perlombaan Danding, Nggejang dan Mbata, Tarian Lengko Rawa, Tarian Rangkuk Alu, Kepok Tiba, Kepok Poe dan Tarian Tepi Woja. Panjang umur Festival Budaya Congkar. Tepuk salut untuk semua panitia. Hormat diberi.

Festival Budaya Congkar Milik Anak-anak

2 thoughts on “Festival Budaya Congkar Milik Anak-anak

Tinggalkan Balasan ke duttztvlpq Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *