Filosofi Retributif dalam Peribahasa “Weri Latung Gok Latung, Weri Woja Ako Woja”

Kita yang tanam, dia yang petik (foto; dari Google)

Loading


R. Maryono Paing|Kontributor

            Setiap budaya masyarakat pastinya ada ajaran atau nilai yang mengajarkan orang hidup baik, damai dan sukses. Ajaran atau nilai tersebut terdapat dalam berbagai macam cara yang ditampilkan dengan tidak menghilangkan unsur utamanya, misalnya: peribahasa, puisi, lagu, cerita rakyat dan lain sebagainya. Dalam menghidupkan ajaran-ajaran tersebut, setiap budaya mencoba membahasakannya dengan dua cara, yakni: tulisan dan lisan. Tentunya kedua cara ini dibuat agar bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya (turun-temurun). Pada dasarnya, ajaran tersebut bersifat mengajar dan mendidik orang untuk menjadi pribadi yang baik dan sukses.

            Dalam tulisan singkat ini, penulis mengambil salah satu peribahasa dalam budaya Manggarai-Flores, yakni: “Weri latung nggok latung, weri woja ako woja”. Pribahasa ini diterjemahkan: “Tanam jagung, panennya jagung, tanam padi panennya padi”. Peribahasa ini mau mengajarkan dan menegaskan suatu nilai kehidupan yang amat dalam serta kebaikan bagi setiap masyarakat, secara khusus generasi muda yang sedang dalam masa pertumbuhan dan pendidikan. Jika ditilik dalam konteks dan maksud dari peribahasa ini, sebenarnya mau memberi ruang bagi generasi muda untuk berpikir dan selanjutnya memilih, memilah serta memutuskan cara hidupnya. Namun peribahasa ini secara implisit mau mengajak semua orang untuk menghidupi sesuatu yang baik.

“Weri latung nggok latung, weri woja ako woja”. Arti peribahasa ini dalam konteks mendidik anak-anak adalah “apa yang kita perbuat di masa sekarang akan membentuk dan menghasilkan siapa kita di masa depan”. Jika kita berperilaku buruk hal tersebut pula akan menjadi bagian dalam hidup kita di masa depan. Kita tidak sukses, menjadi seorang kriminal, pencuri dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika kita bertindak baik dan tekun di masa sekarang, maka kita akan menuaikan sesuatu yang baik, harmonis, sukses dan lain sebagainya di masa depan. Peribahasa ini seringkali dipakai orang tua dan guru dalam mendidik anak-anak.

            Peribahasa ini juga mau menyatakan dan mengajarkan kepada setiap manusia agar memberikan perhatian khusus dalam hidup kita di masa sekarang. Sebab, segala sesuatu yang kita kerjakan atau tanamkan di masa sekarang akan menghasilkan sesuatu di masa depan yang sesuai. Singkatnya, mau menggambarkan tindakan kita di masa sekarang akan berdampak pada hidup selanjutnya. Inilah hukum retributif.

Filosofi Retributif

Penulis mengamini bahwa peribahasa di atas seperti sebuah filosofi retributif kehidupan manusia. Hal ini diafirmasi melalui fenomena eksistensial manusia bahwa banyak orang sukses yang ada, karena mereka sungguh memahami dan mengaktualisasikan peribahasa di atas dalam hidupnya, entah mereka pernah mendengar maupun tidak. Apalagi jika poin di atas dijadikan sebagai motivasi dan landasan untuk menggapai apa yang menjadi impian mereka, misalnya: dalam pendidikan, bisnis, pertanian, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang malas dan menyia-nyiakan waktunya di masa sekarang akan memperoleh sesuatu yang hampa atau bahkan ia akan menghasilkan keresahan di tengah hidup bersama dalam masyarakat. Tentunya masa depan semacam ini tidak diharapkan oleh orang tua, guru dan pendidik bagi anak-anaknya. Mereka mempunyai suatu harapan yang cerah, sukses dan bahagia.

Sesuatu yang mustahil bila kita menemukan orang yang malas, lamban dan kriminal berhasil dalam hidupnya. Mengapa? Karena semua yang dilakukannya adalah merusak dan menolak hikmat atau kebijaksanaan yang dapat membuat dirinya sukses, bahagia dan harmonis dalam kehidupan pribadi dan bersama. Namun, jika ia dapat merubah sikapnya dalam waktu dan ruang yang singkat serta menerima hikmat yang ada, maka ia akan sampai pada titik kebahagiaan yang menjadi tujuan dari hikmat tersebut.

Kita sering mengalami dan menjumpai seorang pemalas biasanya menunda-nunda pekerjaan dan itu menyebabkan tugasnya kian menumpuk. Mereka berprinsip bahwa besok masih ada waktu, sekarang santai dulu saja. Orang yang lamban dan pemalas selalu menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Langkah untuk meretas kemalasan adalah keharusan hidup disiplin dan tekun. Faktor-faktor yang ada sangat penting dalam penentu keberhasilan. Oleh karena itu, peribahasa di atas mau memberi gambaran dan mendidik bagaimana cara kita harus hidup untuk meraih berkat, sukses dan kebahagiaan. Sebab, apa yang kita tanamkan di masa sekarang akan kita panen di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *