Firan Tani, Novelis Sekaligus Karyawati PNM Dengan Segala Mimpi-mimpinya

Firan Tani tengah berfoto dengan kedua novel karangannya. (foto; dok. pribadi)

Loading


Erik Jumpar II Redaksi

Di beberapa dekade yang telah lewat harus diakui bila akses terhadap bahan bacaan yang minim jadi masalah besar bagi pembaca fiksi di daratan Pulau Flores. Beruntung semakin ke sini akses terhadap bahan bacaan mulai  terbuka lebar. Hari ini hampir tiap kota di Pulau Flores telah memiliki toko buku, walau masih bertabrakan dengan harga jual yang masih selangit.

Perjumpaan dengan buku yang minim turut dirasakan oleh Aprila Firan Tani, gadis kelahiran Ruteng, 9 April 2002. Firan, demikian sapaannya amat menyukai membaca. Namun ia mengalami kendala dengan bahan bacaan yang kurang, apalagi harga buku-buku fiksi yang disukainya melambung.

Saat pulang dari sekolah ketika mengenyam pendidikan di bangku SMP dan SMA, ia menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan daerah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai. Dari sana awal mulanya ia mulai berkenalan dengan buku-buku fiksi.

“Pengalaman membaca yang tidak terlupakan saat diberi peringatan oleh pegawai perpustakaan daerah untuk segera pulang ke rumah, karena jam kunjungan akan selesai,” jelas pemilik nama pena Firan Tani ini. 

Semasa SMA bacaan yang paling diingatnya ialah novel Perahu Kertas karangan Dee Lestari. Baginya novel tersebut amat dekat dengan kehidupannya. Di novel tersebut dijabarkan bila tokoh utama laki-laki mau jadi penulis, tetapi tidak didukung oleh kedua orangtuanya. 

“Tokoh utama itu dekat sekali dengan cerita saya. Bedanya saya bukan tidak didukung, hanya masalah finansial saja, tetapi sama- sama berjuang untuk menjadi penulis,” lanjutnya. 

Membaca buku-buku fiksi saat duduk di bangku SMA perlahan beralih saat perkembangan di bidang digital terbuka lebar. Ia mulai beralih sumber bacaannya dengan membaca buku-buku digital yang tersebar di berbagai aplikasi bacaan tidak berbayar. 

“Aplikasi membaca seperti Wattpad, KBM App, iPusnas dan NovelToon sangat membantu akses bagi saya terhadap bacaan fiksi,” lanjutnya.  

Setelah berkenalan dengan berbagai aplikasi membaca, ia tidak pernah membeli novel. Penyuka bacaan fiksi ini berpikiran bahwa bacaan fiksi amat penting dalam ziarah kepenulisannya, mungkin orang berpikir fiksi sekadar rekaan penulis, tetapi baginya fiksi itu sebaliknya. 

“Fiksi itu sebenarnya fakta, makanya saya amat menikmati setiap bacaan fiksi,” lanjut penyuka semua novel dari Patrick Kellan ini. 

Perjalanannya dalam dunia kepenulisan ternyata mulai diasah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat SD mereka disuruh oleh Guru Bahasa Indonesia untuk membuat majalah dinding. Ia menyadari bahwa tulisannya yang ditempel di majalah dinding paling panjang. 

“Waktu itu saya buat cerpen, karena dapat pujian dari Guru Bahasa Indonesia, saya jadi keseringan menulis,” lanjut alumni SDK Ruteng I ini. 

Dari berbagai perkenalannya dengan bacaan fiksi, ia mulai berpikir untuk menulis novel. Awalnya menulis untuk dibaca sendiri. Belakangan setelah melihat reaksi pembaca dari tulisannya di media sosial yang rata-rata positif, ia mulai berpikiran untuk serius menulis. 

Di media sosial ia pernah menulis cerita bersambung berjudul Caramel Gosong. Sayangnya cerita bersambung ini sepi pembaca, jadi tak sempat diselesaikan ceritanya. Ia kemudian menulis cerita bersambung dengan judul; Natasya. 

“Natasya kemudian dicetak jadi novel pertama,” lanjutnya. 

Novel Natasya mengangkat tema fiksi remaja tentang percintaan. Baginya novel tersebut tidak ada pesan-pesan penting yang tersirat di dalamnya. Ia menganggap novel Natasya sebagai loncatan pertama untuk dijadikan pembelajaran baginya dalam berkarya di dunia fiksi.

“Novel Natasya terbit tahun 2020 dan dicetak oleh Listing Semesta Publisher dengan jumlah cetakan sebanyak 20 eksemplar,” lanjutnya. 

Waktu itu sebagian cerita dari novel pertamanya diposting di media sosial. Ia kemudian berhenti melanjutkan cerita di media sosial dan meminta pembacanya untuk membaca lanjutannya di dalam novel. Namun hasil penjualan dari novel pertama cukup mengecewakan.

“Saya kehilangan sebagian besar pembaca karena tidak melanjutkan cerita di media sosial, tetapi pembaca setia masih membeli bukunya,” lanjutnya.  

Dari buku pertama ia mendapatkan royalti dari penerbit yang tidak seberapa. Meski tidak mendapatkan keuntungan dari novel pertama, ia tetap menyelesaikan apa yang telah dimulainya. 

“Saya suka menulis, sayang kalau saya tidak rutin untuk menulis,” lanjutnya. 

Pada akhirnya setiap karya akan terus berproses dan bergerak ke arah yang lebih dewasa. Ia turut merasakan perbedaan yang mencolok dari novel pertama dan kedua. Mungkin ini ada hubungannya dengan proses pematangan dirinya dalam berkarya. 

“Novel kedua berjudul Setelah Pergi,” lanjutnya. 

Novel Setelah Pergi mengandung banyak pesan yang tersirat. Karya pertama ia anggap asal tulis, sementara novel kedua digarap dengan proses riset yang berkepanjangan. Novel ini menceritakan tentang pertikaian orangtua dan anak. Ia kemudian berusaha keras untuk mengakhiri konflik dari kedua sisi, bukan karena ia seorang anak, bukan juga bermaksud menghakimi orangtua.

“Meski novel kedua ini masih fiksi remaja, saya sangat merekomendasikan untuk dibaca oleh orangtua,” ajaknya. 

Ia belajar banyak tentang psikologi saat menulis novel kedua ini. Ia turut memperkuat karyanya dengan melakukan riset. Risetnya sebagian besar lewat media sosial. Ia bergabung di grup broken home di Facebook, riset dari pembaca dan google. Namun ada juga riset di dunia nyata, ada beberapa teman yang bersedia menceritakan konflik dengan kedua orangtuanya. 

Novel  Setelah Pergi menurutnya amat relevan dengan hubungan antara orangtua dan anak dalam kehidupan orang Manggarai. Apalagi di Manggarai amat tabu bagi anak untuk menjawab saat orangtua sedang berbicara. 

“Komunikasi yang condong hanya searah ini dijadikan konflik utama dalam novel ini,” lanjutnya. 

Royalti dari penerbit saat mencetak novel kedua amat besar. Hasil penjualannya sudah 300 eksmplar. Dari novel kedua ia dapat membeli handphone, laptop dan motor. Hasilnya lumayan untuk mendukung dapur keluarganya tetap mengepul.

Novel  Setelah Pergi  ibarat ajang pembuktian di mata kedua orangtuanya. Sekarang sang bunda amat mendukungnya menulis. Bahkan mereka mendampinginya saat ia tengah menulis di depan laptop.

“Dulu Mama marah karena pegang handphone terus, sekarang malah Mama mendukungnya,” lanjutnya. 

Ibunya kaget ternyata dari menulis dapat menghasilkan rupiah. Sang ibu tak tahu bila buah hatinya jauh lebih kaget dapat menghasilkan rupiah dari hobinya tersebut. 

“Saya dapat dukungan penuh saat saya berhasil membuktikan bila menulis dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah,” lanjutnya. 

Firan Tani tengah bercerita tentang proses kreatifnya di depan utusan dari Kantor Pusat PT. PNM di Kota Denpasar. (foto; dok. pribadi)

Pada 25 Maret kali lalu, ia diundang ke Kota Denpasar saat ada kunjungan kerja dari Kantor Pusat PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Kehadirannya ke sana untuk bercerita tentang prosesnya menulis di samping bekerja sebagai Account Officer di PNM Unit Komodo I, Labuan Bajo. 

“Meski saya pulang malam dari lapangan untuk melayani nasabah PNM, saya tetap menulis,” lanjutnya.

Rupanya kerja kreatif tersebut tersiar sampai ke telinga pimpinannya. Ia pun didaulat sebagai karyawati inspirasi. Tempatnya bekerja pun turut membeli novel keduanya dalam jumlah yang besar. 

“Saya bagai mendapatkan durian runtuh,” lanjutnya. 

Tahun ini ia mendapatkan dua tantangan kerja dari PNM. Pertama, menerbitkan  buku tentang PNM dan kedua, membuat komunitas literasi bagi anak-anak nasabah dari PNM. Dua rencana kerja ini tengah ia garap sembari membangun jejaring dengan pihak luar untuk mendukung langkah kakinya. 

“Keduanya terlampau berat, tetapi sedang saya coba,” lanjutnya. 

Di tengah kesibukannya sebagai karyawati PNM, puteri kedua dari Bapak Yohanes Tani dan Ibu Filomena Nimat ini memiliki impian lain untuk menjadi pustakawati dan harapan agar mampu mendirikan percetakan buku milik sendiri di tahun yang akan datang. Biasanya semesta akan selalu mendukung setiap mimpi-mimpi yang serius, selama mau bergerak menuju esok yang lebih baik, pasti akan terwujud suatu hari nanti. Sukses selalu Firan Tani, satu-satunya redaktur perempuan di media yang tengah Anda baca ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *