Frans Damur, Petinju Manggarai Timur yang Jarang Diekspos Media

Tulisan ini tentunya tidak mengupas McGregor, petinju bermulut besar itu. Bukan juga Cris Jhon petinju legenda Indonesia yang namanya sudah ada di hampir setiap media besar Indonesia bahkan dunia. Saya hendak mengajak saudara-saudari umat beriman untuk berkenalan dengan Frans Damur, petinju asal Wuas, Poco Ranaka Timur, Manggarai Timur.
Frans Damur, eh kurang sopan. Kae Frans Damur adalah seorang petinju kelas terbang yang sudah bertanding 70 kali di berbagai kejuaraan, baik nasional maupun internasional. Kejuaraan tersebut antara lain; KTI, ATI, KTPI dan FTI untuk level kejuaraan nasional. Sedangkan untuk level kejuaraan internasional, Kae Frans pernah mengikuti WPBF Asia Pasific. Hebatnya, kae Frans ini mantan juara baik di level nasional maupun internasional tersebut. Cie yang pernah jadi mantan, kikuk kikuk kikuk.
Kae Frans lahir di kampung Wuas, Manggarai Timur, 4 Agustus 1983. Minat tinju belio berawal dari Mbaumuku. Pada tahun 1999, kae Frans tidak sengaja bergabung bersama kakeknya, Yosep Soe di sebuah ruang tamu untuk menyaksikan pertarungan sengit antara Ellyas Pical melawan Cesar Planco di salah satu stasiun tivi masa itu. Refleks, tangan kae Frans meninju kaki kakenya, Yosep Soe yang sedang asyik memberikan dukungan kepada Elias Pikal dari atas sebuah kursi plastik.
“Nanti kau jadi petinju saja nana,” ujar kakek Yosep Soe kepada Kae Frans, sambil mengelus kakinya yang kesakitan.
Meninju kaki kakek Yosep yang sedang duduk asyik ini, awal dari cita-cita kae Frans menjadi petinju profesional, ditambah dukungan dari keluarganya saat itu.
Pada tahun 1999 Kae Frans terbang ke Banyuwangi, Jawa Timur diajak seorang pebisnis. Tidak lama di Banyuwangi, pada tahun 2001 kae Frans pindah ke Probolinggo dan di sana ia mulai berlatih tinju bersama Anis Roga, pelatih tinju di sasana Akas BC Probolinggo, Jawa Timur. Dari sasana inilah Kae Frans resmi menjadi seorang petinju profesional.
Setelah konflik manajemen di sasana Akas BC Probolinggo memanas akhirnya sasana tersebut pun bubar. Kae Frans dan beberapa temanya pontang-panting ke berbagai kota, mulai dari Jakarta, Blitar hingga akhirnya menetap di Surabaya.
Di Surabaya inilah jam terbang Kae Frans sebagai petinju melonjak drastis, di bawah naungan manajemen UBS BC Surabaya, Jawa Timur. Dalam satu bulan Kae Frans kadang bertanding dua kali di berbagai kejuaraan baik dalam negeri maupun luar negeri.
“Saya sudah sampai ke Jepang, Filipina, Thailand, Laos, Malaysia dan Singapura ase. Saya sering menang juga kalau bertanding di sana,” tutur Kae Frans sambil kami menyeruput kopi di sebuah warung di pinggir kota Surabaya.
“Kae ada harapan untuk olahraga tinju di NTT?”
“Tentunya saya berharap NTT selalu punya bibit baru di dunia pertinjuan dan syukur bibit petinju selalu ada setiap tahunnya. Sayangnya ase, pengelolaan orang kita di sana tidak maksimal. Maka jangan heran, banyak petinju hebat kita yang lari ke pulau Jawa sini. Di sini enak, pembinaan bibit itu ada sponsornya bahkan pemerintah juga turut ambil bagian.”
“Memang kae pernah minta sumbangan dari pemerintah daerah kita, secara kae kan turut mengharumkan nama daerah kita?”
“Selama saya menjadi petinju, pemerintah daerah belum sedikit pun memberi sumbangsih. Saya sering berkomunikasi dengan Bupati Manggarai Timur, mereka kadang menyuruh buat proposal, sampai sekarang belum ada kejelasan. Mau tidak mau, kalau bertanding saya kadang pakai uang sendiri,” tutur Kae Frans penuh emosi. Sedangkan saya menggeledek belio, “tahan emosi kae, tahan, tahan.” wkwkkwkw.
Dalam bulan ini kae Frans akan bertanding di kelas 50,8 kg kejuaraan nasional pada tanggal 12 Oktober di Kodam Brawijaya, Surabaya.
Semoga menang kae, muahhh. Kami siap hadir, pun kalau tidak sempat, kami hadir dalam doa.
Penulis: Popind Davianus|Tuagolo|