Go’et: Amsal-nya Ata Manggarai

Loading


Mario F. Cole Putra|Kontributor

Orang Israel memiliki buku yang namanya Amsal. Kalau mau dibilang, Amsal adalah sastra kebijaksanaan-nya orang Israel. Isi Kitab Amsal sendiri sebenarnya berurat-akar dari kehidupan manusia Israel. Segala tingkah laku manusia Israel memiliki nilai tersendiri yang terkandung di dalamnya. Seperti misal, dalam wejangan hikmat, seseorang dimotivasi untuk menunjang atau mengejar kecerdasan (Ams 8:5a). Di dalamnya, terdapat maksud penyair yang mau mengatakan kepada anak-anak kurang pandai agar mereka mesti belajar lebih giat lagi. Lewat Amsal, orangtua ingin mendidik anak-anaknya.

Namun, bukan hanya orang Israel yang punya sastra kebijaksanaan. Ata Manggarai juga punya. Namanya Go’et. Go’et merupakan khasanah budaya Manggarai yang berisi syair-syair dan sajak-sajak mendidik yang bertujuan mengarahkan anak-anak Manggarai pada hidup baik. Go’et sendiri tidak hanya dinyanyikan, diungkapkan, didaraskan oleh seorang tu’a golo (tua adat) dalam mbaru gendang (rumah adat) ketika suatu upacara adat berlangsung, tetapi juga dapat dinikmati dan didengarkan dalam kehidupan harian.

Go’et bisa didengarkan di natas labar ketika anak-anak sedang bermain, di uma duat (kebun) ketika sedang bekerja – sungguh mengasyikkan bila mendengar para orang tua bekerja sambil menyanyikan wejangan-wejangan seputar peribahasa Manggarai, bisa pula didengarkan di wae teku (di tempat menimba air) ketika beberapa orang menunggu giliran menimba air.

Go’et dapat didendangkan kapan saja, entah siang hari maupun malam hari. Akan tetapi, para orang tua sering mengucapkan go’et pada malam hari. Kesan pada malam hari biasanya lebih mendalam dan semua anggota keluarga sedang berkumpul bersama, sehingga semua anggota dapat mendengar Go’et yang dilantunkan oleh kepala keluarga. Biasanya dalam melantunkan Go’et, para orang tua duduk di kursi (atau bisa juga duduk pada posisi strategis yang dapat dilihat banyak orang atau istilah orang Manggarai, padir wa’i rentu sa’i (duduk melingkar) dan anak-anak duduk bersila di tikar (lonto one loce).

Ende, Ema, Ase, Ka’e pembaca yang baik hati.

Dalam tulisan ini, saya akan menuliskan (hanya) tiga Go’et. Karena hanya tiga saja yang saya dapat dari orangtua dan orang-orang sekitar saya. Lagian, seperti spirit tabeite.com, “Kami menulis apa yang bisa kami tulis”. Memang hanya itu yang saya peroleh dan tulis. Mari kita lihat satu per satu Go’et-go’et dari Ata Manggarai dan padanannya dalam Kitab Amsal.

1. Kudut Langkas Haeng Ntala, Uwa Haeng Wulang dan Amsal 10:5

Arti dari Go’et ini adalah supaya hidup tumbuh dan terbang setinggi bintang, menikmati hidup sampai di bulan. Go’et ini paling bagus diberikan kepada anak-anak yang hendak merantau ke tempat mereka bersekolah dan menuntut ilmu supaya mereka belajar dengan rajin dan tekun, tidak bermalas-malasan lalu membuat malu keluarganya. Di tempat rantau, dia harus meraih cita-citanya, sebab orangtua hanya memberi dorongan agar anak berhasil dalam perjalanan hidupnya.

Mayoritas Ata Manggarai memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anak, sehingga sekarang banyak sekali anak-anak Manggarai yang bersekolah di mana-mana (ada guyonan yang terkenal untuk orang Manggarai bahwa di sekolah manapun pasti ada orang Manggarai). Maksud dari itu semua agar anak-anak jangan bernasib sama seperti orangtua mereka yang hanya menjadi petani biasa yang notabene tidak sekolah atau hanya sebatas SMA bahkan hanya sampai SD. Belum lagi hitung yang putus cinta. Eh, putus sekolah yang tidak sampai mendapatkan ijazah. Pendidikan anak harus menjadi lebih dari orangtuanya. Usaha menyekolahkan anak sendiri merupakan antisipasi orangtua agar terhindar dari panggilan tetangga dengan sebutan mendi (budak atau pesuruh). 

Situasi sosial Ata Manggarai memang terkesan ‘kejam’. Tetangga biasa menyindir suatu keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anak menjadi ‘orang’. Sindiran juga biasa menyasar kepada anak yang tidak menyelesaikan sekolahnya. Untuk itu, pantaslah para orangtua biasanya serius dalam mengucapkan Go’et ini pada anak-anak mereka.

Dalam Kitab Amsal, Go’et ini dapat ditemukan dalam Amsal 10:5 yang berbunyi “Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu.” Poin yang dapat terlihat dari Amsal ini adalah orang yang rajin dalam memanfaatkan waktu pasti tidak akan melewatkan waktu untuk berusaha sekuat tenaga dalam memperoleh yang ia inginkan. Bahkan satu detikpun akan ia hargai sebagai kesempatan dalam meraih impiannya. Satu detik bagaikan butiran emas yang dicari para penambang emas sekitar aliran sungai pabrik emas agar ia memperoleh pengetahuan yang lebih banyak. Semua itu demi hidup yang lebih baik. Sebaliknya, orang yang bermalas-malasan, yang hidupnya hanya dihabiskan untuk tidur-tiduran saja, pasti nasibnya akan buruk. Dia tidak akan memperoleh kesuksesan, karena waktu produktif ia sia-siakan. Seperti pada Go’et di atas, seorang anak, sebelum pergi merantau, diminta untuk belajar yang rajin dan tekun agar bisa meraih impian yang ia lemparkan ke langit biru.

2. Duat gula-we’e mane agu dempul wuku-téla toni dan Amsal 6:4

Arti dari Go’et ini adalah berangkat kerja pagi lalu pulang sore hari dan bekerja sampai kuku tumpul dan punggungpun terluka/pecah-pecah karena tersengat sinar matahari. Makna yang terkandung dalam Go’et ini mengajarkan generasi penerus soal kerja keras. Mata pencaharian orang Manggarai adalah menjadi petani. Tentu petani yang malas tidak akan mendapatkan panenan yang berlimpah. Dahulu, barangkali sampai sekarang, masih lazim ditemukan apabila ada anak-anak yang malas bekerja, entah malas bekerja maupun malas belajar, orangtua akan menghukum anak-anak mereka dengan cara menaruh kedua tangan anak-anak di sarang semut sampai ada aba-aba selesai dari orangtua mereka. Memang hukumnya ini, bagi kebanyakan orang yang non-Manggarai, akan melihatnya sebagai hukuman yang kejam. Tetapi ini adalah suatu bentuk didikan orangtua pada anak-anak mereka agar jangan menjadi anak pemalas, yang suatu saat hanya akan mempermalukan nama orangtua mereka. Bagi masyarakat Manggarai, anak memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik keluarga. Dia harus bisa membanggakan orangtuanya.

Dalam Kitab Amsal, Go’et ini memiliki padanannya dengan Amsal 6:4 yang berbunyi “janganlah membiarkan matamu tidur, dan kelopak matamu mengantuk.” Amsal ini menyarankan agar generasi penerus tidak menghabiskan waktu dengan hanya bermalas-malasan. Generasi penerus tidak boleh kehilangan momen dalam memanfaatkan waktunya dalam belajar dan bekerja. Dalam arti lain, generasi penerus tidak boleh hidup dan berkembang menjadi orang pemalas dan jangan mengembangbiakkan rasa malas dalam diri.

3. Ite Ca Cewak Neka Pande Behas, Ite Ca Lide Neka Pande Bike dan Amsal 3:29

Arti dari Go’et ini adalah kita yang satu ibu atau satu ayah harus bersatu dan jangan sampai terpecah belah. Go’et ini biasanya didendangkan pada saat upacara pendamaian pihak-pihak yang bertikai. Kebanyakan masalah yang terjadi sekitar lingkaran masyarakat Manggarai adalah masalah tanah. Maka, pertikaian harus segera diselesaikan dan dicari solusinya. Sehingga di sini, pentinglah istilah ini, padir wa’i rentu sa’i, yang mencerminkan kebersamaan orang Manggarai dalam sebuah Mbaru Gendang (Rumah Adat), sehingga memungkinkan orang saling berhadapan dengan posisi duduk lesehan.

Maksud dari istilah ini adalah sikap keterbukaan dalam Mbaru Gendang, khususnya dari mereka yang bertikai, agar mau melihat secara mendalam masalah yang dihadapi. Tujuan utama dari Padir Wa’i Rentu Sa’i adalah untuk mencapai perdamaian bagi kedua belah pihak. Go’et Ite Ca Cewak Neka Pande Behas, Ite Ca Lide Neka Pande Bike” mengambil peranan penting dalam mendamaikan pihak yang bertikai. Orang-orang yang bertikai diingatkan bahwa mereka adalah saudara, yang lahir untuk menaruh cinta kasih antar sesamanya. Saudara berarti ada darah yang mengikat antara satu dengan yang lainnya. Namun, darah yang dimaksudkan bukan dalam arti hubungan darah antara kakak-adik kandung, melainkan berasal dari nenek moyang yang sama, yang membangun tana nuca lale Manggarai. Maka, pertikaian tidak boleh terjadi. Tetapi bila hal itu terjadi, masalah harus diselesaikan, dan pihak yang bertikai harus berdamai, dan tidak boleh menyimpan dendam dalam hati.

Dalam Kitab Amsal, Go’et ini sangat dekat dengan Amsal 3:29 yang berbunyi Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau. Unsur komunitarian dalam Amsal ini memang mendapat tekanan yang besar. Dalam hidup bersama memang tidak dihalalkan adanya tindak kekerasan. Semua orang harus hidup dalam atmosfer damai. Inilah yang harus ada dan mengikat semua orang. Seperti kata pemazmur, “Sungguh, alangkah baik dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.

Ende, ema, ase, kae pembaca yang baik hati.

Go’etgo’et dalam sastra Manggarai memiliki padanannya dengan sastra kebijaksanaan orang Israel, khususnya dalam Kitab Amsal. Go’et sendiri mengajarkan yang terbaik bagi anak-anak Manggarai. Ini menyiratkan makna bahwa para orangtua dulu memang mampu membuat ajaran-ajaran tentang kehidupan. Seperti kitab Amsal yang diturunkan dari generasi ke generasi, begitupun Go’et yang masih eksis hingga sekarang ini, dan masih dapat kita dengarkan hingga saat ini.

Go’et dan Amsal adalah dua khazanah yang dapat dipakai sebagai bahan untuk mengajarkan tentang kehidupan yang baik dalam menjalani hidup. Bagi saya sendiri, Go’etgo’et ini menginspirasi saya dalam menggali khazanah budaya sendiri, karena juga mengandung ajaran yang tidak kalah menariknya. Akhirnya, penting bagi semua orang untuk terus menjaga ajaran leluhurnya, karena di dalamnya juga terdapat nilai-nilai hikmat tentang hidup.

2 thoughts on “Go’et: Amsal-nya Ata Manggarai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *