“Gombalan Descartes” a la Reba Manggarai

2

Loading


Nando Sengkang|Kontributor

Ibu kota saat ini dilanda pelbagai musim: ada musim hujan, musim banjir, musim goyang dangdut kala kondangan, musim youtuber alay-alay, musim macet yang abadi dan musim yang lagi tren, Tik-Tok.

Kita menuju ke Timur Indonesia, di kota Seribu Gereja, Ruteng. Musimnya juga unik-unik: ada musim Weri Latung, musim Caci khas budaya Manggarai, serta musim yang semakin populer: musim pacaran liar yang semakin liar, hingga musim beranak-pinak mahakarya Molas Manggarai.

Walaupun Ruteng hanyalah gadis desa dari Ibu Pertiwi, namun Ruteng mempunyai kisah cinta yang menarik. Berikut alunannya:

Saban sore….

Saat hawa dingin mulai menyelimuti kota, menari-nari di Menara Katedral, meleok-leok di atas Kapela Adoremuste, dan menghilang bersama gelembung asap Kopi Pait. Terlihat dua sosok dalam satu jiwa: remaja micin, generasi digital, otak besi karat, hobi maen Tik-Tok, sedang duduk manis di kafe LG Corner samping katedral.

Mereka berdua, sebut saja Reba dan Molas Manggarai, saling bersentuhan tangan, beradu pandang, dan mulai bermesra-mesraan. Romantis!

Sedangkan di pojok LG Corner, jam dinding ikut mengintip, jarumnya mulai berputar cemburu, dan ditengah ada tulisan: Made In Anam and Expor from Cibal. Jam dinding rupanya malu-malu mengintip kemesraan dua makhluk manusia, malu-malu tapi mau, mau-mau tapi malu, hingga terkena “serangan jantung” Des! Jamnya berhenti berputar. Oh, usut punya usut, ternyata jamnya ternyata sudah rusak sejak 2 tahun yang lalu. Pemilik kafe tak mampu membeli yang baru karena masih dicekik belis yang selangit dari molas Manggarai. Inilah wajah gadis desa, Ruteng: pacaran liar dan belis yang selangit.

Seperti tak peduli dengan nasib jam dinding yang rusak itu, kedua sosok micin itu tetap asik dengan kemesraan remaja. Kemesraan semakin terasa sampai Ruteng menampilkan senyumnya bersama rembulan dan ribuan bintang-bintang; pertanda malam tiba.

Ketika nuansa romantis bertemu malam suntuk, laki-laki yang dijuluki Reba Manggarai menunjukan keahliannya yang pernah meraih penghargaan “Manggarai Award kategori “Nyanyian Kata-Kata”, gombal. Tangganya mulai menjalar-ubi jalar- mengambil setangkai bunga Mawar yang dicuri dari taman Setia Bakti. Orkestra kegugupan hati-jantung-empedu-usus buntu mengiringi aksinya. “Dup! Dup! Dup!” Lalu melepaskan peluru gombalnya: “Enu? Corgito Ergo Sum one nai dite’ aku berpikir maka aku ada di hatimu.”

Gadis Manggarai terdiam, bukan terharu, tetapi bingung. Senyumnya berubah mirip Kopi Pait Manggarai; jam dinding di sudut LG Corner tersenyum-rusak. “Maksudnya apa nana?” Molas Manggarai melempar tanya, senyumnya berubah menjadi Molas Towe Songke.

 Reba Manggarai pantang menyerah, sikap yang sangat baik, ciri khas pria Manggarai. Peluru gombal kedua meletus, “Enu? Corgito Ergo Sum one nai dite’, aku berpikir maka aku ada di hatimu; arti sederhana, nana selalu ada di hatinya enu, ketika nana berpikir. Singkatnya, nana  (akan) selalu ada buat enu.

Peluru gombalan kedua tepat mengenai sasaran, tepat sekali! Molas Manggarai pun terkapar, tak berdaya, klepek-klepek Tempe Bacem, gombalan kedua menyentuh hatinya, merobohkan tembok egonya, dan mengalir rahmat kasih sayang dalam darahnya.

Dia pun berbisik malu-malu, “Enu juga Sapare Aude mencintai nana; berani berpikir mencintai nana”

 Jam dinding pun tertawa.

2 thoughts on ““Gombalan Descartes” a la Reba Manggarai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *