Guru Mamik Si Penjual Sayur

Loading


Saya ataupun Anda, tentunya menginginkan keterjaminan dan kemapanan finansial. Jujur sejujur-jujurnya, kami segenap redaksi tabeite.com tidak mau jatuh bangun aku mengejarmu seperti kehidupan saat ini. Cukup Tu’a Golo saja yang jatuh bangun demi pacarnya di Haju Ngendong.

Sebagai manusia, kita semua tentunya mau hidup mapan. Tidak perlu muluk-muluk seperti kehidupan Atta Halilintar sih. Setidaknya bisa hidup bahagia dengan gaji sendiri, bisa beli rokok surya 12 pakai uang sendiri, bisa membiayai belis sendiri dan syukur-syukur kalau bisa membiayai pendidikan adik-adik kita tercinta. Tuhan dengarkanlah doa ini.

Oleh sebab kita ingin hidup mapan, maka mari simak kisah seorang guru yang gajinya tidak seberapa tapi sukses dengan menjual sayur di Kota Borong, sapa tau bisa menginspirasi.

Beliau adalah Damianus Hambur (32), biasa disapa Guru Mamik. Ia seorang guru yang mengajar di SMAN 07 Borong.

Sebagai seorang guru, tentu ia memiliki tanggungjawab besar untuk sekolah dan siswanya. Selain sebagai guru, pemuda kelahiran Peot, 07 Mei 1988 ini juga ternyata memiliki kesibukan lain yaitu berwirausaha.

Berwirausaha merupakan mimpinya sejak kecil. Sewaktu SMP, ia tinggal bersama pamannya di Borong, ibu kota kabupaten Manggarai Timur. Ia termotivasi ketika melihat salah seorang penjual sayur yang merupakan perantau dari pulau Jawa. Bagi Mamik, penjual sayur tersebut jauh-jauh datang dari Jawa hanya untuk menjual sayur adalah sesuatu yang jarang ia temukan.

“Merantau ke sini (Borong) hanya untuk mengumpulkan uang lima ratus rupiah, de nde, com basik e” pikir Mamik saat itu.

Lalu, seberapa besar sih keuntungan dari menjual sayur? Pertanyaan ini selalu terngiang di benaknya. Apalagi ia melihat beberapa tahun kemudian, penjual sayur tersebut membeli sebuah mobil. Meskipun ia tidak tahu pasti sumber penghasilan lain dari penjual sayur tersebut. Tetapi satu hal yang membuat Mamik semakin yakin bahwa keseharian dari Mas tersebut adalah menjual sayur ke pasar bahkan keliling kota Borong dengan motor tuanya. Bisa disimpulkan ia membeli mobil itu dari uang menjual sayur.

Baginya saat itu, menjual sayur adalah mimpi yang harus digapai. Namun, ia tetap berkomitmen untuk melanjutkan sekolahnya hingga ke tingkat perguruan tinggi.

SMA pun usai, dengan segala keterbatasan dari keluarganya ia merantau ke Bali. Setibanya di Bali, ia temukan hal serupa, penjual sayur yang sudah sukses. Puncaknya ia tertarik dengan pekerjaan itu dan ia pun melamar sebagai karyawan.

Alhasil, ia pun diterima. Ia bekerja sebagai distributor sayur ke hotel mewah yang berjajar di pinggiran pantai Kuta. Setahun kemudian, ia mendapat kabar dari orangtuanya untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu kampus di Bali. Ia pun kuliah dan tetap menjalankan pekerjaannya sebagai distributor sayur. Empat tahun lamanya, Ia merasa pengalamannya sudah cukup dalam menjual sayur. Apalagi dengan mempertimbangkan tingkat kesibukan sebagai seorang mahasiswa semakin tinggi. Tepatnya masa-masa menjelang skripsi. Maka dari itu, ia putuskan untuk berhenti bekerja dan fokus menyelesaikan tulisan akhir.

Setelah selesai kuliah pada tahun 2013 silam, ia kembali ke kampung dan mulai menerapkan pengalaman yang didapatnya. Di samping itu ia tetap mengemban tugas mulia sebagai seorang guru. Semuanya ia lakukan dengan baik.

Prinsipnya; bekerjalah selama itu membuat hidupmu hidup. Jangan terpengaruh dengan penilaian orang. Mencintai pekerjaan membuat kita merasa “belum cukup” dan tetap semangat dalam menjalankannya. Sebagai pedagang sayur, ia harus disiplin dengan waktu dan modal besar adalah berelasi dengan siapa saja.

Ketika kita tidak disiplin, maka akan berpengaruh pada kualitas kerja kita.
“Sederhana saja, janji ambil sayur pukul 05.00 dengan petani sayur, tidak boleh terlambat. Kalau terlambat, sama halnya kita mengecewakan dia (Petani sayur) lalu yang lebih fatal lagi pelanggan tidak akan percaya lagi dengan kita. Karena itu, yang paling penting adalah jaga kepercayaan pelanggan dan perhatikan kualitas sayur” ujarnya.

Setiap hari, ia bangun pukul 04.00 subuh langsung menuju ke kebun petani sayur. Perjalanan yang jauh, tidak membuatnya patah semangat. Ia mengambil sayur langsung ke lokasi petani sayur. Di samping ia membeli sayur, ia juga memiliki kebun sayur sendiri untuk menyiasati ketika tidak ada stok sayur.

Sebagian orang mungkin tidak mengenalnya, karena dia bukanlah siapa-siapa. Tetapi bisa diperhatikan kerap kali juga ia mengenakan pakaian keki (pakaian dinas) saat mengambil sayur di pasar. Baginya, upah yang didapat dari mengajar sangatlah tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Apalagi dengan tingkat kebutuhan yang tinggi.

“Gaji guru tidak seberapa jika disandingkan dengan kebutuhan, apalagi jika sudah berkeluarga seperti saya. Pada intinya, jangan mengharapkan penghasilan dari satu sumber saja, kembangkan potensi yang kita miliki”. Ajaknya dalam nada sejuk.

Saat ditanya soal penghasilan yang ia dapatkan dari menjual sayur, ia mengaku tidak tetap.

“Soal penghasilan perhari, tidak tetap. Ukurannya bagi saya, jika saya pergi ke pasar sampai 2-3 kali dalam sehari itu lumayan. Hal lainnya, saya bisa bantu orang tua biayai adik-adik sekolah” ujarnya sembari merapikan lapak sayuran sesat sebelum berangkat ke sekolah

Selain membiayai kuliah ke-3 adiknya, kini Mamik sedang membangun Asrama Putri di Peot untuk pelajar dari luar kota Borong yang bersekolah di Peot.

Guru Mamik saat bertransaksi dengan pelanggannya.
Lapak milik Guru MaMik

Penulis : Donny Djematu|Guru SMPK Stanislaus Borong|

2 thoughts on “Guru Mamik Si Penjual Sayur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *