Guru Paul Hasiman, Perintis Tanaman Cengkih di Mano

0

Ngobrol soal cengkeh dengan Bapak Sevi Hasiman, putra Alm. Bapak Paul Hasiman.

Loading


Dedi Harsali | Kontributor

 “Coba mulai dengan apa yang diperlukan kemudian melakukan apa yang mungkin, dan tiba-tiba anda akan melakukan apa yang tak mungkin.” (Fransiskus dari Asisi)

Tidak berlebihan sebagai orang Mano, penulis mengangkat topi setinggi-tinginya bagi almarhum  guru Paul Hasiman. Berkat dedikasinya mampu meruntuhkan tembok kemiskinan yang telah lama memenjarakan masyarakat Mano.

Ia berhasil mengubah lahan kosong menjadi karunia tersendiri bagi orang Mano. Kondisi tanah yang saat itu masih dipenuhi hamparan alang-alang, kemudian ia mengusulkan agar dikirim biji cengkih dari Surabaya. Pada akhirnya, cengkih ditanam di Mano. Kelak di sini turut dijadikan  sebagai kebun percontohan tanaman cengkih sekaligus sebagai penangkaran benih. 

Dari kerja kerasnya, kini cengkih menjadi tanaman primadona sekaligus ikon di Mano. Catatan ini bagian dari  kesimpulan  dari diskusi lepas dengan putra dari Guru Paul Hasiman, Bapak Sevi Hasiman. Perjumpaan ini turut dihadiri  seseorang yang pernah dididik oleh beliau, Bapak Alex Tambuk. Ia pernah dibentuk di  Sekolah Usaha Tani (SUT),  sekarang dikenal dengan nama Lembaga Pendidikan Usaha Tani (LPUT).

Di dalam catatan ini,  mengutip Toda, dalam  sesi diskusi lepas ini penulis menggunakan tradisi pengupingan-pelisanan (audio oral) yang memang mengandung risiko kerapuhan (labilitas) pula akibat kelapukan waktu dan kadar ingatan (para) informan yang melemah. Pun daya kesahihannya sangat bergantung pada seleksi kredibilitas mutu informan. Secara singkat tulisan ini belum sebetulnya final.

Guru Paul Hasiman merupakan putra asli Rambang, Kempo, Kabupaten Manggarai Barat. Dulunya seorang guru, tamatan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Ndao, Ende. Ia  menghabiskan waktunya dengan menjadi lilin di tengah kegelapan, melawan suramnya ketertinggalan dalam pendidikan. Di salah satu pendidikan dasar milik lembaga katolik di Kampung Wewo, Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai ia berkarya. 

Buah dari ketelatenannya dalam mengabdi, ia dikirim oleh pemerintah Orde Baru untuk mengikuti kursus di bidang pertanian. Nan jauh di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, ia mengikuti proses pelatihan di organisasi Ikatan Petani Pancasila (IPP). Di sana ia mengasah kemampuannya dalam mengolah tanah.

Setelah pulang dari Pulau Jawa, ia ditugaskan di Sekolah Usaha Tani (SUT), Mano. Alex Tambuk termasuk salah satu murid binaannya. Sebelum Guru Paul Hasiman mengabdi di lembaga ini, Sekolah Usaha Tani hanya menanam berbagai tanaman holtikultura. Pola pengelolaannya di bawah binaan misionaris katolik, dibantu oleh dua awam asal Jerman, Bapak Helmut dan Bapak Yosef Halter

Di tahun 1970,  Guru Paul bersama koleganya melakukan uji coba tanaman kopi varietas arabika. Tapi biayanya sangat besar, proyek ini  gagal, mandek dan tidak berjalan. Ia pun mengusulkan untuk menanam cengkih. Bijinya dipesan langsung dari Kota Surabaya, Jawa Timur. Saat itu di Mano hanya lahan kritis, ditumbuhi ilalang. Ibarat menemukan jodoh yang tepat, tekstur tanah di dataran Mano dan sekitarnya sangat cocok ditanami cengkih. Mimpi Guru Paul Hasiman akhirnya terwujud.

Harga cengkih di tahun 1975 berkisar antara Rp. 15.000/kg. Dengan melihat peluang ini, ditambah dengan niat untuk memberantas kemiskinan, pada akhirnya mereka memutuskan untuk memperbanyak bibit cengkih. Di masa itu, mereka dibantu oleh Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai.  Lembaga Pendidikan Usaha Tani pun menjadi tempat penangkaran bibit cengkih.

Saat itu dengan bantuan Kepala Desa, almarhum Bapak Anton Sau, masyarakat Mano diperintah khusus oleh Guru Paul Hasiman untuk menerima bibit cengkih. Setiap penerima diwajibkan untuk menanam cengkih di kebunnya masing-masing. Proses penanamannya di bawah pengawasam langsung dari Bapak Helmut dan Bapak Yosef Halter. Para petani terampil lainnya turut terlibat. Mereka  ditugaskan khusus oleh LPUT untuk mengawas langsung proses penanaman cengkih di kebun warga. Hasilnya pun berbuah manis. Yang menanam akan menuai pada waktunya.

Sekarang warga Mano memanen jerih payah mereka. Setiap tahun harga cengkih melonjak. Dapur keluarga mengepul. Kesejahteraan ikut meningkat. Taraf hidup berubah.

Andai ide besar dari Guru Paul Hasiman hanya sebatas sabda yang tak menjadi daging, barangkali Mano tidak seperti sekarang ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *