Hujan Pertama di Jogja dan Rezeki di Angkringan

Loading


Hujan baru saja mengguyur seluruh kota Jogja tepat tanggal 1 November. Hujan per tanggal 1 November menjadi hujan pertama semenjak saya menginjak kaki di kota istimewa ini.  Setiap tetesnya saya perhatikan secara serius, apa menimbulkan rasa rindu atau malah menjebak saya pada  kubangan kenangan kelabu di masa lalu. Karena gaes, air hujan selalu punya tujuan ketika turun.

Berbincang soal hujan memang cukup menarik. Setiap orang punya kisah dan kasihnya soal hujan. Beberapa hari terakhir ini hujan berbuat sesuka hatinya sendiri. Ia meraja lela; cukup untuk memaknai dirinya sendiri dan menciptakan gerimis dalam mata yang kecanduan merindu. Cukaraaa!!

Jumat 1 November, saya baru selesai kuliah pukul 12.30. Langit kian muram, mendung menyelimuti. Teman-teman saya siap memakai helm untuk meluncur dan menikmati harum hujan bersama cewe-cewe mereka. Saya bisa apa? Diam-diam menatap, ambil tas lalu pulang dalam kesendirian. Santuy aja, mungkin jodoh saya sedang dijaga orang lain. Besok-besok juga datang sendiri. Kan kalau jodoh tak akan ke mana? iya kan, iya kan?

Kos saya cukup jauh dari kampus. Setiap hari saya jalan kaki dan saya menyukai itu. Banyak yang saya temukan di jalan. Kebahagiaan pemilik angkringan, simpul manis dari penjaga beras, dan yang selalu menghantui saya adalah bau sepatu saya yang menyengat-menyengat bangsatt ini.

Saya memilih untuk mampir di angkringan, tempat ngopi saya setiap hari setelah pulang kampus. Dengan terpal sederhana di atas kepala, bersama ibu pemilik angkringan saya memaknai hujan dalam kesendirian. Asik-asik sendiri sa tah, siapa yang repot.

“Bu, kopi hitam satu ya dengan satu batang rokok Surya”

“Siap mas, memang kalo hujan begini cocok ngopi mas apa lagi kalo sendirian”

“Hh ibu ini ada-ada aja”

Aroma kopi mengepul. Hujan semakin menunjukan jati dirinya. Buuuurrr satu tegukan yang menghanyutkan. Saya menatap setiap tetesnya. Ia jatuh berkali-kali, membasahi, menyegarkan, dan menciptakan keindahan tersendiri; bagi langit dan bagi setiap yang akan tumbuh. Penuh filosofilah. Bisa disimpulakan seperti itu. Hawa dinginnya terus menghanyutkan saya. Saya terjebak dalam kenangan masa kecil saya. Berlari-lari dengan kegirangan, pulang rumah dimarah ibu, setelah dimarahi pergi main lagi, panggil teman-teman, main kejar-kejarran. Asikkan? Pokoknya bahagia yang luar biasa mungkin karena tidak punya beban seperti sekarang ini ahahah beban kurang ajar!! Sekarang pulang kampus langsung cari informasi mengenai tugas, pergi sana-sini, begadang sampai pagi. Yah begitulah penderitaan mahasiswa baru.

Tak terasa kopi dan rokok tinggal setengah. Saya semakin terjerat kenagan akan hujan. Hawa dingin semakin menusuk. Dengan kekuatan asap rokok yang menghangatkan, imajinasi semakin merambah ke mana-mana. Kadang ketemu rindu yang menyiksa, masa depan yang lika-liku, dan uang makan untuk besok.

hhahah hidup memang keras kawan. Mungkin sebagian orang, hujan adalah suasana terbaik untuk merindu. Mengingat dia yang jauh disana. Berbagi cerita, saling mendengarkan, dan tentu saling mengucapkan aku cinta hau (I love you).

Saya tidak! Saya pemuja kata-kata Sujiwo Tejo. Puncak kangen paling dahsyat ketika dua orang tak saling menelpon, tak saling sms, tak saling bbm-an, dan lain tak saling. Namun diam-diam keduanya saling mendoakan.

Sejam berlalu. Saya masih di bangku yang sama. Hujan mengerti bahwa saya akan pulang, dia perlahan-lahan redah. Sebatang rokok dan segelas kopi telah habis yang tersisa hanya kenangannya haha.

“Bu, pulang dulu ya bu, ini uangnya Bu”

“engga usah uangnya mas, hari ini Ibu banyak dapet rezeki, uangnya buat makan masnya aja”

Dengan hati terbuka, tanpa beban sedikit pun, dan dengan harapan yang menggebuh saya terima kembali uang dari ibu pemilik warung itu.

Penulis: Apec Alvin|Kontributor|

1 thought on “Hujan Pertama di Jogja dan Rezeki di Angkringan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *