Irong Satar: Tanda Bumi Tak Bertuan di Lengko Namut

Membudayakan cinta dan mencintai budaya. (foto: Dokumentasi Pribadi)

Loading


Yuni Narmi|Redaksi

Indonesia adalah negara multi kultural. Dengan keanekaragaman budaya dari setiap daerah, tidak heran jika negara ini  mempunyai beragam adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat ini. Adat istiadat dilakukan sesuai dengan kebiasaan masyarakat sekitar, dan dari sinilah kekayaan budaya Indonesia semakin nampak dan mendunia.


Setiap suku mempunyai adat dan tradisi yang berbeda. Contonya adat Daerah dan salah satu suku di Sumba berbeda dengan adat di Manggarai. Berbicara soal adat istiadat Manggarai, mari kita condongkan lagi ke ujung selatan Manggarai Timur. Tepatnya di Desa Lengko Namut, Kecamatan Elar. Di Lengko Namut tidak semua orang melaksanakan atau mengikuti adat ini, yang mana yang wajib mengikuti ritual ini hanya masyarakat yang memiliki tanah di tanah Waning. Adat atau kebiasaan ini disebut dengan sebutan “Irong Satar”.

Irong satar sendiri merupakan salah satu kebiasaan yang rutin atau wajib  dilakukan sekali dalam setahun oleh orang-orang yang memiliki tanah di bumi Tanah Waning. Ritual ini dilakukan dalam rangka menghormati para  leluhur. Selain itu Irong juga dilakukan agar adat atau kebiasaan dapat tetap di lestarikan di tengah maraknya budaya modern di zaman sekarang.

Saat melakukan ritual, larangan yang tidak boleh dilakukan seperti, masyarakat dilarang untuk berkebun, mengalih tanah, melakukan sesuatu yang menyebabkan keributan, menyalakan api di luar rumah. Jika memasak di dalam rumah, jangan menyalakan api yang menyebabkan asap, sebaiknya gunakan kompor yang lebih modern.

Selain itu ada beberapa pantangan yang lain adalah tidak boleh menyisir rambut diluar rumah, menjemur pakaian, dan memetik sayur. Pantangan ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut.

Jika ada masyarakat yang melangar, maka akan dikenakan sanksi atau denda. Denda yang diberikan dilihat dari tingkatan pantangan yang dilanggar. Seperti, jika salah satu masyarakat sengaja membuat sesuatu yang menyebabkan keributan yang berlebian maka ia akan ditegur oleh kepalah suku atau tetua adat hingga tiga kali, jika pada teguran ketiga masih belum diindahkan maka orang tersebut akan dikenakan denda sesuai dengan apa yang tetua adat sampaikan. Seperti, ayam, babi, bahkan sampai kerbau sebagai denda tertinggi. Selain denda dari Tetua Adat, larangan ini jika tetap dilakukan maka akan berdampak pada hasil pertanian dari keluarga yang melangar pantangan tersebut.

Hal menarik dari Irong Satar adalah tidak semua tempat di tanah Waning melaksanakan larangan ini, ada bebrapa tempat yang memang di bebaskan dari larangan ini, seperti, sekolah, jalan raya, gereja, hingga sungai. Sehingga tidak sedikit dari masyarakat setempat banyak yang menghabiskan waktunya di sungai untuk mencuci, mandi, hingga memasak nasi bambu di sungai.

Uniknya dari ritual ini adalah anak-anak yang biasanya berteriak bersama teman-teman saat pulang sekolah, bermain lompat tali, mobil-mobilan, lebi banyak menghabiskan waktu di rumah. Kabar baiknya adalah tidur siang yang merupakan salah satu hal yang sanggat dibenci anak-anak menjadi sesuatu yang sanggat diminati oleh mereka pada masa ritual ini. Ada juga anak-anak yang takut ketika Irong dilaksanakan, yang mana salah satu senjata ampuh orang tua agar anaknya tidak ribut adalah menceritakan hal-hal yang tidak masuk akal tentang irong.

 Namun tidak sedikit anak-anak juga yang melanggar satu dari pantangan  di atas. Teriak misalnya. Secara tidak langsung adat atau kebiasaan ini akan terekam jelas di dalam hati dan pikiran anak-anak, dengan harapan adat atau kebiasaan ini akan tetap dilestarikan ke depannya.

Akhirnya, mencintai budaya sama halnya dengan mencintai orang yang kita sayang. Kita tak akan tahu betapa indah, betapa kaya, betapa agungnya kebudayaan yang kita punya jika kita tak menyatu dengannya.

“Begitu juga dengan cinta, harus menyatu dulu untuk bisa merasa. Mau seberapa besar kebudayaan kita tergeser oleh modernisasi budaya barat. Ia akan tetap terlihat cantik dan menawan bila kita benar-benar sudah menyatu dengannya,”Oleh karena itu sebagai generasi muda, kita wajib melestarikan adat istiadat sebagai bentuk apresiasi kepada leluhur. Jangan Perna takut dibilang  “Tidak Hits”, Ok?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *