Kadang-Kadang Berpikir; Menyesal Lahir Duluan

0

Foto dari google ketika anak kecil sedang dilema antara memilih HP dan cinta dari Orang tua

Loading


Apek Afres |Redaksi

Saya menggarap tulisan ini setelah melihat seorang anak kecil di depan sebuah warung tempat saya makan siang. Umurnya sekitar lima tahunan. Yang menarik bagi saya adalah bahwa ia sama sekali tidak menghiraukan dunia sekitarnya. Fokus sistem kerja otak dan pikirannya tertuju pada gadget di tangannya. Saya tersenyum sendiri melihat hal itu sembari membayangkan masa kecil saya. Ah ibu, kenapa dahulu engkau tak kenalkan saya pada benda bernama gadget ini?

Sekarang saya sudah mulai menginjak usia 20-an. Banyak kenangan yang menata sekaligus menuntun. Tuhan mengizinkan saya menjumpai bumi di awal tahun 2000-an, tahun pertama setelah tahun 1999, dan tahun pertama sebelum 2001. Tiga tahun setelah tahun 2000, CR7 mulai gigih membela Setan Merah alias Manchester United, sementara saya baru mulai merangkak perlahan-lahan, menggerakkan kaki tanpa memahami apa-apa. Pada tahun 2005, saya tersenyum, bangga dengan diri sendiri. Garuda di dadaku. Seragam merah-putih menyelimuti tubuh dan hari-hari berlalu tanpa beban. Ini Ibu Budi, aku padamu abadi.

Memori tahun 2000-an itu masih tersimpan rapi di memori otak saya yang masih belum terlampau memahami segala sesuatu. Saya mencintai tahun 2000. Waktu itu, saya masih melatih diri merabah dunia dengan segala ketidaktahuan. Setiap hari ibu mengajarkan saya banyak hal. Kayanya, agar kelak saya bisa menjadi manusia yang “manusia”.

Masih ada rentetan memori indah di awal 2000-an yang masih saya ingat jelas. Ketika masih bayi, saya dibiarkan tidur nyenyak dalam ayunan yang diikatkan ibu pada pohon mangga di kebun kami. Lutut dan telapak kaki saya dibiarkan terluka ketika belajar berjalan di tanah yang keras. Saat itu saya masih berumur setahun lebih. Saya tidur dalam naungan temaram lampu pelita yang digantung di kamar tidur waktu malam. Ayah saya rela membeli sebuah radio kecil supaya anaknya ini bisa mendengar lagu-lagu nostalgia. Kenangan masa kecil selalu meinggalkan kesan tersendiri. Orang tua memberi andil yang lebih besar dan sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anaknya.

Begitulah sekilas tentang kenangan indah di awal 2000-an itu. Saya hanya menceritakan sebagian dari kisah-kisah itu. Air mata saya barangkali akan jatuh membasahi pipi kalau saya menceritakan semuanya.

Setelah beranjak dari masa balita itu, ada kisah-kisah lain yang juga sangat berkesan hingga membekas hingga sekarang ini. Ada pengalaman di mana kami hanya makan ubi ketika kehabisan beras. Hal ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Atau pengalaman ketika atap rumah saya bocor saat musim hujan. Kalian barangkali bertanya, ‘Apakah anak kecil yang baru berumur dua tahunan seperti saya ini sudah siap merasakan pahitnya kehidupan?’ Mau tidak mau yah harus siap. Toh realitas menang selalu menyakitkan.

Waktu pun berlalu. Saya mulai berlabuh di dermaga pendidikan. Saya mulai belajar membaca dan memahami sesuatu. Saya juga mulai berlajar menghitung dan mengenal angka-angka. Saya mulai tahu bahwa kehidupan sosial yang paling sederhana adalah yang seperti ini dan bukan yang seperti itu. Seragam merah-putih menyelimuti tubuh dengan harapan yang besar dan mimpi-mimpi yang setinggi langit, tidak tahu serendah apa. Menjadi astronot, menjadi TNI, menjadi dokter, menjadi guru, menjadi pilot, menjadi ronaldowati dan lain sebagainya.

“Nak, kalau pulang sekolah, jangan lupa kasih makan babi,” perintah ayah selalu sebelum berangkat sekolah ketika saya duduk di bangku SD. Masa kecil memang indah. Ingat rasanya, tetapi lupa namanya.

Dunia semakin beranjak ke sini. Perlahan-lahan teknologi merambah ke setiap sisi dunia. Di mana-mana orang mulai memakai gadget dankomputer yang terhubung ke internet. Internet kemudian menyatukan belahan-belahan dunia yang selama ratusan tahun terpisah jarak. Meskipun dunia saya waktu itu mulai ditandai dengan lajunya perkembangan teknologi semacam itu, saya masih belum tersentuh model kekinian semacam itu. Buta, tuli, dan tidak memahami apa-apa. Jauh dari kehidupan gadget, jauh dari teknologi canggih.

Enam tahun berlalu. Yang sisa hanya ucapan selamat tinggal untuk bangku SD. Seragam putih-biru pun mewarnai hari-hari. Perlahan-lahan proses pemahaman akan sesuatu mulai nampak. Saya bisa memahami ini dan itu. Konsep aljabar semester satu SMP kelihatan mudah. Mudah karena contek, heheh. Hari-hari berlalu begitu saja. Tugas menumpuk. Kejenuhan datang sili berganti. Ayah saya selalu menekankan pentingnya pendidikan. Alhasil, Ayah saya memasukan saya di sekolah yang cukup ketat. Handphone tidak diperbolehkan dan peraturan-peraturan ketat lainnya. Sepi memuncak, tekanan dari pihak tertentu juga terasa membebankan. Saya bertahan dengan kondisi yang ada. Mencintai proses. Mimpi-mimpi masih berkeliaran di kepala.

Saya tidak perlu menceritakan masa-masa SMA. Tidak ada hal yang menarik di sana. Setiap hari selalu berkutat dengan refleksi-refleksi kehidupan. Untuk yang lainnya biar menjadi cerita hidup saya dan dia ketika sedang bercumbu dalam rindu, uhuk uhuk.

Tidak terasa hari ini saya menyandang status sebagai mahasiswa dan sebagai anak kos. Problematika kehidupan juga mulai variatif. Dunia percintaan, tugas-tugas kuliah, menjadi pengurus organisasi, dan lain-lain.

Cerita panjang ini sesaat runtuh. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Di warung makan, saya melihat seorang anak kecil berkutat dengan dirinya sendiri. Dia sedang mengoperasikan gadget berukuran besar di tangannya. Apa jadinya dunia seorang anak ketika dalam umur yang sedemikian muda itu ia dibiarkan hanya sibuk dengan gadget-nya sendiri? Saya membayangkan masa kecil saya yang buta dengan hal semacam ini. Di situlah saya berpikir; saya menyesal lahir duluan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *