Kalau Literasi Sepi di Borong

0

Loading


Yergo Gorman|Kontributor

Pernahkah Anda berpikir kalau di Borong, muncul komunitas anak-anak muda yang memainkan literasi di bidang lingkungan, kebersihan kota, toleransi, pendidikan, pertanian, pecinta alam, sastra, seni dan sebagainya? Lalu bayangkan komunitas-komunitas ini sering ketemuan dan kolaborasi. Apa yang akan terjadi dengan kota ini? Minimal dinamika di Borong sedikit naik kelas dibanding sebelum jadi ibu kota Kabupaten. Peran komunitas-komunitas anak muda dalam geliat pembangunan daerah dirasa penting. Literasi komunitas diyakini jadi benih bagi tumbuh suburnya pencerahan, pencerdasan dan transformasi masyarakat. Di sini, literasi bukan lagi sebatas ajak orang baca buku, melampaui itu, ada sebuah aktivitas “dialektis” dan aksi di ruang publik yang menyentuh berbagai sektor pembangunan. Literasi ialah juru selamat bagi terbukanya peradaban.

  Epilog 2015, ketika lagi ngebut-ngebutnya studi lanjut di Malang, saya dan beberapa teman bikin wadah komunitas namanya komunitas Ngobrol Pintar atau biasa disebut Komunitas Ngopi, sebuah komunitas akademik yang konsen pada isu-isu pembangunan di Manggarai raya. Anggotanya teman-teman mahasiswa dari Manggarai. Komunitas ini digagas dengan harapan terbentuknya anak muda/mahasiswa Manggarai yang punya kompetensi dan karakter akademik sehingga nantinya bisa ikut terlibat mengisi pembangunan di daerah. Selain fokus diskusi internal, kemitraan dan jejaring pun dibangun dengan komunitas lainnya, baik pengembangan akademik, maupun komunitas yang bergerak di isu kemanusiaan, toleransi, lingkungan hidup, pendidikan, dan sebagainya. Di sini  kami lihat literasi komunitas dan kerja-kerja kolaborasi itu “mendidik” publik, memperkaya wawasan, perspektif, mindset, mentalitas masyarakat ke arah peradaban yang baik. Wujudnya lewat aksi-aksi sosial kemanusiaan, rutinitas ngopi bareng tentang isu tertentu, pameran seni, seminar, dan lainnya.

Pasca wisuda, ide ini coba dibawa pulang ke Borong. Saya pun bersama beberapa teman lalu membentuk gerakan literasi bernama Cangkir 16, komunitas yang concern di literasi pendidikan. Kami berharap, wadah ini bisa memacu gairah teman-teman muda untuk  berkomunitas, sehingga literasi di Borong bisa dihantam dari banyak sektor. Tapi faktanya, gairah itu belum terlihat. Apakah literasi komunitas penting di Borong? Bagaimana seandainya Borong tanpa literasi?

Literasi: Jalan Menuju Peradaban

Aktivitas literasi komunitas di Borong cenderung stagnan. Jujur kondisi ini bikin prihatin. Borong yang adalah barometer Manggarai Timur justru mandul dan pasif. Kenapa kota ini sepi dari literasi? Hemat saya, ada beberapa penyebab; pertama, faktor ekonomi. Teman-teman muda mungkin lebih pilih sibuk kerja untuk kebutuhan ekonomi dari pada berkomunitas. Fakta yang tak bisa diperdebatkan. Kedua, faktor budaya. Masyarakat menganggap sibuk berkomunitas untuk terlibat pada isu tertentu pasca wisuda itu buang-buang waktu. Alasan ini kemudian bikin lenyap minat untuk berkomunitas. Ketiga, bisa jadi ada pemahaman bahwa literasi komunitas tak punya dampak bagi pembangunan daerah.

Lalu apa jadinya Borong tanpa literasi? Pertama, besar kemungkinan masyarakat akan tetap hidup dan bertahan pada perspektif, tradisi atau pola lama. Bukankah ini secara tak langsung turut berpengaruh pada kondisi suatu kawasan? Masyarakat akan tetap berjalan dalam sistem baku dan agak lambat tuk terbuka pada perubahan. Literasi memungkinkan orang melangkah  melampaui apa yang dipikirkannya. Kedua, pembangunan kota khususnya pada sektor human development seperti pendidikan karakter, mentalitas, pengembangan perspektif dan mindset publik akan bergerak lambat. Pembangunan secara umum dilihat hanya merupakan tugas pemerintah daerah, sementara rakyat tunggu hasil. Bukannya kemajuan suatu kawasan juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang peka dan partisipatif dalam pembangunan?

Borong harus diselamatkan dari krisis ini. Maka kesadaran adalah kunci. Kesadaran untuk selamatkan pembangunan, ambil peran pada isu tertentu mesti membius hati dan pikiran teman-teman muda di kota Borong. Kalau bukan sekarang, kapan lagi; kalau bukan kita siapa lagi. Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen pernah berkata, “Kalau kamu mau lihat masa depan suatu bangsa, lihatlah generasi mudanya.  Kalau generasi mudanya galau dan apatis, bisa ditebak nasib bangsa itu di masa depan.” Maka nasib Borong di masa depan tak kan jauh berbeda dengan hari ini bila anak mudanya tak berani ambil sikap. Usia daerah ini boleh maju, tapi pola pikir warga lari di tempat. Karena itu butuh kesadaran dan komitmen bersama anak-anak muda agar kota ini “penuh sesak” dengan literasi di semua sektor pembangunan. 

Bagi para penikmat sejarah, peristiwa revolusi Prancis bisa jadi contoh bagaimana literasi tentang keadilan sosial, kebebasan dan HAM yang digalakkan oleh kelompok intelektual Encyclopedy  seperti Diderot, D’Alembert, Voltaire, dan lainnya sukses membawa Prancis keluar dari absolutisme kekuasaan, dan bergerak menuju peradaban baru atau pada masa itu disebut era pencerahan (enlightment). Begitu pun Soekarno dan kelompok nasionalis lainnya yang total dalam kampanye literasi kemerdekaan dan kebebasan manusia baik lewat narasi maupun gerakan sosial politik.  Saat studi lanjut di Malang, saya juga kebetulan sempat aktif di Gusdurian, Komunitas yang gencar sebarluaskan kampanye perdamaian dan toleransi di kota Malang lewat dialog antarumat beragama, seminar perdamaian, dan aksi sosial kemanusiaan lainnya, bahkan dalam perayaan  Natal umat Katolik, teman-teman muslim di komunitas ini pun turut terlibat dalam perayaan misa Natal. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *