‘Karun’: Harta Karun dari Watuwawer

Filio Duan|Kontributor
Sebelum mengatakan sesuatu, sobatku yang baik, apa yang kau percaya, saya atau penglihatanmu? Begitulah kira-kira pertanyaan yang tepat jika berada dalam mobil angkutan pedesaan yang melaju dari Lewoleba, menuju Desa Watuwawer di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sepanjang perjalanan akan didapati kenyataan ambigu. Peluh penumpang, entah karena cuaca panas serta posisi duduk yang berhimpitan, ataukah sesekali badan mobil miring lantaran melewati jalan berlubang yang terdapat jurang pada sisi kanan dan kirinya? Entahlah.
Menurut cerita, kabupaten yang otonom sejak tahun 1999 ini, pemerintahnya telah beberapa kali memperbaiki jalan menuju Desa Watuwawer. Ya mungkin ada benarnya, toh selama perjalanan kerap ditemukan sisa-sisa aspal. Sisanya lagi menjadi lubang atau kubangan tidak lama setelah perbaikan yang katanya “rutin”. Entah siapa yang patut dipersalahkan, mengingat jalan sama-sama bagian dari rutinitas masyarakat maupun para pejabat. Sebagai mantan penumpang, saya menganggapnya lebih sebagai situasi daripada sensasi.
Terlepas dari polemik jalanan, Watuwawer sejatinya bukan persoalan panas dan situasi genting dalam mobil. Bukan pula klaim situasi atau sensasi sebagai mantan penumpang. “Semua itu tentang tantangan untuk mengenal jati diri,” kata Luis, anak tanah Watuwawer.600
Jadi seperti apa Watuwawer?
Tidak beberapa lama setelah tiba di sana, Luis mengajak saya ke “Karun” untuk mendekati jawaban itu. Karun adalah suatu kawasan di Desa Watuwawer yang merupakan salah satu khasanah budaya dan simbol falsafah hidup masyarakat Watuwawer. Namun, masyarakat Lembata umumya menyebut “Karun” sebagai “dapur alam” karena area ini terdapat panas bumi dengan lubang-lubang pada permukaan tanah yang dimanfaatkan untuk menyimpan hasil-hasil pangan dalam kurun waktu tertentu sebelum dikonsumsi. Kiranya menjadi jelas. Memasak bukan di dapur sebagaimana lazimnya. Suatu keunikan yang akhir-akhir ini oleh pemerintah setempat diklaim potensial untuk PAD.
“Karun” atau “dapur alam” bisa diakses melalui perjalanan darat dari Lewoleba ke Desa Watuwawer; sekitar tiga jam kalau menggunakan kendaraan roda empat, dan satu setengah jam perjalanan dengan mengendarai sepeda motor.
Apabila ingin ke sana, sebaiknya datang pada bulan Juni. Sebab, pengunjung akan menikmati “Karun” sesungguhnya. Tidak hanya cita rasa makanan lokalnya yang khas, tetapi juga suasana sakral ritual syukur panen yang dilakukan di sana. Ritual ini merupakan ritual tahunan yang disebut Taru Kwar (ritual pembukaan memasak jagung muda di “dapur alam” pada awal masa panen).

Konon, nama “Karun” berasal dari Legenda Ina (Ibu) Kari, istri kepala kampung kala itu. “Suatu waktu akan diadakan pesta rigum kluok (injak padi) dengan hiburan tandak (nyanyian dengan hentakan kaki berirama dalam iringan gendang dan giring-giring) di Karun (masa itu lokasi ini disebut kampung Mudagedo). Semua orang menyiapkan diri sebelum mengikuti pesta, tak terkecuali Ina Kari. Warga Mudagedo menyiapkan pakaian baru: nowing dan petek (sarung), kmorong (giring-giring), rame (kalung panjang dari manik-manik yang dikenakan kaum wanita), meteq (gelang gading dan sejenis benkap di kaki yang terbuat dari kulit hewan). Bagi wanita, persiapan terakhir adalah mandi di Wai Oro dan gakaha lata (cuci rambut). Pada sesi gakaha lata, Ina Kari telah menyiapkan santan kelapa panas yang dituangkan dalam kelau (wadah yang terbuat dari labu kering). Sambil berbaring di atas bale-bale (tempat tidur yang terbuat dari bambu), ia meminta sahabatnya mengeramasi rambutya malam itu dengan bantuan penerangan dari kebelung (biji jarak) yang ditumbuk campur dengan kapas, kemudian dipilin pada batang lidi dan ujungnya dibakar. Selagi keramas, keduanya asyik bercerita tentang pesta rigum kluok yang dipastikan meriah. Tanpa sadar, damar yang dinyalakan tadi sudah habis dan patah. Puntung damar bernyala itu pun jatuh ke dalam kelau berisi santan kelapa panas. Seketika itu juga terjadi ledakan serta kebakaran hebat. Berangsur-angsur tanah sekitar rumah berguncang hebat dan menimbulkan lumpur panas. Seketika itu juga kampung Mudagedo lenyap dan berubah menjadi sebuah danau panas yang terus mendidih. Dari peristiwa ini, nama Ina Kari selanjutnya diabadikan dan dalam perkembangannya dikenal Karun yang sekarang”, tutur kakek Paulus Huar, seorang tua adat setempat.
Memasak di “Karun” terbilang spesial. Bahan makanan dibungkus dalam daun pisang, ditempatkan dalam lubang, kemudian ditutupi dengan batu dan daun-daun. Inilah satu-satunya tempat memasak di Lembata tanpa menggunakan kompor gas, kompor listrik, kompor mitanol bahkan tidak dengan kayu bakar. Ya, momen di mana terbebas dari perhitungan BBM.

Seperti pada umumnya makanan yang matang, tentu melalui proses pemanasan. Karena tidak menggunakan api, di Karun difungsikan beberapa lubang uap panas bumi dengan kedalaman yang bervariatif, maksimal dalamnya setengah meter. Lubang-lubang ini digali penduduk secara manual. Selain itu, pengunjung ditemani tetua adat yang memastikan keamanan dan menjelaskan jenis-jenis pangan yang boleh atau tidak boleh diolah di Karun. Biasanya pangan-pangan lokal seperti: ubi, jagung, kacang-kacangan, serta jenis-jenis sayuran yang diizinkan. Adanya klasifikasi ini karena kegiatan memasak di sini dalam bingkai adat dan tradisi yang syarat akan aturan dan pantangan. “Jangan berharap memasak makanan instan di sini ya, kualat nanti”, tutur kakek Paulus Huar.
Aktivitas memasak di sini sangat sederhana. Cukup menempatkan makanan pada lubang-lubang yang tersedia, disebut tarung dalam bahasa setempat. Selanjutnya tinggal menunggu, membiarkan perut bumi mengolah makanan itu dengan caranya sendiri. Bayangkan berdiri di atas hamparan dengan lubang-lubang beruap serta aroma makanan khas. Pengunjung akan merasakan sensasi was-was plus ngiler saat berada dekat lubang-lubang panas bumi.
Durasi waktu hingga makanan matang cukup lama. Karena itu, sembari menunggu, pengunjung boleh berkeliling menikmati kedamaian alam sekitar atau mengunjungi rumah-rumah adat suku yang berdiri kokoh. Adalah hal yang menarik menyaksikan rumah adat kepala suku berdiri berdampingan dengan rumah ibadat. Mungkin saja mereka berdialog perihal keutamaan-keutamaan hidup.

Buah kesabaran selalu indah pada waktunya. Belum lama istirahat sehabis berkeliling, ina-ina menyajikan narung (istilah untuk bahan makanan yang telah matang setelah diolah di Karun). Tidak lupa berdoa, kami langsung menyantap yang tersaji di depan mata begitu dipersilahkan. Sungguh cita rasa makanan yang khas. “Inilah Watuwawer sesungguhnya – harta karun dari Karun”; makanan dari dan dimasak oleh alam”, kata saya dalam hati. Dan, sekali lagi sobatku yang baik, sebelum mengatakan sesuatu, siapa yang kau percaya, saya atau pengelihatanmu?