Loading


Sebagai makhluk sosial, dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.  Pola kehidupan tersebut bukanlah sebuah puncak pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Sifat manusia sebagai makhluk sosial tersebut membuat manusia untuk hidup bersama dalam kelompok-kelompok kecil.  Latar belakang terbentuknya kelompok kecil tersebut bisa karena adanya ikatan darah, persahabatan, perkawinan, ide, atau ada tujuan-tujuan yang ingin ditempuh.

Salah satu poin yang bagus ditelusuri adalah perkawinan. Kita semua pasti sepakat bahwa sebuah perkawinan terjadi atas dasar sebuah cinta. Cinta yang menyatukan. Meskipun kadang kala kita merasa bahwa jatuh cinta adalah sebuah pekerjaan yang sangat berat. Beratnya di rindu. Ada juga yang  mengatakan bahwa puncak dari cinta adalah perkawinan. Tak kenal apakah dia dulu anak tetangga  yang super duper pelit kacang pilus, atau dia adalah kakak kelas waktu SD tetapi terhalang karena dia anak dari Pak guru. Siapa sangka, kisah-kisah jahil semasa kecil seperti itu akan menjadi sebuah kecupan manis di kala kita  dipersatukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Macam ada sesuatu begitu. Hehehehe.

Manggarai merupakan salah satu  suku yang memiliki banyak adat dan budaya yang unik. Lahirnya adat dan budaya tersebut tentu tidak terlepas juga dari sifat manusia yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Salah satu budaya Manggarai yang unik untuk kita racik bersama kopi pahit di tabeite.com adalah kawing tungku.  Kawing tungku adalah sebuah budaya perkawinan sedarah masyarakat Manggarai. Maksud dari perkawinan sedarah tersebut adalah antara pihak mempelai perempuan dan pihak mempelai laki-laki masih memiliki hubungan atau ikatan keluarga secara dekat. Budaya kawing tungku secara garis keturunan adalah perkawinan antara anak laki-laki dari pihak saudari (anak rona) dengan anak perempuan dari pihak saudara (anak wina). Menurut adat Manggarai ada dua jenis kawing tungku, yaitu kawing tungku cu dan kawing tungku anak rona musi. Kawing tungku cu adalah perkawinan dengan anak dari saudari kandung perempuan dengan anak perempuan dari saudara kandung ibu, sedangkan kawing tungku anak rona musi adalah perkawinan yang terjadi antara anak laki-laki dan anak perempuan yang bukan keluarga kandung atau dekat secara garis keturunan.

Mengapa terjadi kawing tungku?

Dalam adat Manggarai terungkap sebuah goet tentang tujuan dari perkawinan yakni“ kudut beka weki one, beka salang pe’ang”.  Maksud dari goet tersebut bahwa tujuan perkawinan untuk mendapatkan keturunan dan menambah jumlah anggota keluarga/keturunan. Kawing tungku sebagai bentuk perkawinan Manggarai yang bertujuan untuk mempertahankan ikatan keluarga antara pihak anak rona dan pihak anak wina. Apakah dalam mewujudkan kawing tungku tanpa terlebih dahulu memiliki perasaan untuk saling mencintai? Tentu saja hal ini akan bisa menjadi sebuah polemik. Bahkan ada yang menganggap bahwa perkawinan sejenis ini tidaklah bedanya dengan sistem perkawinan Siti Nurbaya. Suatu ikatan perkawinan terwujud atas dasar sebuah tujuan mempertahankan keluarga, sementara kita tidak tahu apakah kedua mempelai sudah bersedia untuk dipersatukan?

Jangan sampai di tengah perjalanan hubungan keluarga akan terjadi perselisihan yang  berujung pada perpisahan.

Penulis: Edid Teresa|Meka Tabeite|

2 thoughts on “Kawing Tungku

  1. Berkaitan dgn tungku ini menarik untuk di bahas,
    Pada 2016 lalu saya sempat mendengar sebuah kutipan seorang pastor di Manggarai, bahwa perkawinan “tungku” ini di larang oleh gereja, alasannya karena masih memiliki hubungan keluarga/darah yg sangat dekat. Oleh karena itu Perkawinan Tungku ini di larang.
    Lantas bagaimana caranya perkawinan tungku ini bisa terlaksana sementara antara persepsi agama dan adat ini masih bertentangan ?
    Tabe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *